Tidak banyak kyai pesantren yang telaten menuangkan gagasannya secara rinci menjadi satu kitab berbahasa Arab. KH. Sahal Mahfudz, Rais ‘Aam PBNU adalah salah satu diantara yang tidak banyak itu. Syaikh Yasin al-Fadani adalah seorang gurunya yang tidak hanya mengajar dan menemaninya menulis, tetapi juga memberikan motivasi.
Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz adalah santri kelana biasa yang berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain, berdiskusi dengan banyak kyai. Saat mondok di Pesantren Bendo, Pare, Kediri, beliau seringkali bermalam di Kedunglo, Kediri dan berdiskusi secara intensif dengan seorang kyai di sana. Beliau juga sering menghabiskan waktu dengan Kyai Bisri Syansuri di Jombang.
Perkelanaannya dilanjutkan ke Pesantren Sarang, Rembang dan berguru kepada Kyai Zubair (Ayahanda KH. Maimun Zubair). Salah satu kitab yang didiskusikan adalah Ghoyatul Wushul karya Syekh Zakariya Al-Anshori ulama Syafi’iyah abad ke-9 Hijriyah. Diskusi berlangsung secara intensif. Di sela menerima tamu beliau diajak berdiskusi. Saat bepergian keluar kota, mereka mengendarai dokar dan diskusi pun berlanjut. Kyai Zubair juga senang membuat pancingan. Terjadilah perbincangan dan Kyai Sahal pun rajin membuat catatan (ta’liqat) dalam bahasa Arab.
Hobi menulis dilanjutkan dengan mengirimkan surat (murasalah) kepada Syaikh Muhammad Yasin Padang, seorang kyai pesohor dari Indonesia yang menjadi ulama besar dan menetap di Tanah Suci (Mekah). Kyai Sahal mengomentari tulisan Syaikh Yasin dalam satu kitab, membantahnya dengan argumentasi berdasarkan kitab yang beredar di Jawa. Satu surat berisi sekitar 3-4 lembar, berbahasa Arab.
Kyai Sahal terkejut, ternyata Syaikh Yasin membalas surat secara serius. “Saya ini santri, berkirim surat, mengomentari pendapat beliau. Tidak dimarahi saja sudah untung,” kata beliau. Namun nyatanya surat Kyai Sahal dibalas oleh Syaikh Yasin, dan Kyai Sahal pun mengirim surat lagi. Syaikh Yasin membalas lagi. Terjadi dialog intensif jarak jauh. Surat-surat yang dikirimkan cukup panjang dan serius. Sepertinya ada perdebatan menarik dalam surat-surat itu. Dan saling kirim surat itu berlangsung sampai sekitar satu setengah tahun.
Syahdan, ketika turun dari kapal, saat Kyai Sahal menginjakkan kaki di Mekah, seseorang tak dikenal langsung memeluknya dan menariknya ke sebuah warung. Seseorang itu tidak lain adalah Syaikh Yasin sendiri. Mungkin dalam surat terakhir Kyai Sahal menuliskan bahwa dirinya akan menunaikan ibadah haji. Dan dalam pertemuan pertama itu pun mereka langsung akrab.
Kyai Sahal diminta tinggal di rumah Syaikh Yasin. Setiap pagi ia bertugas berbelanja ke pasar membeli kebutuhan Syaikh Yasin. Dan setelah itu Kyai Sahal berkesempatan belajar dengan seorang ulama besar yang diseganinya itu selama dua bulanan.
Dalam diskusi dan perdebatan, Syaikh Yasin mendudukkan Kyai Sahal seperti teman diskusi. Barangkali ini tidak seperti kebiasaan kyai-santri di Jawa. Syekh Yasin sangat otoritatif tetapi pada satu sisi cukup egaliter.
Dua bulan pertemuan, Syaikh Yasin mengijazahkan banyak kitab yang menginspirasi Kyai Sahal menulis banyak kitab. Dan ta’liqot yang ditulisnya saat belajar bersama Syaikh Zubair dirapikan kembali. Terkumpul 500-an halaman dan belakangan dibukukan menjadi satu kitab bertajuk “Thoriqatul Husul”. Kitab ini sudah sampai ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, menjadi rujukan para pengkaji ushul fiqih.
Wallahu A’lam
ADS HERE !!!