Setelah hari raya tiba, banyak
kita saksikan umat Islam di tanah air saling meminta maaf antara yang satu
dengan yang lain. Bahkan tidak sedikit pula yang melakukan itu dalam bentuk
acara halal bi-halal, yang bertujuan saling memaafkan dosa-dosa dan kesalahan
antara sesama yang telah berlalu. Hal ini dilakukan, karena setelah menjalankan
ibadah puasa satu bulan penuh, dengan sempurna, Allah swt. telah menjanjikan
pengampunan dosa-dosa kita kepada-Nya. Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ. )رواه البخارى ومسلم(
“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan
ketulusan, maka Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu”. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits di atas,
Rasulullah saw menjanjikan ampunan Allah kepada orang-orang yang berpuasa di
bulan Ramadhan karena motivasi keimanan dan niatan yang tulus. Tentu saja
ampunan tersebut khusus dosa-dosa seseorang kepada Allah. Sedangkan dosa-dosa
seseorang kepada sesama, harus meminta maaf kepada yang bersangkutan. Dalam hal
ini Rasulullah saw bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ
شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ
وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ
مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ
فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah
saw bersabda: “Barangsiapa yang mempunyai kesalahan berupa harga diri atau
sesuatu kepada saudaranya, maka hendaknya ia meminta kehalalannya kepada orang
tersebut sekarang ini, sebelum terjadi suatu hari di mana dinar dan dirham
tidak berlaku (hari kiamat). Apabila ia mempunyai amal shaleh, maka akan
dibayarkan kepada saudaranya itu sesuai dengan kesalahannya. Apabila ia tidak
memiliki kebaikan, maka ia akan dibebankan kesalahan-kesalahan saudaranya itu.” (HR. Bukhari).
Hadits ini memberikan
kesimpulan, bahwa kesalahan kepada sesama manusia, harus meminta maaf atas kesalahannya
kepada orang tersebut. Oleh karena itu, kaum Muslimin pada waktu hari raya
saling bermaaf-maafan, dengan berkunjung kepada kerabat dan tetangga, atau
saling bermaaf-maafan yang dikemas dalam acara halal bi-halal, sebuah istilah
yang diambil dari redaksi hadits di atas “falyatahallalhu”.
Sejarah Halal Bi Halal
Penggagas istilah “halal bi halal”
ini adalah KH. Wahab Chasbullah. Ceritanya begini: Setelah Indonesia merdeka
1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit
politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara
pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII dan PKI Madiun.
Pada tahun 1948, yaitu dipertengahan
bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara,
untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia
yang tidak sehat. Kemudian Kyai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk
menyelenggarakan Silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana
seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi
kan biasa, saya ingin istilah yang lain”. “Itu gampang”, kata Kyai Wahab.
“Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling
menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka
tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu
meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti
kita pakai istilah “halal bi halal”, jelas Kyai Wahab.
Dari saran kyai Wahab itulah, kemudian
Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik
untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal
bi Halal’ dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak
baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah,
instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno
menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga
masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut
para ulama. Jadi, Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kyai
Wahab menggerakkan warga dari bawah. Jadilah Halal bi Halal sebagai kegiatan rutin dan
budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.
Sebenarnya kegiatan seperti halal bi halal itu
sendiri sudah ada sejak zaman Kasultanan Mataram Islam Jogja, yaitu dimulai
sejak KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa.
Setelah Idul Fitri, beliau menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para
punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan
prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Kemudian
budaya seperti ini ditiru oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan
dan instansi pemerintah. Akan tetapi, itu baru kegiatannya bukan nama dari
kegiatannya. kegiatan seperti dilakukan Pangeran Sambernyawa belum menyebutkan
istilah “Halal bi Halal”, meskipun esensinya sudah ada.
Tapi istilah “halal bi halal” ini
secara nyata dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah dengan analisa pertama (thalabu
halâl bi tharîqin halâl) adalah: mencari penyelesaian masalah atau mencari
keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis
kedua (halâl “yujza’u” bi halâl) adalah: pembebasan kesalahan dibalas
pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Disusun Oleh Saifurroyya
Sumber: www.sarkub.com