Suatu hari, Mbah Asror mendapat undangan Khotmil Qur’an dari salah satu santrinya dari Purwodadi (Grobogan). Santri Mbah Asror tersebut sudah menjadi seorang kyai muda dan memiliki puluhan santri.
Saat akan berangkat menuju ke Purwodadi, Mbah Asror ditemani seseorang yang biasa menemani beliau saat bepergian ke luar kota. Seperti biasa, Mbah Asror mengenakan pakaian yang sederhana. Sedangkan pendereknya (yang menemani beliau) mengenakan pakaian layaknya kyai.
Saat tiba di lokasi acara, puluhan santri langsung mengerubuti dan menyalami pendereknya Mbah Asror. Karena mereka mengira kyai yang ditunggu-tunggu itu dia. Setelah mendekati panggung acara, kyai muda itu langsung menyambut dan menyalami Mbah Asror yang kebetulan berjalan di belakang pendereknya. Betapa kaget dan malu para santri, karena mereka salah mengira ternyata gurunya kyai mereka bukan orang yang dikerubuti dan disalami mereka tetapi malah orang yang dicuekin (tidak disalami) mereka.
Ada juga kisah tentang kerendahan hati Mbah Asror. Walaupun dikenal alim, beliau tidak malu setiap hari Selasa Pagi mengaji kepada Kyai Muchlas di Serambi Masjid Besar Al-Muttaqin. Padahal Kyai Muchlas lebih muda usianya dan secara dhahir kealimannya pun di bawah Mbah Asror. Sebab, Kyai Muchlas hanya menguasai ulumussyari'ah, sedangkan Mbah Asror menguasai ulumulqur'an dan ulumussyari'ah.
Ada lagi kisah tentang ketawadhu'an atau kerendahan hati Mbah Asror yang bersumber dari KH. Muntakhob Mustahdi dari Cirebon. Mbah Asror pernah mengaji kitab Fathul Mu'in dan kitab Tafsir Jalalain kepada muridnya sendiri, yaitu KH. Mustahdi Hasbullah dari Cirebon. Beliau tidak malu dan tidak segan untuk ngaji kepada muridnya sendiri. Hal ini mengingatkan pada ketawadhu'an salah satu guru beliau, yaitu KH. Ahmad Ru'yat. KH. Ahmad Ru'yat juga pernah mengaji kitab Tafsir Munir dan kitab Durratun Nasihin kepada santrinya sendiri yang bernama Shofi dari Pemalang dan Irsyad dari Tegal.
Saking tawadhu'nya, saat Mbah Asror disuruh mengajar kitab Fathul Mu'in di serambi masjid sebelah utara oleh gurunya (KH. Ahmad Ru'yat), beberapa kiai Kaliwungu agak sangsi (ragu) dan tidak percaya, sebab Mbah Asror tidak pernah mondok di luar Kaliwungu selama beberapa tahun. Namun, setelah Mbah Asror menjalankan perintah gurunya itu beberapa hari, kiai-kiai Kaliwungu pun takjub akan kealiman Mbah Asror. Ternyata, Mbah Asror benar-benar alim.
Jika ada seseorang bertanya tentang ulumussyari'ah kepada Mbah Asror, biasanya beliau menyuruh orang tersebut bertanya dulu kepada Mbah Humaid (KH. Humaidullah Irfan). Padahal orang tersebut tahu kalau sebenarnya Mbah Asror pun bisa menjawabnya.
Itulah di antara kesederhanaan dan kerendahan hati (ketawadhu'an) Mbah Asror. Beliau mengajarkan kepada kita bahwa kealiman dan kebesaran nama tidak harus diperlihatkan kepada orang lain. Allah-lah yang akan mengangkat derajat orang yang rendah hati (tawadhu’), bukan manusia ataupun yang lain.
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Sumber: Cerita Warga Kaliwungu dan Kitab Sirajul Hidayat
ADS HERE !!!