Pertengahan tahun 80-an, lagu “Kota Santri” yang dibawakan oleh grup qasidah Nasida Ria dari Semarang begitu akrabnya di telinga masyarakat. Namun barangkali tidak semua orang tahu, dari benak siapa lagu itu lahir. Keberadaan pengarang lagu memang biasanya tenggelam oleh syahdunya musik dan ketenaran pelantunnya. Ini pula yang dialami oleh Bapak Suhaemi, pencipta andal lagu-lagu qasidah.
Lagu “Kota Santri” itu hingga kini dicetak dalam 12 bahasa dengan berbagai jenis musik diantaranya dangdut, jawa, disco, keroncong, pop dan sebagainya
Lagu-lagu ciptaan Bapak Suhaemi yang juga populer antara lain : Ada Ubi Ada Talas, Masitoh Indonesia, Pergi Mengaji, Jilbab Putih, Pondok Pesantren, Ulama dan Umaro, Azan Di Bulan, Asyik Santai, Pantun Gembira, Jangan Merayu, Abad Modern, Nasehat Pergaulan, Balada Walisongo, Buah Kuldi, Remaja Utuh, Melangkah Masa Remaja, Miskin Tapi Bahagia, Serba Salah dan masih banyak lagi lagu-lagu qasidah ciptaan beliau.
Perkenalan dengan dunia musik dimulai sejak tahun 1955, karena tradisi rebana di kampungnya di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Dan keterlibatannya terlihat semakin intens manakala beliau menjadi juara 2 festival dendang melayu se-Jawa Tengah tahun 1958, dan juara 1 tahun 1960, sejak saat itu beliau banyak menggeluti dunia vocal. Ketenaran namanya membawa laki-laki kelahiran Kaliwungu 20 Agustus 1940 ini masuk dapur rekaman dan mencipta lagu bersama grup Nasida Ria Semarang dengan lagunya “Pergi Mengaji” yang dilantunkan vocalis Alfiyah, bersamaan dengan itu juga terlibat dengan beberapa grup qasidah dan grup tradisional di kampung kelahirannya, juga di Semarang, Pekalongan bahkan Surabaya. Hingga sampai saat ini sudah 280 lagu yang lahir dari kepekaan imajinasinya, meski demikian beliau enggan disebut pencipta lagu apalagi disebut komponis, sebab memang tidak pernah bercita-cita kesana, ''Niat saya hanya andil dalam syi’ar Islam karena kemampuan yang ada pada diri saya adalah anugerah dari Allah swt.” ujarnya. Nampaknya ini berkaitan dengan cita-citanya yang tidak kesampaian menjadi muballigh/penceramah, beliau merasa lemah dalam menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Jadilah beliau berdakwah lewat seni qasidah, karena keinginannya untuk syi’ar Islam terus menggelora di dalam kalbu beliau.
Terdorong keinginan kuat untuk berbuat demi kebaikan agamanya, lagu-lagu buah karya kakek 6 cucu ini selalu mensisipkan ayat-ayat Al-Qur’an, ide dasar lagunya pun selalu berdasar Al-Qur’an dan Hadits, bukan yang lain. Ilhamnya datang saat bepergian atau melihat dan mendengar sesuatu, yang sepele sekalipun. Misalnya untuk membuat lagu-lagu remaja, beliau berusaha banyak bergaul dan bercanda dengan kawula muda di sekitar rumahnya. Lagu “Kota Santri” lahir ketika saat itu beliau melihat sekelompok santri hilir mudik ke Masjid dan Pesantren. Benaknya lantas melayang, membayangkan damai dan indahnya tinggal di Kota Santri.
Baru-baru ini beliau mengarang lagu tentang reformasi politik yang berbicara tentang perlunya keadilan dan penegakan hukum. Sayang pihak produser khawatir lagunya yang nyerempet politik itu akan memunculkan kegerahan pihak-pihak tertentu. Alasan yang masuk akal, sebab sekitar tahun 1983 silam, lagu Bapak Suhaemi yang berjudul “Gema Suara Azan di Bulan” sempat memunculkan polemik media massa Jakarta. Lagu tersebut mengisahkan tentang astronout Amerika, Neil Amstrong, yang masuk Islam karena mendengar azan di bulan. Nah, ada beberapa pihak yang kebakaran jenggot dengan lagu itu,''Tapi ada hikmahnya juga, iklan gratis'' ujar pengarang yang pendidikannya jebolan sgb ini. Dan benar, dalam waktu beberapa minggu, kasetnya ludes diserbu oleh para penggemar lagu qasidah. Banyak juga yang dibajak oleh produser-produser gelap.
Bapak Suhaemi mengaku tidak punya jiwa bisnis, sehingga hal ihwal pemasaran lagu-lagunya beliau tidak banyak tahu. Termasuk beliau tidak pernah mematok harga kepada produser yang membeli lagu ciptaannya. Yang penting, tidak memberatkan dirinya dan tidak merugikan produser. ''Kalau saya memikirkan masalah harga, berarti saya sudah menyimpang dari niat saya dalam berdakwah'' ujar Suhaemi memberi alasan.
Untuk satu lagu , biasanya beliau menerima Rp. 300 ribu dari produser. Hal yang sama bila lagunya dicetak ulang. Jika lagunya meledak di pasaran, kadang beliau menerima bonus, seperti lagu “Kota Santri” itu beliau mendapat televisi dan tape. Suhaemi memang berbeda dengan pencipta lagu kondang lain pada umumnya yang bisa makmur dari mencipta lagu. Beliau juga enggan hijrah ke Kota Besar yang mungkin lebih menjanjikan secara materi. Suhaemi tetap merasa damai tinggal di rumahnya yang setiap waktu harus bising dengan suara Kereta Api yang lewat disebelah rumahnya. Suami ibu Marsinah [54 tahun] ini tergolong orang yang sangat sederhana. Bapak 9 orang anak ini tetap menekuni pekerjaan utamanya sebagai penjaga Pom Bensin. Ditengah kepulan asap kendaraan bermotor beliau tetap berusaha mengolah jiwa sederhananya. Tatkala jaga malam mengemban amanah yang telah digelutinya selama 34 tahun itu, beliau jarang memejamkan mata sementara teman-temanya tertidur pulas tenggelam masing-masing dalam mimpinya. H. Suhaemi lebih suka melewati waktunya dengan merenung dan menganyam imajinasinya. Alhasil, lahir beberapa lagu dari sebuah SPBU di Semarang, tempat beliau bekerja, antara lain dengan judul BBM. Dalam kondisi apapun beliau bisa mengarang lagu, asal kondisi keluarganya sehat wal’afiat tak kurang satu apapun. Namun dalam kurun 3 tahun terakhir, beliau sempat vakum mencipta lagu, beliau kecewa berat, lantaran produser yang menjanjikan bonus naik haji, tak merealisasikan janjinya itu. Berkat dorongan kawan kawan dan keinginannya untuk tetap berdakwah, beliau kembali bangkit berkarya. Kini beliau tengah merilis album bersama produser barunya mempersembahkan lagu-lagu qasidah ala Jawa yang diharapkan mampu memberi pilihan variasi musik di telinga pendengar setianya. ''Masyarakat menuntut kita terus kreatif menciptakan lagu-lagu bernuansa beda dengan era emas qasidah beberapa saat lalu'' beliau sudah menyiapkan nama bagi grup qasidah barunya ; Syautul Jihad yang berarti suara perjuangan.
Kehandalan Bapak Suhaemi dalam mencipta lagu, sempat mengundang keheranan seorang intelektual budaya sebuah perguruan tinggi di Semarang. Menurut pakar itu, syair-syair bersastra tinggi seperti ciptaan Bapak Suhaemi, tentu lahir dari seorang berpendidikan tinggi. Padahal, jangankan mengecap pendidikan musik normal, not balok pun Bapak Suhaemi tidak paham. Malah ada sebuah lagu yang dianggap syairnya sangat bagus, sehingga ahli sastra pun tak mampu membuat sebagus itu. ''Jelas saja, wong syairnya itu saya kutip dari Al-Qur’an,” ujar Suhaemi.
Al-Qur’an memang menjadi pedoman bagi beliau dalam berkarya. Maka tak heran jika beliau protes keras terhadap pencipta lagu yang banyak mengedepankan syair-syair yang berbau keduniawian dan maksiat. Lewat seni apa saja, mestinya para seniman harus mengajak kepada kebaikan, akhlaqul karimah, peningkatan iman dan taqwa. Bukannya menebar maksiat lewat seni.
Kini, sosok sederhana itu sekarang telah tiada, sudah kembali keharibaan Sang Pencipta Alam ini, Bapak Suhaemi telah berpulang ke Rahmatullah pada bulan Ramadhan 1433 H./26 juli 2012 M. di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah, Semoga seluruh amal baktinya diterima oleh Allah swt. Amin Ya Robbal ‘Alamin…
Sumber :
mrkacunk.blogspot.com