Shalat merupakan ibadah paling sakral dalam Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di dalamnya terdapat beberapa ketentuan yang sangat detail. Di antara kewajiban yang harus dipenuhi sebelum melakukan shalat adalah harus suci dari hadats kecil dan besar, menutup aurat, dilakukan di tempat yang suci, dan menghadap kiblat. Setelah semua itu terpenuhi, baru ia diperbolehkan mulai melakukan shalat. Namun, shalat yang dilakukan tidak sekadar gerakan biasa dan bacaan biasa pula, ia harus melakukan gerakan-gerakan yang sesuai dengan ketentuan shalat, dan membaca beberapa bacaan yang sudah menjadi ketentuannya.
Semua ketentuan di atas, wajib dipenuhi sebelum melakukan shalat. Dan, jika ada salah satu yang tidak terpenuhi, maka konsekuensinya, shalat yang dilakukan tidak sah. Hanya saja, dalam beberapa keadaan, seseorang diperbolehkan melakukan shalat meski tidak memenuhi ketentuan-ketentuan di atas. Kebolehan ini berlaku apabila dilaksanakan di waktu, tempat, atau kondisi tertentu yang tidak memungkinkan memenuhi sebagian atau semua syarat sah dan rukun shalat. Dalam literatur kitab fiqih dikenal dengan istilah shalat Lihurmatil Waqti (shalat untuk menghormati waktu). Bagaimana penjelasannya? Mari kita bahas satu persatu.
Definisi dan Dalil Shalat Lihurmatil Waqti
Menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu Syarhil Muhadzdzab shalat Lihurmatil Waqti adalah (1) shalat yang dilakukan ketika tidak menemukan dua media bersuci, yaitu air dan debu, sedangkan waktu shalat sudah masuk, atau bisa juga diartikan sebagai (2) shalat yang dilakukan dalam keadaan tidak sempurna disebabkan tidak memenuhi syarat dan rukun shalat. Shalat ini dilakukan dalam rangka menghormati waktu shalat. (Imam Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Majmu Syarhil Muhadzdzab, [Bairut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1998], juz 1, h. 392).
Imam al-Qulyubi (w. 1069 H/1658 M), dalam satu masterpiece-nya menyampaikan salah satu riwayat yang menjadi dalil di balik diwajibkannya shalat bagi orang-orang yang tidak menemukan media bersuci, atau tidak bisa menyempurnakan rukun dan syarat sahnya shalat. Sayyidah Aisyah menyampaikan sebuah hadits sebagaimana yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim:
“Sayyidah Aisyah meriwayatkan bahwa ia pernah meminjam kalung pada Asma’. Kemudian (kalung itu) hilang, maka Rasulullah saw. mengutus seseorang untuk mencarinya. (Setelah kalung itu ditemukan) datanglah waktu shalat sedangkan ia dalam keadaan tidak mempunyai wudhu dan tidak menemukan air (untuk berwudhu), akhirnya mereka pun mengerjakan shalat (tanpa wudhu). Setelah kejadian itu, Allah menurunkan ayat tayamum.” (Imam Ahmad Salamah al-Qulyubi, Hasyiyata Qulyubi wa ‘Umairah, [Bairut: Darul Fikr, 2002], juz 1, h. 110).
Menurut Alhafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, hadits di atas menjadi dalil diwajibkannya shalat bagi orang-orang yang tidak menemukan media bersuci, baik air ataupun debu. Sebab, sahabat Nabi saat itu melakukan shalat karena mereka meyakini bahwa shalat tetap wajib sekali pun dalam keadaan tidak mempunyai wudhu. Dan juga, jika seandainya semua ini terlarang, maka sudah pasti Rasulullah akan mengingkarinya. Pendapat ini merupakan pendapat ulama mazhab Syafi’i, Imam Ahmad, mayoritas ahli hadits, dan kebanyakan ulama mazhab Maliki (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Sayarah Sahihil Bukhari, [Bairut: Darul Ma’rifah, 1998], juz 1, h. 440).
Sebab-Sebab yang Membolehkannya
Ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab seseorang melaksanakan shalat Lihurmatil Waqti. Faktor-faktor itu bisa disimpulkan menjadi empat bagian:
1. Tidak menemukan sarana untuk bersuci, baik berupa air atau debu. Dan, dalam literatur kitab fiqih dikenal dengan istilah fâqiduth thahûraini.
2. Dalam perjalanan, sekira jika turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat akan tertinggal dari rombongannya, atau khawatir hartanya dicuri orang lain. Hal ini bisa terjadi dalam perjalanan dengan kendaraan seperti bus, kapal, kereta api, pesawat, dan lainnya.
3. Shalat dalam keadaan najis dan tidak ada debu untuk menghilangkannya, sementara air yang ada sangat dibutuhkan orang-orang yang bersamanya saat dahaga.
4. Orang yang sedang disalib (termasuk dipasung atau diikat, red), berada di perahu, dan orang sakit yang tidak bisa mengambil air, atau bisa mengambil namun tidak bisa melakukan wudhu.
Shalat Lihurmati Waqti adalah ibadah yang sah dan menggugurkan kewajiban saat itu. Artinya, seandainya setelah melakukan shalat seseorang meninggal dunia maka dirinya tidak dihukumi meninggalkan shalat dan tidak dianggap maksiat. Meski demikian, shalat yang dilakukan karena empat faktor di atas, menurut ulama mazhab Syafi’i, wajib mengulangi shalatnya. Sebab, shalat itu hanyalah sarana untuk menghormati waktu shalat yang sudah masuk, bukan sepenuhnya menghilangkan kewajiban shalatnya (Wazaratul Auqaf wasy Syu’un Islamiah, Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, [Kuwait: Dar as-Shafwah, 1984], juz 14, h. 273).
Niat dan Teknis Pelaksanaannya
Sebagaimana penjelasan di atas, semua syarat sah dan rukun-rukun shalat wajib dipenuhi ketika melakukannya, seperti bersuci, menghadap kiblat, dan memenuhi rukun-rukun shalat. Namun, dalam keadaan yang tak memungkinkan syarat sah dan rukun dilaksanakan secara sempurna, syariat Islam (fiqih) memberikan dispensasi bagi umat Islam untuk melakukan melakukannya sesuai kemampuan. Dalam konteks inilah shalat Lihurmatil Waqti disyariatkan.
Adapun lafal niat shalat Lihurmatil Waqti untuk shalat Zuhur, yaitu:
أُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ لِلّٰهِ تَعَالَى
“Saya niat shalat Zuhur empat rakaat sebab menghormat waktu karena Allah Ta’ala.”
Begitupun dengan lafal niat shalat Lihurmatil Waqti untuk shalat Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh. Hanya perlu mengubah lafal nama shalat dan jumlah rakaatnya. Pelafalan niat berstatus sunnah. Yang wajib adalah niat dalam hati bersamaan dengan takbiratul ihram.
Sedangkan teknisnya, jika memungkinkan untuk berdiri, maka berdiri, kemudian melakukan ruku’ dan sujud sebagaimana mestinya dan diakhiri dengan salam. Namun, jika tidak memungkinkan dan harus dilakukan dengan cara duduk serta tidak bisa melakukan ruku’ dan sujud sebagaimana ketentuannya, maka teknis yang tepat ketika ruku’ adalah menundukkan kepalanya, setelah itu i’tidal, kemudian sujud dengan menundukkan kepala lagi lebih rendah daripada praktik saat ruku’.
Shalat Lihurmatil Waqti pada umumnya terjadi ketika sedang bepergian, misalnya saat menaiki kendaraan; bus, kereta, kapal dan lainnya. Bagaimana teknisnya? Mari bahas pelan-pelan.
Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf dalam kitab Taqriratus Sadidah menjelaskan bahwa orang-orang yang sedang menaiki kendaraan, seperti bus, kereta api, dan perahu wajib untuk menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, serta wajib menghadap kiblat dalam semua shalatnya. Tentu saja kewajiban ini berlaku bila kondisi memungkinkan untuk melakukan semuanya. Jika tidak memungkinkan maka boleh baginya melakukan shalat sebagaimana yang ia bisa.
Begitu juga orang yang sedang bepergian dengan menaiki pesawat. Jika ia tidak mampu untuk melaksanakan shalat tepat pada waktunya sebelum naik ke pesawat (take off) atau setelah mendaratnya pesawat (landing), wajib baginya shalat di dalam pesawat dengan cara ruku’ dan sujud secara sempurna, serta wajib pula menghadap kiblat, jika hal itu memungkinkan. Jika tidak, boleh baginya melakukan shalat sebagaimana yang ia bisa (Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf, Taqriratus Sadidah, [Darul Minhaj, Damaskus, 2005], h. 201).
Pembagian Fâqiduth Thahûraini
Seperti disebutkan, ada empat sebab dilaksanakannya shalat Lihurmatil Waqti, di antaranya lantaran sakit yang membuat seseorang tidak bisa melakukan wudhu dan tayamum. Ia harus melakukan shalat Lihurmatil Waqti semampunya meski tanpa bersuci. Penyebab lainnya adalah tidak adanya media bersuci, yakni air dan debu (fâqiduth thahûraini). Kasus yang kedua ini lebih sering terjadi serta lebih banyak disebutkan dalam kitab-kitab fiqih.
Fâqiduth thahûraini terbagi menjadi dua bagian, (1) fâqiduth thahûraini tanpa hadats besar dan (2) fâqiduth thahûraini disertai hadats besar. Fâqiduth thahûraini yang pertama harus membaca bacaan yang menjadi rukun dalam shalat, seperti takbiratul ihram, surat al-Fatihah, shalawat, dan salam yang pertama. Juga, diperbolehkan baginya untuk membaca bacaan-bacaan sunnah dalam shalat, seperti membaca surat pendek setelah membaca al-Fatihah dan bacaan sunnah lainnya.
Sedangkan fâqiduth thahûraini yang kedua tidak diperbolehkan menambah bacaan-bacaan sunnah. Ia hanya diperbolehkan membaca bacaan wajibnya saja, seperti yang telah disebutkan. Semua ini bisa terjadi apabila seseorang dalam keadaan hadats besar, dan tidak menemukan dua alat bersuci; air dan debu, sedangkan waktu shalat sudah masuk. Saat itu, tidak memungkinkan baginya untuk mencari alat bersuci (Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Bairut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1992], juz 4, h. 174).
Menurut Syekh Musthafa al-Bugha, fâqiduth thahûraini bisa terjadi disebabkan beberapa keadaan, yaitu:
1. Orang yang dipenjara, dipasung sehingga tidak bisa bergerak dan tidak bisa wudhu dan tayamum.
2. Orang sakit yang badannya dijejali selang infus atau peralatan medis lainnya, yang jika dilepas akan membahayakan keselamatan dirinya.
3. Dalam kendaraan, seperti pesawat, tidak bisa bersuci dan tidak ada media bersuci (air dan debu). Atau ada, tapi tidak bisa melakukan shalat dengan sempurna. Seperti tidak bisa menghadap kiblat, tidak sempurna ruku’ dan sujudnya. (Syekh Musthafa al-Bugha, Fiqhul Ibadat, [Darul Musthafa, Damaskus, 2018], h. 170).
Tiga keadaan di atas, diwajibkan untuk melakukan shalat Lihurmatil Waqti. Ia harus mengerjakan shalat sebagaimana yang ia mampu. Jika masih mampu untuk mengerjakan rukun-rukunnya, maka harus dikerjakan, namun jika tidak bisa, maka shalat semampunya. Syariat Islam (fiqih) menoleransinya disebabkan keadaannya yang tidak memungkinkan.
Waktu Shalat Lihurmatil Waqti
Shalat Lihurmatil Waqti mempunyai waktu sebagaimana waktu shalat wajib yang sedang dihadapi. Misalnya, shalat Lihurmatil Waqti pada waktu Zuhur, maka waktu yang bisa digunakan untuk mengerjakan shalat Lihurmatil Waqti adalah semua waktu Zuhur. Namun, waktu yang dibenarkan untuk melakukan shalat yang satu ini di awal atau justru di akhir waktu?
Syekh Nawawi Banten dalam kitab Nihayatuz Zain menjelaskan bahwa shalat Lihurmatil Waqti dilaksanakan pada akhir waktu. Sebab, jika dilakukan pada awal waktu, masih ada kemungkinan untuk menemukan sarana bersuci (air dan debu). Hal itu bisa terbukti dengan sampainya tujuan (ketika sedang bepergian), atau berhentinya kendaraan. Ketika tujuan sudah sampai, atau pada pertengahan waktu kendaraannya berhenti, dan saat berhenti menemukan air, maka ia harus melakukan shalat dengan sempurna, meski sebelumnya sudah melakukan shalat Lihurmatil Waqti.
Oleh karenanya, menurut Syekh Nawawi Banten, shalat Lihurmatil Waqti hendaknya dilakukan pada akhir waktu shalat. Kecuali, harapan untuk bisa melakukan shalat dengan sempurna sudah tidak ada meski di akhir waktu, maka dalam hal ini, diperbolehkan baginya melakukan shalat Lihurmatil Waqti di awal waktu shalat. Misalnya, perjalanannya masih sangat jauh dan kendaraan yang ditumpangi tidak akan berhenti, atau dalam keadaan sakit yang sudah tidak bisa menyempurnakan syarat dan rukun shalat. (Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, [Bairut: Darul Fikr, 2000], halaman 32).
Perihal Kewajiban Mengulangi Shalat
Shalat Lihurmatil Waqti yang dilakukan dalam kendaraan seperti bus, kereta, kapal, dan pesawat, setidaknya bisa dibagi menjadi dua bagian: (1) dilakukan dengan menyempurnakan ruku’, sujud, dan menghadap kiblat (2) dilakukan tanpa menyempurnakan ruku’, sujud, dan tidak menghadap kiblat.
Untuk praktik yang pertama, tidak diwajibkan bagi orang yang bepergian menggunakan bus, kereta dan kapal untuk mengulang (i‘âdah) shalat yang dilakukan dengan cara demikian, namun diwajibkan bagi orang yang menaiki pesawat sebab posisi pesawat tidak menetap (tidak bersentuhan) di atas tanah.
Sedangkan untuk praktik shalat yang kedua, para ulama sepakat tanpa terjadi perbedaan pendapat bahwa wajib hukumnya mengulang shalatnya (Habib Hasan al-Kaf, Taqriratus Sadidah, 2005, halaman 202).
Kewajiban mengulang shalat juga berlaku bagi tiap shalat Lihurmatil Waqti yang tidak memenuhi poin rukun atau syarat sah lainnya secara sempurna, semisal dilakukan dengan membawa najis atau dalam kondisi berhadats (tanpa wudhu atau tayamum).
Imam al-Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir mengatakan bahwa ada dua kondisi kapan shalat i’adah itu dilakukan.
Pertama, dilakukan ketika menemukan air, bukan debu. Hal ini bagi orang yang melakukan shalat Lihurmatil Waqti disebabkan tidak adanya media bersuci: air dan debu. Seperti dalam keadaan musafir, atau mukim namun tidak menemukan dua media bersuci tersebut.
Kedua, dilakukan ketika sembuh atau alasan lainnya. Hal ini bagi orang yang melakukan shalat Lihurmatil Waqti disebabkan sakit dan tidak bisa melakukan shalat wajib dengan menyempurnakan syarat sah dan rukunnya. (Syekh Abul Hasan al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir lil Mawardi, [Bairut: Darul Fikr, 1997], juz 1, h. 499).
Adapun teknis shalat I’adah adalah sebagaimana shalat biasa, dengan niat yang sama. Ia hanya mengulanginya kembali, tanpa ada perubahan, mulai dari niat, bacaan, dan gerakan-gerakan shalat (Syekh Abu Bakar Syata ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Maktabah Surabaya, 2006], juz 2, h. 11). Hal ini berlaku baik shalat I’adah itu dilaksanakan di luar waktu shalatnya (qadha’) maupun masih dalam waktunya (ada’).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa shalat Lihurmatil Waqti menempati posisi yang sangat penting dan tidak kalah wajib dengan shalat fardhu biasanya, baik dilaksanakan (1) karena kendala media bersuci (tak ada air dan debu sehingga masih dalam kondisi najis atau berhadats) ataupun (2) karena kendala fisik (dipasung, perjalanan di kendaraan umum, atau desakan situasi sehingga tak mampu ruku’, sujud, menghadap kiblat, atau bersuci sebagaimana mestinya). Shalat dilakukan dengan sepenuh mungkin syarat dan rukunnya, tidak asal-asalan, dan syariat memberi toleransi pada syarat dan rukun yang memberatkan atau bahkan mustahil dilakukan secara sempurna.
Meski tetap wajib mengulang, shalat Lihurmatil Waqti sudah membebaskan seseorang dari perbuatan maksiat meninggalkan shalat. Sebagaimana penjelasan awal, jika seandainya setelah melakukan shalat Lihurmatil Waqti ia meninggal maka ia tidak dianggap sebagai hamba yang meninggalkan shalat.
Wallahu a’lam bis shawab.
Oleh: Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur
Sumber: Situs PBNU