Dakwah
KH. Asy’ari
Kyai Asy’ari merupakan ulama besar yang
kharismatik pada dekade tahun 1781-an di daerah Kaliwungu khususnya dan Kendal
pada umumnya. Kepopuleran Kyai Asy’ari disebabkan metode dakwah yang unik,
menarik dan kontroversial. Kemampuannya mengajak masyarakat yang mulanya primitif
dan awam terhadap masalah keagamaan, terutama ajaran Islam, menjadi masyarakat
yang agamis dan religius. Kepribadian beliau yang sederhana dan kharismatik
sangat disegani oleh masyarakat, sehingga namanya selalu dikenang hingga
sekarang. Perjuangan dakwahnya sudah semestinya diteladani, diteruskan dan
ditumbuhkembangkan.
Dilahirkan di Wanantara Yogyakarta,
kira-kira pada tahun 1746 dengan nama yang cukup singkat, yaitu Asy’ari bin
Ismail bin H. Abdurrahman bin Ibrahim. Dari garis silsilahnya, menurut salah
satu sumber, Kyai Asy’ari masih termasuk keluarga Sayyidina Ali, dan dengan
Nabi Muhammad SAW bertemu pada keluarga Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul
Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab.
Kyai Asy’ari dibesarkan dan hidup pada
masa kerajaan Mataram Islam, semenjak kecil ia mendapatkan didikan yang cukup
keras di kedalaman Keraton Ngayogyakarta, dengan harapan kelak nantinya bisa meneruskan
perjuangan dakwah Islam seperti yang dilakukan para waliyullah, auliya'
dan para syuhada'. Pada masa itu Kyai
Asy’ari belajar membaca dan menulis dari para ulama, kyai dan tokoh agama yang
ada di lingkungan kerajaan Mataram Islam. Banyak hal yang ia dapatkan dari
hasil belajar yang diperoleh dari para gurunya, terutama masalah keagamaan
diantaranya, ilmu Al-Qur'an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu badi', ilmu
mantiq, ilmu bayan, ilmu 'aruld, ilmu hadits, lughatul
Arabiyyah dan ilmu agama lainnya. Setelah menginjak dewasa ia melanjutkan
menuntut ilmu ke Makkah untuk mempelajari agama Islam, kira-kira selama 10
tahunan.
|
Makam KH. Asy'ari di Jabal Nur Kaliwungu |
Dengan bekal ilmu agama tersebut
diharapkan Kyai Asy’ari akan mampu meneruskan perjuangan para tokoh agama
Mataram Islam. Sepulang dari Makkah Kyai Asy’ari ditugaskan oleh susuhunan
Mataram untuk berdakwah, menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam khususnya di
daerah Kaliwungu Kendal.
Kyai Asy’ari datang di Kaliwungu pada
usia 35 tahun, maka tahun kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu kira-kira tahun
1781-an. Setelah kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu, ia kemudian bermukim dan
menetap di kampung yang saat ini terkenal dengan nama Kampung Pesantren Desa
Krajankulon Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Di Kampung Pesantren itulah
Kyai Asy’ari merintis dan mengajarkan Islam dengan kitab kuningnya dengan
mendirikan sebuah pondok pesantren salaf. Yang sekarang ini menjadi pondok APIP
(Asrama Pelajar Islam Pesantren), karena pada waktu itu fasilitas dan sarana
untuk belajar belum memadai, maka Kyai Asy’ari juga menggunakan musholla
sebagai tempat untuk belajar dan menuntut ilmu agama Islam bagi para santri,
yang sekarang ini menjadi Musholla Al-Asy’ari, tepatnya di Kampung Pesantren
Desa Krajankulon kecamatan Kaliwungu.
Sejarah nama Musholla Al-Asy’ari
berasal dari nama pendirinya yaitu Kyai Asy’ari (Kyai Guru), sehingga dinamakan
Musholla Al-Asy’ari. Tindakan Kyai Asy’ari dalam berdakwah, dan mengajarkan
ilmu-ilmu agama Islam melalui pondok pesantren yang didirikannya merupakan langkah
yang tepat, karena kondisi masyarakat Kaliwungu pada saat itu awam agama dan
jauh dari nilai-nilai agama Islam. Selama ia tinggal dan menetap di pondok
pesantren yang didirikannya di Kaliwungu, tidak lama kemudian berdatanganlah
santri-santri dari berbagai daerah untuk belajar dan menuntut ilmu.
Selama kedatangannya di Kaliwungu Kyai
Asy’ari bertemu dan saling kenal dengan KH. Abu Sudjak dan KH. Muhammad Marhum
(kakek dan ayah Kyai Ahmad Rifa’i) dan juga saudara-saudara Kyai Ahmad Rifa’i. Tidak
lama kemudian menikah dengan Nyai Radjiyah (kakak kandung Kyai Ahmad Rifa’i)
pada usia 40 tahun, sedangkan Nyai Radjiyah kira-kira 20 tahun maka pernikahan
itu kira-kira berlangsung pada tahun 1786, bersamaan dengan tahun kelahiran
Kyai Ahmad Rifa’i. Kalau Kyai Asy’ari menikah dengan Nyai Radjiyah pada usia 40
tahun (mungkin istri Kyai Asy’ari tidak satu orang, dan Nyai Radjiyah mungkin
juga bukan istri pertamanya), maka kelahiran Kyai Asy’ari kira-kira pada tahun
1746 (1786 dikurangi 40 tahun = 1746)
Baca : Karomah Kyai Asy'ari (Kyai Guru)
KH. Muhammad Marhum, ayah Kyai Ahmad
Rifa’i meninggal dunia, ketika Ahmad Rifa’i berusia 6 tahun (1792), dan ketika
ditinggal wafat oleh kakeknya, KH. Ahmad Abu Sudjak atau Raden Setjowidjojo
(1794), umur Kyai Ahmad Rifa’i baru 8 tahun. Maka untuk mengurangi beban berat
Siti Rahinah (ibu Kyai Ahmad Rifa’i) dan demi kelangsungan pendidikan masa depan,
setelah memasuki usia tujuh tahun, Ahmad Rifa’i dibawa oleh kakak kandung Nyai
Radjiyah ke Kaliwungu dan tinggal di rumahnya (Pondok Pesantren Kyai Asy’ari).
Selama di Kaliwungu ia mendapat pendidikan dan pembinaan dari kakak iparnya
yaitu Kyai Asy’ari. Kyai Asy’ari dalam mengasuh, mendidik dan membina Ahmad
Rifa’i cukup rajin dan teliti, dibandingkan dengan murid-murid yang lain.
Berkat ketekunan dan keikhlasan Kyai Asy’ari, Ahmad Rifa’i menjadi murid yang pandai
dan cerdas.
Dengan modal dasar pemberian Allah Rabbul
‘Alamin, berupa akal cerdas, pikiran luas, dalam waktu relatif
singkat Ahmad Rifa’i sudah dapat menguasai beberapa ilmu agama yang diajarkan
oleh Kyai Asy’ari, diantaranya ilmu Al-Qur’an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu
Badi’, ilmu mantiq, ilmu bayan, ilmu ‘arudh, ilmu hadits,, ilmu
lughatul arabiyah dan ilmu agama lainnya.
Seperti tradisi di pesantren, kyai
Ahmad Rifa’i sering membantu pekerjaan gurunya, kyai Asy’ari yang juga sebagai
kakak iparnya. Setelah kyai Ahmad Rifa’i mencapai usia delapan tahun, ia sering
berkumpul dan tidur bersama para santri di masjid atau mushalla. Bangun pagi
dari tidurnya, sholat subuh berjama’ah, berdzikir membaca tahmid dan takbir
serta tahlil sudah menjadi kebiasaannya, karena merupakan kebiasaan (tradisi) di pesantren.
Kyai Asy’ari adalah seorang ulama yang
dalam ilmunya, dalam kesehariannya sangat dekat dan akrab kepada semua kalangan
masyarakat, sehingga disegani dan dihormati oleh masyarakat luas, rakyat dan
pejabat kolonial Belanda. Dalam aktivitasnya, setiap pagi, siang, sore, malam
atau kapan saja waktunya digunakan untuk mendidik dan mengajar serta membina para
santrinya. Khusus tengah malam, digunakan untuk munajat kepada Allah ‘Azza Wa
jalla, bertaqorrub, mendekatkan diri pada Al- Khaliq, Allah Yang Maha
Esa, seperti shalat tahajud, sholat nisfullail dan ibadah lainnya. Kegiatan
semacam itu sudah menjadi kebiasaan yang tidak ditinggalkan, di rumah, di
masjid, atau dimana saja ia berada. Sehingga pada suatu saat tengah malam, kyai
Asy’ari keluar rumah pergi ke masjid untuk melakukan peribadatan dengan
sekaligus melihat suasana para santri yang tidur di serambi masjid itu.
Sesampainya di dalam masjid, ia terkejut karena melihat sesuatu yang belum
pernah dilihatnya, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu, melihat
cahaya yang terang dari jasad seorang anak didiknya yang tidak dapat diketahui
namanya, menyinari ruangan masjid sekelilingnya, walaupun tidak seterang lampu
“deplak” yang biasa di pakai oleh santri pada zamannya. Konon cahaya itu
bisa menembus ke atap langit masjid dan tembus ke angkasa.
Menurut cerita tutur, apabila dari
jasad seorang anak keluar cahaya atau (nur) dan cahaya itu menyinari ke
atas dan sekelilingnya, maka tandanya anak tersebut kelak akan menjadi orang
besar yang sanggup membina (menyinari) kepada masyarakat banyak. Dengan firasat
kedalamannya yang mendorong kyai Asy’ari ingin mengetahui dari mana sumber
cahaya yang disaksikan sendiri itu. Suasana menjadi sunyi sepi dan gelap, tidak
ada satu lampu yang menyala, sehingga untuk mengetahui anak yang bercahaya
mengalami kesulitan. Maka di sobeklah kain sarung yang di pakai anak tersebut
dengan harapan semoga besok pagi dapat diketahui siapa anak yang bermandikan
cahaya itu.
Pagi hari pada saat ramainya orang
sholat berjamaah dan para santri siap akan pergi mengaji, terdengarlah suara
isak tangis yang memilukan dari seorang anak yatim yang bapak kandungnya telah
lama meninggal, yaitu kyai Ahmad Rifa’i namanya, menangis karena sobek kain
sarungnya. Suara tangisnya makin lama semakin keras, sehingga sempat didengar
oleh kyai Asy’ari dirumahnya. Kemudian dipanggilah Ahmad Rifa’i oleh kakak iparnya
untuk menghadap beliau, setelah itu Ahmad Rifa’i mendapat ganti kain sarung
yang sobek dengan yang baru. Betapa gembiranya hati Ahmad Rifa’i, sebagaimana
gembiranya kyai Asy’ari setelah mengetahui bahwa anak yang bermandikan cahaya
di masjid semalam adalah adik iparnya sendiri, yang insya Allah kelak akan
menjadi ulama besar kenamaan.
Selama hidupnya kyai Asy’ari lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi dan berjuang untuk menegakkan tali
agama Allah swt. (agama Islam) yaitu, dengan mendidik, mengajar dan membina
para santri di pondok pesantrennya maupun mengabdi kepada masyarakat Kaliwungu melalui
ketrampilan dan ilmu Agama Islam yang ia miliki, karena kondisi masyarakat
Kaliwungu pada saat itu masih sangat primitif dan awam terhadap masalah agama
dan jauh dari nilai-nilai agama Islam.
Menurut sejarah sebelum kyai Asy’ari
menikah dengan nyai Radjiyah ia juga mempunyai istri yang berasal dari Aceh
yang bernama Nyai Guru Manila dan mempunyai enam anak putra dan putri yaitu:
Kyai Ya’kub, Muhammad, Rodhiyah, Afiyah, Ibrahim Umi Aceh dan Umar Umi Aceh.
Dengan dukungan para istri, adik
iparnya yaitu kyai Ahmad Rifa’i dan anak-anaknya, kyai Asy’ari terus
mengembangkan dakwahnya hingga akhir hayatnya. Kapan kyai Asy’ari wafat dan
pada umur berapa kyai Asy’ari wafat belum ditemukan catatannya, tetapi dapat di
perkirakan bahwa setelah kyai Ahmad Rifa’i wafat pada tahun (1876) tidak lama
kemudian kyai Asy’ari wafat.
Makam kyai Asy’ari atau kyai Guru di Jabal,
sebelah selatan desa Protomulyo atau protowetan Kaliwungu, ditempatkan pada
sebuah bangunan rumah yang besar dan indah serta dilengkapi dengan air untuk
bisa dipergunakan berwudhu. Menandakan bahwa Kyai Asy’ari adalah seorang tokoh
ulama yang sangat dihormati.
Baca juga: Sejarah Kaliwungu,Yang Telah Melahirkan Ribuan Kyai
JASA DAN PERJUANGAN KYAI GURU
Peranan Kyai Asy’ari (Kyai Guru) dalam berdakwah di
Kecamatan Kaliwungu mencakup tiga hal yaitu:
1. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan budaya Mataram Islam
di Kaliwungu
2. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mengenalkan ajaran Islam di
Kaliwungu
3. Kyai Asy’ari (Kyai Guru) mendirikan pondok pesantren di
Kaliwungu
Mengenalkan Budaya Mataram Islam di Kaliwungu
Kaliwungu dalam perspektif kebesaran
Mataram pada abad XVII, merupakan suatu kota di pesisir utara pulau Jawa,
merupakan titik penting dalam peta sejarah Mataram awal abad XVII. Hal ini
terbukti dengan adanya pemerintahan kadipaten yang masih Nampak bekas
gapuranya. Pagelaran kraton atau kabupaten biasanya menghadap ke laut atau
membelakangi pegunungan atau gunung. Di daerah jawa bagian selatan, pendapa
kabupaten biasanya menghadap ke selatan (laut kidul), dan membelakangi
pegunungan Kendeng. Di jawa utara atau pesisir utara, kabupaten menghadap ke
utara dan membelakangi gunung, dan ada pula yang menghadap ke selatan
membelakangi gunung Muria, atau seperti di Jepara menghadap ke barat (laut) dan
membelakangi gunung Muria juga.
Pusat pemerintahan terletak didaerah
yang disebut Krajan (kerajaan).
Disebelah barat disebut Krajankulon, dan disebelah timurnya disebut
Krajanwetan. Rumah patih disebut Ronggo, disebut Kranggan, Di sebelah selatan
pemerintahan Kadipaten Kaliwungu terbujur perbukitan yang di kenal dengan Bukit
Kuntul Melayang, membujur dari desa Protowetan ke selatan sampai Penjor dan
berbatasan dengan desa Nolokerto. Bukit tersebut mengesankan bentuk burung
kuntul yang sedang melayang. Diatas bukit kuntul melayang inilah beristirahat
dengan abadi para leluhur yang pada zamannya menjadi tokoh sejarah dan sampai
sekarang masih dimulyakan dan di hormati masyarakat sekitarnya.
Agama Islam yang berkembang di tanah
Jawa tidak bisa dilepaskan dari jasa dan usaha para Walisongo. Pengaruh yang di
bawa Walisongo dalam mengembangkan Islam di tanah Jawa sangat besar sekali.
Masyarakat Jawa yang pada mulanya penganut aliran animisme dan dinamisme
berubah menjadi masyarakat mayoritas muslim. Perjuangan yang di lakukan tidak
mudah dan tidak singkat. Kepercayaan masyarakat pada aliran animisme dan
dinamisme sudah sangat mengakar kuat. Oleh sebab itu diperlukan langkah yang
revolutif. Perubahan yang radikal tidak akan menghasilkan simpati masyarakat,
tetapi hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap ajaran Islam.
Penyebaran agama Islam oleh Walisongo
bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa. Setiap Wali melakukan dakwah dengan cara
dan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masyarakat di
daerahnya. Ajaran Islam pun tersebar sampai didaerah Kaliwungu Kendal dan
sekitarnya, hanya saja belum dipahami secara baik oleh sebagian besar
masyarakat, jadi hanya sebatas tahu dan sepenggal-penggal.
Baca: Sejarah Panjang Kaliwungu Menjadi Kota Santri
Kaliwungu sebagai bagian dari Kendal,
Jawa tengah, juga mengalami perubahan kultural dengan datangnya ajaran Islam,
seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa masyarakat Kaliwungu adalah
masyarakat yang masih awam terhadap ajaran Islam, mereka mengenal Islam hanya
sebagai suatu agama. Meskipun mereka mengaku beragama Islam, tetapi tindakan
yang dilakukannya jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Masyarakat Kaliwungu pada
saat itu mempunyai kebiasaan memuja arwah para leluhur dan mendewakan
benda-benda yang dianggap keramat seperti keris atau pusaka, cincin atau jimat,
pohon besar, patung atau batu yang semuanya itu dianggap dapat memberikan
kekuatan, keselamatan dan dapat memberikan sesuatu yang diminta.
Kebiasaan-kebiasaan seperti itu sudah
menjadi budaya yang berkembang dalam masyarakat Kaliwungu. Kondisi yang parah
dan terpuruk jauh dari ajaran Islam yang benar, menimbulkan kekhawatiran
tersendiri bagi para petinggi pemerintahan kadipaten Kaliwungu, mulai berfikir
mencari jalan agar masyarakatnya tidak semakin terlena dan terjerumus ke dalam
perbuatan musyrik atau menyekutukan Allah.
Untuk mengatasi hal tersebut maka pihak
pemerintah kadipaten Kaliwungu mencoba menyadarkan masyarakatnya agar segera
menghentikan perbuatan musyrik itu dan lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Hanya saja, pihak pemerintah sadar dalam hal ini perubahan secara radikal tidak
akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Oleh sebab itu, proses penyadaran
masyarakat harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.
Langkah pertama yang diambil oleh para
petinggi pemerintah Kaliwungu adalah mencari seseorang yang memahami dengan
benar tentang ajaran Islam dan mengajaknya untuk menyerukan dakwahnya di
Kaliwungu, usaha pemerintah kadipaten belum juga membuahkan hasil karena belum
juga ditemukan sosok ulama atau kyai yang bersedia mengabdikan dirinya untuk
menyerukan dakwah dan memajukan umat Islam di Kaliwungu, akhirnya berita itu di
dengar oleh pemerintah kerajaan Mataram Islam, karena pada waktu itu Kota
Kaliwungu merupakan titik penting dalam peta sejarah Mataram awal abad ke XVII,
untuk mengatasi kondisi yang parah dan terpuruk jauh dari ajaran Islam yang
benar, maka Kyai Asy’ari di berikan amanat dan di utus oleh susuhunan Mataram
Islam untuk berdakwah, mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama Islam di
Kaliwungu.
Kyai Asy’ari merupakan ulama dan kyai
yang memiliki ilmu tinggi, rajin dan tekun juga memiliki keikhlasan yang sangat
luar biasa yang siap mengabdikan dirinya untuk menegakkan agama Allah yaitu aga
Islam di Kaliwungu nantinya.
Masa-masa pertama menetap di kampung
Pesantren desa Krajankulon Kaliwungu sempat membuat kyai Asy’ari terkejut,
lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan sebelumnya selama ini
membuatnya harus beradaptasi terlebih dahulu. Kyai Asy’ari yang sehari-harinya
bergelut dengan dunia pesantren, harus belajar memahami ritme kehidupan
masyarakat Kaliwungu. Setelah melakukan observasi tentang masyarakat Kaliwungu
dengan segala aktivitas dan budayanya, maka kyai Asy’ari menemukan pendekatan
yang paling efektif dalam mengembangkan dakwahnya di Kaliwungu. Pendekatan yang
dilakukan adalah dengan mengenalkan dan mengajarkan tentang nilai-nilai ajaran
Islam yang ada pada kebudayaan Mataram Islam seperti : wayang kulit, terbangan,
atau kentrungan, mauludan, rajaban, bubur suran, rebo pungkasan, nyadran,
nyekar, slametan, dzikir atau tahlil kepada masyarakat Kaliwungu. Berikut sekilas tentang cara pendekatan Kyai Asy'ari dalam mengenalkan budaya Jawa yang dikemas dalam balutan Islam :
1. Wayang Kulit
Pada zaman Sultan Agung, wayang kulit
berbentuk pipih menyerupai bentuk bayangan (gestylered) seperti apa yang
kita lihat sekarang. Wayang kulit purwa disempurnakan bentuknya. Cara
pembuatannya, warnanya, alat kelir, deblog, Blencong disempurnakan
dan disesuaikan dengan zaman baru agar tidak bertentangan dengan agama (dibuat
sejak) 1518 = 1440 Jawa (Sirnasuci caturing Dewa) dan menambah jumlah
wayang semalam suntuk gamelan slendro (sejak ± 1521) dengan pimpinan yang disebut kyai
Dalang. Membuat perampokan dan gunungan (1443 Jawa, geni dadi surining jagad)
Di Kaliwungu, pada tahun sekitar 1965,
masih ada dalang yang dikenal dengan nama Ki Dalang Riyanto, Ki Dalang Denu
Purwocarito, Ki Dalang Akhmat. Bahkan pernah dikenal ada dalang Bocah.
Pertunjukan wayang kulit dilaksanakan pada zamannya lurah Sahri (al-marhum) setiap
bulan Apit (Legeno) dalam rangka “merti deso”. Bagi masyarakat
juga ada yang melaksanakan “ruwatan” dengan menyelenggarakan wayang
kulit dengan ceritera Murwokolo
2. Terbangan, Kentrungan,
Dikenal sejak zaman Sultan Agung,
terbukti dalam surat centini yang menceriterakan pengembaraan She
Among Rogo melihat kesenian kentrung yang biasanya diselenggarakan semalam
suntuk menceriterakan tokoh-tokoh legendaris nenek moyangnya, maupun kisah para
nabi seperti yang termaktub dalam buku Serat Anbia tidak jarang ceritera
menak, seperti Umarmaya Umarmadi menjadi kegemaran masyarakat. Sekitar tahun
1950-1960, dikenal kentrung Siman, mengambil nama Pak Siman, Seniman
Kentrung tunanetra tapi hafal cerita-cerita Babad. Terbangan sendiri,
dilakukan oleh 3, 5, 7, 9 atau 11 orang, dengan alat utama terbang. Syair-syair
yang dibacakan disebut Markhahanan mengambil dari kitab Burdah, Nashor,
Dziba' atau Saraful Anam untuk
menghormati kelahiran Nabi Muhammad SAW di bulan Maulud.
3. Mauludan
Tradisi mengagungkan Nabi Muhammad SAW
adalah bernilai simbolis agar dalam setiap kehidupan muslim mewarisi akhlak
yang baik seperti Nabi Muhammad. Oleh sebab itu, pada bulan Maulud (Rabiul
Awal), untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad, diselenggarakan pembacaan syair
Mauludan di langgar-langgar maupun di rumah penduduk. Bagi anak-anak
peristiwa yang paling menyenangkan adalah kegiatan yang menyertai Mauludan, yaitu
Ketuwin. Peristiwanya adalah, anak-anak keluar rumah membawa makanan di
atas piring kecil dari tanah, yang diberi lilin yang memancarkan cahaya. Secara
bergantian makanan saling ditukar dengan tetangga. Makna simbolik yang
menyertai peristiwa ini adalah: Telah Datang Cahaya (Nur) Muhammad yang memberi
petunjuk (penerangan) kepada umat manusia.
4. Rajaban
Pada bulan Rajab (Rejeb), tepatnya 27
Rejeb tahun Hijriah. Diselenggarakan perayaan membaca riwayat Mi’raj Nabi
Muhammad SAW sejak hati Nabi Muhammad disucikan oleh Malaikat Jibril sampai
perjalanan melihat Surga dan Neraka. Serta ditetapkannya shalat lima waktu.
5. Bubur Suran
Sultan Agung telah mengganti tahun Saka
dengan tahun Jawa, dimana 1 Suro adalah merupakan tahun baru. M dirayakan
dengan bubur Suro, yang khas, yakni bubur nasi dicampur tahu, tempe dan daging
kerbau. Menurut hikayat, konon Nabi Nuh telah selamat sampai ke darat setelah
dilanda banjir tepat pada tanggal 1 Syuro. Sebagai rasa syukur kepada Tuhan
maka dibuatkan selamatan atau bancaan dengan memasak sisa makanan yang
ada. Hasil makanan tersebut menjadi Bubur Suran.
6. Rebo Pungkasan
Yaitu hari Rebo terakhir bulan Sapar,
menjadi tradisi menjalankan puasa Sunnah dan beribadah. Hal ini dikarenakan
setiap tahun hanya ketemu satu hari Rebo Pungkasan bulan Sapar. Arti
simboliknya adalah agar manusia diingatkan akan arti pentingnya sang waktu,
seperti yang tercantum dalam surat Wal Asri.
7. Nyadran
Upacara nyadran, menurut ahli
antropolog Koentjaraningrat, adalah diselenggarakan untuk merawat makam para
Cikal Bakal (leluhur) atau nenek moyang pendiri komunitas. Pelaksanaannya
dengan membawa makanan (nasi) dan ikan ayam (panggang), ke komplek makam
leluhur. Diawali dengan pembacaan Tahlil, dan doa bagi yang telah dikubur, dan
diakhiri dengan makan bersama. Dengan demikian merupakan alasan untuk
mengadakan pesta dan perayaan yang mengintensifkan solidaritas antara para
anggota kelompok kerabat.
8. Nyekar
Nyekar atau menabur bunga di kuburan para leluhur pada hari raya
Idul Fitri, bermakna simbolik, harumkanlah nama leluhur kita, dengan
merefleksikan pada diri kita sendiri untuk bertindak dan bercita-cita menjadi
manusia utama dalam kehidupan kita.
9. Slametan
Adalah bentuk doa yang diekspresikan
melalui seni makanan. Makna simbolisnya bahwa adanya tumpeng (nasi yang
meruncing ke atas seperti gunung), dan dihiasi dengan lauk-pauk dari ayam,
telur, tempe, tahu, sayur-mayur (janganan) melambangkan bahwa makanan
sebagai sumber kehidupan berasal dari Yang Esa meliputi semesta. Oleh sebab itu
disertai doa oleh modin agar manusia selamat di dalam kehidupan dan disertai
dengan kata: Amin!, kabulkanlah permintaan kami.
10. Dzikir atau Tahlil
Inti dari agama Islam adalah tauhid.
Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Esa. Oleh sebab itu di setiap kesempatan,
meng-Esakan Tuhan adalah dianjurkan. Dengan berdzikir dan tahlil, manusia
diingatkan kepada kalimat: La Ilaha IllAllah. Tiada Tuhan selain Allah,
dan Muhammadur Rasulullah: Muhammad utusan Allah. Oleh sebab itu
penyelenggaraan dzikir bisa di rumah, di mesjid, di tempat “Selamatan”,
di tempat kematian, di kuburan dan di mana saja yang memungkinkan khusuk untuk
berdzikir. Boleh sendirian dan boleh bersama-sama. Kyai Asy’ari yang berasal
dari tokoh ulama Mataram Islam, tentunya banyak mewarisi kebudayaan yang ada
pada Mataram Islam tersebut.
Setelah beberapa saat berjalan,
masyarakat semakin banyak yang mengetahui dan memahami yang akhirnya tertarik
dengan tradisi atau budaya Mataram Islam tersebut, yang di kenalkan oleh kyai
Asy’ari kepada mereka, maka langkah selanjutnya kyai Asy’ari mulai mengadakan
tradisi atau budaya Mataram Islam di Kaliwungu yang kemudian diselingi dengan
pengajian atau ceramah.
Dalam perkembangan sosial masyarakat,
aspek kebudayaan tidak akan terlepas dari kehidupan manusia. Tindakan kyai
Asy’ari dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam kepada mad'u
di Kaliwungu dengan cara mengenalkan budaya atau tradisi
Mataram Islam adalah langkah yang tepat, karena masyarakat Kaliwungu tidak bisa
terlepas dengan kebudayaan. Dengan mengenalkan nilai-nilai ajaran Islam dalam
kebudayaan Mataram Islam seperti wayang kulit, terbangan atau kentrungan,
mauludan, rajaban, bubur suran, rebo pungkasan, nyadran, nyekar,
slametan,dzikir atau tahlil maka dengan sendirinya tradisi atau kebiasaan
masyarakat Kaliwungu yang suka memuja para arwah leluhur dan mendewakan
benda-benda yang dianggap keramat seperti keris atau pusaka, cincin atau jimat,
pohon besar, patung atau batu, yang semuanya itu dianggap dapat memberikan
kekuatan, keselamatan, dan sesuatu yang diminta. Kyai Asy’ari berharap dengan
dakwahnya masyarakat Kaliwungu sedikit demi sedikit bahkan meninggalkan
kebudayaan mereka dengan mengenalkan kebudayaanMataram Islam tersebut. Karena
kebudayaan Mataram Islam lebih mengajarkan kepada nilai-nilai ajaran Islam.
Sedangkan kebiasaan masyarakat Kaliwungu sebelum itu lebih menjurus kepada
perbuatan
musyrik (menyekutukan Allah).
Penyajian pesan dakwah yang disampaikan
oleh Kyai Asy’ari lewat kebudayaan Mataram Islam tersebut sangat praktis dan
mudah untuk dilakukan pada setiap waktu tertentu. Misalnya dapat kita lihat
pada tradisi mauludan, yaitu tradisi yang diadakan pada bulan maulud
(Rabiul awal), untuk mengenang kelahiran nabi Muhammad SAW, diselenggarakan
pembacaan syair mauludan di musholla-musholla maupun di rumah penduduk.
Baca Juga: Karomah Kyai Asy'ari (Kyai Guru Kaliwungu)
Bagi anak-anak peristiwa yang paling
menyenangkan adalah kegiatan yang menyertai mauludan, yaitu ketuwen.
Peristiwanya adalah anak-anak keluar rumah membawa makanan diatas piring kecil
dari tanah, yang di beri lilin yang memancarkan cahaya. Secara bergantian
makanan saling di tukar dengan tetangga. Makna simbolik yang menyertai
peristiwa ini adalah, telah datang cahaya (nur) Muhammad SAW yang memberi
petunjuk atau (penerangan) kepada umat manusia. Tradisi mengagungkan nabi
Muhammad SAW adalah bernilai simbolis agar dalam setiap kehidupan muslim
mewarisi akhlak yang baik seperti nabi Muhammad SAW. Misalnya lagi tradisi rabo
pungkasan, yaitu tradisi yang diadakan pada hari rabo terakhir bulan
sapar, menjadi tradisi menjalankan puasa sunnah dan beribadah. Hal ini
dikarenakan setiap tahun hanya ketemu satu hari rebo pungkasan bulan sapar.
|
Makam Kyai Guru |
Mendirikan
Pesantren dan Mencetak Ulama – Ulama Besar
Kyai Asy’ari mempunyai banyak santri dan hampir semuanya
menjadi ulama besar. Diantara santri yang menjadi ulama besar adalah sebagai
berikut:
1 1.) Kyai Ahmad Rifa’i dari Tempuran, Kendal (seorang ulama kharismatik
tokoh pendiri jamaah Rifa’iyyah dan Pahlawan Nasional)
2 2.) Kyai Musa dari Kaliwungu, Kendal (dicatat pernah menjalani bai’at
thariqat as-syathariyyah pada Kyai Asy’ari selaku
Khalifah ahli thariqat as-syathariyyah)
3 3.) Kyai Sholeh Darat dari Semarang (mempunyai murid KH. Hasyim Asy'ari Pendiri NU, KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyyah dan RA. Kartini)
4 4.) Kyai Bulkin dari Mangkang, Semarang
5 5.) Kyai Anwaruddin dari Bendokerep, Cirebon
Kemudian para santri atau ulama tersebut banyak yang
mendirikan pondok pesantren atau madrasah bahkan tempat ibadah di berbagai
daerah atau tempat Kyai tersebut berasal dan bertempat tinggal.
Baca juga: Biografi Singkat Kyai Musa Kaliwungu
Peran Kyai Asy’ari dalam berdakwah di
Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal sangat besar dan sungguh luar biasa,
khususnya di lingkungan pondok pesantren. Hal ini dapat kita buktikan dengan
berdirinya pondok pesantren yang pertama kali di Kaliwungu oleh Kyai Asy’ari
yaitu yang bernama Pondok Pesantren Salaf APIP dan Musholla Al-Asy’ari tepatnya
di Kampung Pesantren desa Krajankulon, sekitar tahun 1781-an. Sejak itulah
kemudian sampai sekarang ini berdiri pula banyak pondok pesantren salaf dan
madrasah yang berbasis NU di Kaliwungu Kendal, yang didirikan oleh para kyai
dan ulama besar yang ada di Kaliwungu.
Banyaknya pondok pesantren yang berdiri
di desa Krajan Kulon, sehingga desa ini menjadi pusatnya pembelajaran ilmu agama
di Kaliwungu. Istilah Kaliwungu sebagai kota santri mungkin berasal dari desa
Krajankulon, karena desa ini berada di tengah / pusat kota Kaliwungu. Jika
datang ke desa Krajankulon kita akan melihat para santri hilir mudik, terutama
di pagi dan sore hari. Selain santri yang menetap di pondok pesantren, ada juga
banyak santri yang nglaju, datang ke pondok atau ke rumah guru ngajinya
hanya pada jam mengaji saja, sehari-harinya tetap berada di rumah. Santri nglaju
ini biasanya diikuti oleh santri yang bertempat tinggal di Kaliwungu dan
sekitarnya.
Santri yang mengaji tidak hanya usia
aktif belajar saja, tetapi bagi kaum ibu dan bapak juga masih aktif semangat
untuk mengaji. Pengajian untuk kalangan ibu dan bapak misalnya yang diadakan
oleh KH. Nidhomudin Asror Kampung Kauman. Pengajian diikuti oleh kalangan ibu
dan bapak tiap pagi setelah sholat subuh, yang dimulai dengan pembacaan
Al-Qur'an dan dilanjutkan dengan pengajian ceramah. Masyarakat yang mengikuti
pengajian ini biasanya hanya mendengarkan saja yang biasa dikenal dengan jiping
(ngaji kuping), meskipun ada juga yang menyimak bacaan Al-Qur'an dengan
membawa Al-Qur'an sendiri dan kemudian mencatat pelajaran yang penting.
Selain pengajaran yang diadakan oleh
KH. Nidhomudin Asror, ada juga pengajian setiap hari selasa dan sabtu di Pondok
Bani Umar Kampung Patekan. Masyarakat yang mengikuti pengajian tersebut tidak
hanya masyarakat lokal saja, yaitu masyarakat Kaliwungu itu sendiri akan tetapi
juga dari luar Kaliwungu.
Pesantren dilihat dari aspek kesejarahannya, bisa jadi
sebagai penelusuran sistem pendidikan pra Islam di negeri ini, yang oleh
sementara kalangan diidentifikasikan dengan nama sistem Mandala. Istilah
pesantren untuk daerah Kaliwungu saat ini, umumnya diacukan kepada tempat
pemukiman atau asrama para santri yang sebagai tempat belajar mengaji dan
mengenal hidup yang Islami. Pesantren-pesantren ini memiliki banyak arti dan
fungsi, sebagai sumber penting bagi pendidikan humaniora di pedesaan, karena ia
sebagai pusat kreativitas masyarakat. Dibanding dengan lembaga pendidikan Islam
yang lain, pesantren memiliki kelebihan mental keagamaannya. Salah satu alasan
kelebihannya itu adalah cara memandang santri terhadap kehidupan.