Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah cicit dari Sayyidina Umar bin Khattab, sehingga beliau juga sering disebut Khalifah Umar II. Khalifah Umar bin Abdul Aziz sangat masyhur sebagai orang yang wira'i, terutama saat beliau menjadi khalifah, beliau sangat berhati-hati dalam membelanjakan uang negara.
Suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz terlihat sibuk merampungkan sejumlah tugas di ruang kerja istananya, Tak lama berselang putranya masuk ke ruangannya dan hendak membicarakan sesuatu kepadanya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz bertanya: "Untuk urusan apa wahai anakku engkau datang ke sini, urusan negara ataukah keluarga?"
"Urusan keluarga ayahanda", jawab putranya
Tiba-tiba Khalifah Umar bin Abdul Aziz mematikan lampu penerang di atas mejanya, seketika suasana gelap. Kemudian putranya bertanya: "Kenapa ayah mematikan lampu itu?"
Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata: "Putraku, lampu yang sedang ayah pakai bekerja ini milik negara, minyak yang digunakan juga dibeli dengan uang negara, sementara perkara yang akan kita bicarakan adalah urusan keluarga, ayah tidak mau untuk urusan keluarga kita menggunakan fasilitas negara".
Khalifah Umar bin Abdul Aziz kemudian meminta pembantunya untuk mengambil lampu dari ruang dalam.
"Nah, sekarang lampu yang kita nyalakan ini adalah milik keluarga kita, minyaknya pun dibeli dengan uang kita sendiri. Silakan putraku, sampaikan urusanmu!".
Masya Allah, tentunya orang seperti Khalifah Umar II ini terlahir dari leluhur yang shalih dan shalihah. Hal ini pun tak lepas dari peran dan usaha kakek buyut beliau, yaitu Khalifah Umar bin Khattab yang selalu menginginkan keturunan yang shalih dan shalihah.
Lalu seperti apakah peran kakek buyutnya?
Khalifah Umar bin Khattab sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam, beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.
Kata si ibu: “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”.
Si anak menjawab: “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini”.
Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.
Anaknya membalas “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.
Khalifah Umar bin Khattab yang mendengar pembicaraan itu kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis miskin itu.
Ketika pulang ke rumah, Khalifah Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya yang bernama Asim untuk menikahi gadis miskin itu.
Khalifah Umar bin Khattab berkata, "Semoga lahir dari keturunan gadis miskin ini bakal pemimpin Islam yang hebat, kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.
Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa, Ummu Asim menikah dengan Khalifah Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz.
Kisah Mimpi Khalifah Umar bin Khattab
Khalifah Abdul Aziz bin Marwan merupakan seorang gubernur Mesir di era Khalifah Abdul Malik bin Marwan, kakaknya. Khalifah Abdul Aziz mempunyai seorang putra yang diberi nama Umar bin Abdul Aziz.
Sebagai seorang anak gubernur, Umar bin Abdul Aziz kecil diberi fasilitas untuk belajar menunggang kuda. Namun malang, seekor kuda jantan menendangnya sehingga keningnya robek, hingga tulang keningnya terlihat. Semua orang panik dan menangis, kecuali Khalifah Abdul Aziz bin Marwan seketika tersentak dan tersenyum. Seraya mengobati luka Umar bin Abdul Aziz kecil, dia berujar, “Bergembiralah engkau wahai Ummu Asim. Mimpi Khalifah Umar bin Khattab Insya Allah terwujud, dialah anak dari keturunan Umayah yang akan memperbaiki bangsa ini.“
Seperti apakah mimpi Khalifah Umar bin Khattab? Dalam mimpinya, beliau melihat seorang pemuda dari keturunannya, bernama Umar, dengan kening yang cacat karena luka. Pemuda ini memimpin umat Islam seperti dia memimpin umat Islam. Mimpi ini diceritakan hanya kepada keluarganya saja. Saat Khalifah Umar bin Khattab wafat, cerita ini tetap terpendam di antara keluarganya.
Salah satu hikmah dari kisah ini adalah, dari orang yang shalih akan terlahir keturunan yang shalih pula. Oleh karenanya, mari shalihkan diri jika menghendaki keturunan yang shalih.
Lalu, apa hikmah yang bisa kita petik dari kisah tersebut?
Pertama, bahwa pembentukan kepribadian anak dimulai dari jauh sebelum anak dilahirkan, bahkan sebelum sang anak di dalam kandungan ibunya. Pembentukan kepribadian anak dimulai dari perbaikan pribadi calon ayah dan calon ibu. Allah SWT dan Rasul-Nya memerintahkan kepada setiap laki-laki yang hendak menikah agar memilih wanita shalihah sebagai calon ibu dari anak-anaknya.
Kedua, bahwa keshalihan dari orang tua, Insya Allah akan menurun. Jika tidak ke anaknya, bisa ke cucunya, ke cicitnya, atau ke keturunan yang barangkali kita tidak menjumpainya karena keterbatasan usia. Jika kita merasa "terlanjur", dulu nikahnya kok gak pilih-pilih dulu, maka hendaknya kita tidak berputus asa. Masih ada kesempatan, mari bersama-sama memperbaiki diri, dan Insya Allah usaha kita untuk memperbaiki diri tidak sia-sia. Dan jangan lelah untuk berdoa kepada Allah memohon keturunan yang shalih dan shalihah.
Wallahu A’lam
Penulis : Ustadz Farid Khusnul Mujib