Di kalangan umat Islam terutama kaum santri tentu tidak asing lagi mendengar nama ulama besar yang mempunyai nama lengkap Syaikh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Ghazali. Beliau adalah sosok ilmuwan Islam terkemuka abad 10. Dengan karya-karyanya yang jumlahnya ratusan kitab telah mengantarkan beliau menjadi ulama besar yang disegani oleh ulama-ulama dunia.
Beliau lahir di Desa Thus, Khurasan, Iran pada tahun 450 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1059 Miladiyah. Beliau mempunyai seorang adik yang bernama Ahmad. Ayah beliau adalah seorang buruh pemintal wol. Walaupun hidup dalam kesederhanaan, namun ayah Imam Ghazali sangat gemar mendatangi majelis-majelis ilmu. Bahkan sebelum berangkat bekerja, ayahnya selalu mengajak beliau dan adiknya mendatangi majelis ilmu untuk mendengarkan nasihat dan pengajaran para ulama di Khurasan. Kecintaan ayah beliau pada ilmu dan ulama tidak diragukan lagi. Suatu ketika, ayah beliau terlambat mengikuti pengajian karena sesuatu hal. Ia memberanikan diri untuk menemui sang ulama untuk meminta mengajarkan kembali apa yang barusan diajarkan di majelis. Sang ulama pun dengan senang hati mengajarkannya kembali karena melihat kesungguhan dan kedisiplinannya dalam mengikuti pengajian.
Suatu hari, ayah Imam Ghazali berwasiat kepada sahabat karibnya, “Wahai sahabatku, jika aku nanti meninggal dunia, aku titipkan kedua putraku kepadamu, tolong masukkan mereka ke madrasah atau mejelis ilmu agar mereka menjadi orang yang berilmu”. Sebelum ayah Imam Ghazali meninggalkan rumah sahabat karibnya itu, ia memberikan sejumlah uang untuk keperluan kedua putranya itu dari tabungan gaji sebagai buruh pemintal wol.
Setelah ayah Imam Ghazali wafat, beliau dan adiknya disekolahkan di madrasah sekitar tempat tinggalnya oleh sahabat karib ayahnya. Selang beberapa tahun, beliau dan adiknya pun tumbuh menjadi remaja yang pandai dan taat. Karena terbatasnya biaya yang diamanahkan ayah beliau, sahabat karib ayahnya pun mencari beasiswa di kota Baghdad, Irak yang merupakan pusat ilmu pengetahuan pada masa itu. Akhirnya, beliau dan adiknya diterima di salah satu Yayasan Pendidikan yang berada di Kota Baghdad. Yayasan itu bernama Yayasan Pendidikan Islam An-Nidhamiyyah.
Seiring berjalannya tahun, beliau dan adiknya tumbuh menjadi pengkaji-pengkaji ilmu yang matang. Dengan kecerdasan yang dimiliki keduanya dan kesederhaan hidup yang dijalaninya. Beliau dan adiknya akhirnya menjadi ulama besar di kota Baghdad. Namun, keduanya memilih jalan hidup yang berbeda. Imam Ghazali memilih hidup di Kota Baghdad dengan mengajarkan ilmu dan mengembangkan pemikiran Islamnya. Sedangkan adiknya memilih berdakwah dan mengabdi kepada umat di daerah pedesaan negeri Irak dengan mendalami dan mengamalkan ilmu tasawufnya.
Suatu hari, Imam Ghazali didera kebingungan dan keresahan yang berat dalam pikirannya. Beliau berfikir, “Selama ini, aku sudah banyak sekali mengarang kitab, mengajar ilmu dan melayani umat dengan pendidikan. Namun, pikiran ini seolah resah saat aku bergaul dengan pejabat, orang-orang kaya, akademisi dan orang-orang terpandang di negeri ini. Ada apa gerangan sehingga aku semakin resah dan tidak tahu arah”.
Baca: Dialog Imam Ghazali Dengan Para Santri
Suatu ketika, adik beliau bersilaturrahim ke rumah beliau yang serba lengkap. Karena, sudah sewajarnya beliau adalah seorang Guru Besar di Universitas An-Nidhamiyyah. Setelah berbincang-bincang lama, beliau mengajak adiknya untuk shalat berjama’ah. Dan beliau menjadi Imam shalatnya. Setelah baru mendapat satu raka’at, adik beliau memisahkan diri dari jama’ah (mufaraqah). Dalam hati beliau bergumam, “Mengapa adik saya mufaraqah?”. Sehabis menyelesaikan shalat dan dzikirnya, beliau pun bertanya kepada adiknya, “Wahai Ahmad, ada apa gerangan engkau memisahkan diri dari shalat berjama’ah tadi?”. Adiknya pun menjawab, “Wahai kakanda, ketika di tengah-tengah shalat tadi, aku melihat tubuh dan sajadah engkau berlumuran darah sehingga aku pun memisahkan diri dari shalat berjama’ah”. Beliau pun kaget dengan jawaban adiknya itu, beliau mengetahui bahwa adiknya telah mendapat derajat Mukasyafah (dapat mengetahui jalan pikiran orang lain karena dekat dengan Allah). Beliau lalu menuturkan, bahwa saat baru dapat satu raka’at, pikiran beliau terlintas tentang masalah darah wanita (haid). Sejak saat itu, Imam Ghazali pun mulai berhijrah dari hidup yang serba kecukupan menuju hidup yang sangat sederhana. Beliau memutuskan untuk berpindah dari kota Baghdad menuju perkampungan terpencil yang tidak ada penduduk maupun kemewahan dunia.
Dalam sejarahnya, Imam Ghazali ‘uzlah (mengasingkan diri) ke perkampungan terpencil (hutan) selama kurang lebih 10 tahun. Beliau membawa serta istri dan anak-anaknya untuk meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi dan konsentrasi beribadah kepada Allah swt. Selama dalam pengasingan itu, Imam Ghazali telah merampungkan sebuah kitab yang fenomenal dan diakui kehebatannya oleh ulama-ulama dunia sebagai sebuah kitab yang lengkap dan bernuansa perjalanan kehidupan manusia. Bahkan ada sebuah maqalah ulama yang berbunyi, “Seandainya di dunia ini tidak ada kitab suci Al-Qur’an dan As-Sunnah, tentu kitab ini sudah cukup sebagai pedoman manusia dalam menjalani kehidupan”. Kitab karangan Imam Ghazali yang fenomenal ini bernama Kitab Ihya Ulumuddin. Kemudian, Imam Ghazali pun semakin tinggi kecintaan dan kedekatannya dengan Allah swt. setelah melalui perjalanan panjang dalam menggapai derajat yang dicita-citakannya, yaitu dekat dengan Allah swt. dan menjauhi persoalan duniawiyah.
Baca: Rahasia Kecerdasan Imam Ghazali
Inilah perjalanan spiritual Imam Ghazali dalam menggapai derajat tinggi di sisi Allah swt. Dulu, beliau senang berkumpul dengan pejabat, orang-orang kaya, akademisi dan orang-orang terpandang. Sekarang beliau menjaga jarak dengan mereka demi kedekatan dan kecintaannya kepada Allah swt. Hijrahnya beliau dari kehidupan yang sarat duniawiyah menuju kehidupan yang tasawuf, zuhud dan mendekat kepada Allah swt. berjalan sampai beliau wafat pada hari Senin tanggal 14 Jumadal Akhir tahun 505 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 1 Desember tahun 1111 Miladiyah di kota kelahirannya, Thus, Khurasan, Iran.
Wallahu A’lam
Oleh :
Saifurroyya
Sumber :
Mauidhah KH. Yahya Al-Mutamakkin (Pengasuh Ponpes Madinah Munawwarah, Semarang)
ADS HERE !!!