“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahf: 28)
Sabarkan dirimu dan teguhkanlah ia bersama sahabat-sahabatmu yang fakir, seperti Amar bin Yasir, Suhaib, Bilal, Ibnu Mas‘ud dan lain-lain, yang menyeru kepada Tuhan mereka pagi dan petang, bertasbih dan mengamalkan amal-amal saleh, karena berharap akan keridaan Allah. Mereka tidak menginginkan suatu kemewahan duniawi atau kelezatan dan kenikmatannya.
Ada sebuah riwayat mengatakan, bahwa Uyainah bin Hishn Al-Fazari pernah datang kepada Nabi saw. sebelum masuk Islam, yang waktu itu Nabi sedang dihadapi oleh sekelompok sahabat yang fakir-fakir. Di antara mereka, terdapat Salman Al-Farisi. Dia memakai sebuah baju sempit yang karenanya ia berkeringat. Sedang tangannya memegang seutas daun kurma yang dia belah-belah, kemudian dipintal. Uyainah berkata kepada Rasul, “Tidakkah Anda terganggu dengan bau orang-orang itu, sedang kami adalah orang-orang besar dan para bangsawan Mudhar? Jika kami masuk Islam, orang lain-lain pun ikut masuk Islam, padahal tak ada yang menghalangi kami untuk mengikuti kamu kecuali orang-orang itu. Maka singkirkanlah mereka agar kami siap mengikuti kamu atau berilah mereka satu majelis dan kami diberi majelis tersendiri.” Dengan adanya peristiwa itu, maka turunlah ayat ini.
Demikian pula diriwayatkan dari Abu Sa‘id dan Abu Hurairah. Mereka berkata, Rasulullah saw. datang ketika ada seseorang lelaki membaca surah Al-Ḥijr atau surah Al-Kahf. Maka orang itu pun diam. Maka sabda Rasulullah saw.: “Inilah majelis yang aku disuruh untuk menahan diriku (menyabarkan) bersama mereka”.
Semakna dengan ayat ini ialah firman Allah Ta‘ala:
“Janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhan-nya di pagi dan petang hari, mereka mengharapkan keridaan-Nya. (Al-An‘ām/6: 52)
Perkataan mereka itu serupa dengan perkataan kaum Nabi Nuh:
“Apakah kami harus beriman kepadamu, padahal pengikut-pengikutmu orang-orang yang hina?” (Asy-Syu‘arā'/26: 111)
Kemudian Allah memerintahkan pula kepada Rasul-Nya saw., supaya memperhatikan keadaan sahabat-sahabatnya yang fakir-fakir itu, firman-Nya:
Dan janganlah kamu memalingkan pandanganmu dari mereka karena menginginkan untuk bisa mempergauli orang-orang kaya, supaya mereka beriman.
Kesimpulannya, dilarang menghina orang-orang fakir serta memalingkan pandangan dari mereka kepada selain mereka karena kefakiran atau keburukan pakaian mereka.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda setelah turun-nya ayat ini:
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di kalangan umatku orang-orang yang aku disuruh untuk menahan diriku bersamanya.”
Larangan ini kemudian ditegaskan lagi oleh Allah dengan firman-Nya:
Dan janganlah kamu menuruti orang yang hatinya Kami jadikan lalai dari ingat kepada Allah, dengan menyingkirkan orang-orang fakir dari majelismu, karena orang yang hatinya dibuat lalai itu kesiapannya memang buruk, dia memperturutkan syahwat-syahwat, sangat berlebihan dalam hal itu, dan jiwa mereka kotor. Sehingga hatinya tercemar oleh kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan, lalu terus melakukan dosa dan kesalahan.
Hal ini merupakan peringatan bahwa yang mendorong orang-orang kafir untuk menyuruh mengusir orang-orang fakir itu, adalah kelalaian hati mereka untuk mendekat kepada Allah, serta melakukan hal-hal yang bisa mendekatkan kepada-Nya. Sedang mereka sibuk dengan urusan materi hingga mereka tidak tahu lagi bahwa kemuliaan diperoleh dengan perhiasan jiwa, bukan dengan hiasan tubuh dan kemewahan hidup, berupa pakaian, makanan, maupun pangkat.
Dan setelah Allah swt. menyuruh Rasul-Nya saw. supaya jangan condong kepada perkataan orang-orang kaya yang berkata: “Bila kamu mengusir orang-orang fakir itu, maka kami akan beriman kepadamu”. Maka disuruhnya pula supaya mengatakan kepada mereka dan selain mereka, dengan nada mengancam dan menggertak: “Inilah kebenaran dari Tuhanmu, maka barang siapa yang mau, ia boleh beriman dan siapa yang mau, boleh juga kafir”.
Sumber : Tafsir Al-Maraghi