Sebelum saya mengulas tentang misteri bergesernya makam dua wali besar yang dimiliki oleh masyarakat Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Saya akan sedikit menceritakan riwayat hidup kedua wali tersebut.
KH. Ahmad Ru’yat (Mbah Ru’yat) lahir pada tahun 1885 M. di kampung Pungkuran, Kutoharjo, Kaliwungu. Ayahnya bernama Kyai Abdullah bin Kyai Musa Bobos, sedang ibunya bernama Nyai Sujatmi. Adapun Wali Musyafa’ lahir pada tahun 1904 M. di kampung Losari, Krajankulon, Kaliwungu. Ayahnya bernama H. Bahram, sedang ibunya bernama Hj. Lammah. Jadi, usia Mbah Ru’yat lebih sepuh daripada Wali Musyafa’.
Perlu diketahui, walaupun maqam (derajat) kewalian keduanya berbeda tetapi keduanya sangat akrab dan saling melengkapi. Mbah Ru'yat dikenal sebagai wali syari'at, sedang Wali Musyafa' dikenal sebagai wali jadzab. Mbah Ru’yat terlihat kewaliannya setelah menjadi pengajar (kiai) bagi santri dan masyarakat. Adapun Wali Musyafa’ sudah terlihat kewaliannya saat masih mondok di Pesantren Bangkalan, Madura asuhan Syaikhona Kholil.
Ada sebuah riwayat, suatu hari Mbah Ru’yat merasa kesulitan mencari sebuah ta’bir (referensi) kitab untuk menyelesaikan suatu masalah. Maka, Mbah Ru’yat pun menyuruh santrinya untuk sowan ke rumah Wali Musyafa’ dan menanyakan tentang ta’bir tersebut. Setelah si santri ditemui, Wali Musyafa’ terdiam beberapa saat, lalu langsung memberitahu untuk mengecek kitab ini, halaman ini, dan baris ini. Si santri takjub akan jawaban Wali Musyafa’ yang spontan tanpa melihat kitab terlebih dahulu. Kemudian jawaban tersebut disampaikan si santri ke Mbah Ru’yat, dan Mbah Ru'yat mengucapkan Alhamdulillah.
Ada juga kisah menarik kebersamaan Mbah Ru’yat dan Wali Musyafa’. Dikisahkan, bahwa Mbah Ru’yat memiliki sebuah bisnis pembuatan batik. Beliau memiliki beberapa karyawan, dan di antara karyawan beliau adalah Wali Musyafa’.
Suatu waktu, Wali Musyafa’ menggambar batik (membatik) dengan motif ngawur (sembarangan) atau tidak sesuai dengan cara membatik yang benar. Salah seorang karyawan melaporkan kepada beliau, bahwa Wali Musyafa’ membatik dengan motif sembarangan. Akan tetapi, beliau diam saja tanpa berkomentar sedikit pun. Setelah semua hasil batik termasuk buatan Wali Musyafa’ dipasarkan di pasar-pasar, ternyata yang paling laku adalah batik buatan Wali Musyafa’. Akhirnya, seluruh karyawan pun takjub dan percaya bahwa Wali Musyafa’ bukan orang biasa.
|
Makam Mbah Ru'yat dan Wali Musyafa' (berdampingan) |
Dari kisah-kisah diatas, bisa sedikit disimpulkan bahwa kebersamaan, kedekatan, dan keakraban Mbah Ru’yat dengan Wali Musyafa’ sudah terjalin sejak lama. Bahkan keduanya saling melengkapi dan saling membantu.
Mbah Ru’yat wafat pada hari Jum’at, 9 Rabi’ul Akhir 1388 H. atau bertepatan dengan 4 Juli 1968 M. Sedangkan Wali Musyafa’ wafat pada hari Rabu, 23 Dzulhijjah 1388 H. atau bertepatan dengan 12 Maret 1969 M.
Keduanya dimakamkan di pemakaman yang sama tetapi jaraknya berjauhan, yaitu di pemakaman bukit Jabal Nur, Protowetan, Kaliwungu Selatan.
Sebagaimana kesaksian Kiai Dimyati Rois (Abah Dim) Kaliwungu dan Kiai Hariri Majalengka, bahwa dahulu makam Mbah Ru’yat dan Wali Musyafa’ jaraknya berjauhan. Namun, tahun berganti tahun kedua makam wali tersebut semakin dekat, hingga saat ini kedua makam wali tersebut jaraknya berdekatan (berdampingan). Ini menunjukan bahwa kedua makam tersebut bergerak atau mendekat satu sama lain. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena semasa hidup keduanya sangat dekat dan akrab hingga wafat pun keduanya seolah-olah tidak ingin jauh satu sama lain.
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Sumber: Kitab Sirojul Hidayat dan Al-Qaulul Muntafa’ serta ceramah Kiai Dimyati Rois.
ADS HERE !!!