1.) Menjadikan Telunjuknya Sebagai Penerang (Lampu)
Pada suatu waktu beliau pernah mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk beliau yang dijadikan sebagai lampu, saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf atau rumah-rumahan, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu agar dapat menerangi jari kanannya yang digunakan untuk menulis itu. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Maraqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidayah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak hilang.
2.) Melihat Ka’bah Dari Arah Ribuan Kilometer
Karomah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta, yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Sayyid Utsman bin ‘Agil bin Yahya al-‘Alawi. Masjid Ulama dan Mufti Betawi itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi masjid itu adalah Sayyid Utsman sendiri.
Kemudian, beliau kedatangan anak remaja (Syaikh Nawawi) yang menyalahkan arah kiblatnya. saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya itu menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsman. Diskusi pun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsman tetap berpendirian kiblat masjid Pekojannya itu sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat masjid itu harus dibetulkan. Saat kesepakatan tidak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syaikh Nawawi meletakkan tangan kirinya ke bahu Sayyid Utsman (sambil merangkul) dan tangan kanannya menunjuk sesuatu, Syaikh Nawawi berkata:
“Lihatlah Sayyid, itulah Ka΄bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka΄bah itu terlihat amat jelas? Sementara kiblat masjid ini agak ke kiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka΄bah” ujar Syaikh Nawawi remaja
Sayyid Utsman termangu dan keheranan. Ka΄bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsman merasa takjub dan menyadari remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karomah itu, di manapun beliau berada, Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsman langsung memeluk tubuh kecil beliau. dan berjabat tangan sambil mencium tangannya, ketika Sayyid Utsman ingin mencium tangannya, ditariklah tangan beliau, Sayyid Utsman pun kebingungan mengapa beliau tidak mau?, Sayyid Utsman pun bertanya dan Syaikh Nawawi menjawab: “Karena saya tidak pantas untuk bersalaman sambil dicium begitu olehmu”. Subhanallah, alangkah bagusnya akhlak beliau. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.
3.) Jenazahnya Masih Utuh dan Harum
Syaikh Nawawi Al-Bantani wafat di Mekah pada usia 69 tahun tepatnya pada 25 Syawal 1314 H / 1897 M. Beliau dimakamkan di pemakaman Ma'la di Mekkah bersebelahan dengan makam anak perempuan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma binti Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi sejak dipimpin Dinasti Ibnu Saud, bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang jenazah kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang jenazah lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti.
|
Makam Syaikh Nawawi Al-Bantani |
Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi Al-Bantani. Setelah makamnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali makamnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas makam itu tidak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek, masih harum dan tidak lapuk sedikitpun.
Tentu saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma΄la, Mekah dan yang paling aneh kuburan beliau satu-satunya kuburan yang tumbuh rumput bahkan rumputnya hijau dan bagus. Subhanallah.
4.) Tidur Di Dalam Mulut Ular Raksasa
Konon, pada suatu malam hari dimana beliau melanjutkan perjalanannya ke Mekkah, beliau kelelahan dan mencari sebuah gubuk yang tak berpenghuni atau saung. Setelah mencari-cari akhirnya beliau menemukan lampu yang sangat redup dan kecil. Akhirnya beliau tiba di suatu tempat tersebut dan memulai untuk beristirahat. Dibenak beliau bertanya: “Kok dasar saung ini sangat lembut dan empuk ya???”. Saking lelahnya beliau tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut, tidurlah beliau dengan meletakan tongkatnya dengan posisi berdiri.
Pagi pun datang dan beliau terbangun dari tidurnya untuk sholat dan kemudian melanjutkan perjalanannya. Setelah kurang lebih 7 langkah dari tempat peristirahatannya itu, beliau menyentuh darah dari ujung tongkatnya tersebut, dengan heran kemudian beliau menoleh ke belakang dan menemui ular raksasa yang sedang beranjak pergi. Tanpa disadari ternyata semalam beliau tidur di lidah seekor ular raksasa dan tongkatnya yang berposisi berdiri tersebut merintangi kedua gigi ular itu.
Beliau pun langsung menyebut kalimat istighfar dan memuji kebesaran Allah SWT dengan mengucapkan kalimat kebesaran-Nya.
5.) Mengeluarkan Buah Rambutan Dari Tangannya
Di Mekkah beliau mendirikan madrasah/sekolah atau semacam majlis ta’lim dengan murid yang lumayan banyak. Pada suatu hari beliau menerangkan kepada para santri-santrinya:
Syaikh Nawawi: “Hukumnya sunnah, kalau berbuka puasa memakan yang manis-manis terlebih dahulu, kalau di sini terdapat buah kurma, di tempatku ada yang tidak kalah manisnya dengan kurma!”
Santri-santri: “Betul syaikh, kalau di tempat kami kurma, lalu bagaimana dengan tempat syaikh yang tidak tumbuh buah kurma?”
Syaikh Nawawi: “Sebentar”
Syaikh Nawawi langsung menyembunyikan tangannya ke belakang tubuhnya!. Santri-santri pun sangat heran apa yang dilakukan gurunya tersebut dan terdengar di telinga santri-santri suara seperti orang yang sedang mengambil buah-buahan dari pohonnya.
Kemudian Syaikh Nawawi menyuguhkan buah rambutan yang persis seperti baru diambil dari pohonnya. Santri-santri pun sangat terheran-heran dengan apa yang dilakukan oleh gurunya tersebut.
“Nah ini yang aku makan pertama ketika berbuka puasa di tempatku, silahkan dicicipi”. Kata Syaikh Nawawi sambil membagikannya kepada para santri di kelasnya mengajar.
Para santri pun langsung mencicipi dan sangat menikmati kemanisan buah rambutan yang diberikan gurunya itu.
6.) Pergi Dari Jawa Ke Mekkah Dalam Sekejap
Suatu hari, Syaikh Nawawi mengadakan pertemuan dengan ulama-ulama Jawa di daerah Batang, Jawa Tengah. Pertemuan itu di antaranya dihadiri oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Sholeh Darat Semarang, Syaikh Kholil Bangkalan, Syaikh Anwar Batang dan Syaikh Abdul Karim Kaliwungu.
Setelah pertemuan berakhir, Syaikh Kholil Bangkalan kaget ternyata waktu sholat Dhuhur hampir habis, padahal beliau belum melaksanakan sholat Dhuhur. Di saat kebingungan, Syaikh Nawawi Al-Bantani menawarkan, “Mari ikut saya Syaikh Kholil, tentu di Mekkah belum masuk waktu Dhuhur, pegang tangan saya dan pejamkan kedua mata”. Syaikh Kholil Bangkalan hanya mengiyakan tawaran sahabatnya itu. Dan seketika itu, mereka berdua sudah berada di Mekkah dalam sekejap. Itulah di antara karomah yang dimiliki Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Wallahu A’lam