Belum
banyak buku yang menulis dan menemukan catatan baku atau buku induk yang
menerangkan riwayat hidup Sunan Katong. Cerita perjalanan hidup Sunan Katong
ini akhirnya diperoleh dari keterangan para sesepuh, itu pun belum dijamin
kelengkapan ceritanya dan validitasnya. Oleh karena itu, dalam menulis riwayat
hidup Sunan Katong ini banyak didominasi oleh cerita-cerita tutur sebagai
pelengkap cerita perjalanan Sunan Katong.
Banyak
buku sejarah yang menerangkan tentang Walisongo akan tetapi tidak satu buku pun
yang menerangkan dan bahkan menyebut sekalipun nama Sunan Katong. Oleh karena
itu, untuk bisa mencari identitasnya diperlukan data-data yang menyamping yang
berhubungan dengan masa ketika itu. Namun, ada satu riwayat yang menjelaskan,
bahwa kedatangan seorang santri yang bernama Bhatara Katong atau Kyai Katong ke
Kaliwungu adalah atas petunjuk dari gurunya yaitu Kyai Pandan Arang (Semarang).
Kyai Katong sendiri adalah keturunan Prabu Brawijaya V, sedang Kyai Pandan
Arang merupakan santri Sunan Kalijaga. Kyai Pandan Arang mengutus Kyai Katong pada
sekitar tahun 1500-an untuk berdakwah di daerah yang terdapat “Pohon Ungu”
yang batangnya condong ke sungai. Setelah berjalan ke arah barat Semarang
beberapa kilometer, akhirnya Kyai Katong menemukan pohon itu dan berteduh
sampai ketiduran beberapa waktu di pohon tersebut. Maka, daerah tersebut
sekarang dikenal dengan nama “Kali Ungu” atau “Kali Wungu” dan
sungai yang ada di dekat pohon tersebut oleh masyarakat dinamakan “Kali
Sarean”.
Sejarah Sunan Katong Dalam
Beberapa Versi
Ada
tiga tokoh penyebar agama Islam di wilayah Kendal mereka adalah; 1. Bhatara
Katong atau Sunan Katong atau Kyai Katong, 2. Wali Joko, dan 3. Kyai Gembyang
atau Wali Gembyang atau Raden Gembyang atau Jaka Gembyang. Diantara sentral
sejarahnya ada pada diri Sunan Katong yang makamnya di Astana Kuntul Melayang,
Protomulyo Wetan Kaliwungu. Itupun banyak diwarnai dengan cerita tutur.
Maka
muncul pertanyaan, kapan Bhatara Katong atau Sunan Katong atau Kyai Katong
datang di Kaliwungu-Kendal?. Untuk bisa mengetahui kapan Sunan Katong datang di
Kaliwungu-Kendal, terlebih dahulu perlu memahami siapa Sunan Katong yang
dimaksud.
Nama
Sunan Katong erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit, karena tokoh ini masih
ada hubungan darah dengan raja Majapahit yang terakhir, Prabu Brawijaya V, ia
adalah putra Majapahit dari istri Ponorogo. Setelah kerajaan Majapahit
berakhir, ada keterangan yang menerangkan bahwa tokoh ini secara otomatis
menjadi keluarga besar kerajaan Demak, karena ia masih ada hubungan saudara
dengan Raden Fatah, saudara seayah.
|
Makam Sunan Katong di Bukit Jabal Nur Protomulyo Kaliwungu |
Ada
keterangan lain yang menerangkan bahwa Sunan Katong yang makamnya ada di kota
Kaliwungu itu bukanlah Bhatara Katong putera Brawijaya ke V tetapi cucu dari
Bhatara Katong, yang mempunyai nama “nunggak semi” dengan kakeknya, yaitu
Bhatara Katong. Tokoh muda itu bernama Kyai Katong.
Dijelaskan
bahwa Kyai Katong yang cucu Bhatara Katong itu adalah putera Pangeran Suryapati
Unus atau Adipati Unus atau Patih Yunus atau Pangeran Sabrang Lor, putera Raden
Fatah, Sultan kerajaan Demak pertama. Sedangkan kapan tokoh ini datang di
Kaliwungu-Kendal, memang tidak ada catatan yang jelas. Namun jika dipahami
dengan berdasarkan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu, dan kemudian
menghubungkannya dengan berdasar analisa rasional, maka kedatangan Sunan Katong
ini akan bisa diketahui. Data-data itu berhubungan erat dengan penyerangan
Kerajaan Islam Demak terhadap bangsa Portugis yang telah menguasai Malaka dan Sunda Kelapa (Jakarta). Maka, kapan
peristiwa itu terjadi?
Bhatara
Katong atau Sunan Katong bersama pasukannya mendarat di Kaliwungu dan memilih
tempat di pegunungan Penjor atau pegunungan telapak “kuntul melayang”. Beberapa
tokoh rombongannya antara lain terdapat tokoh seperti Ten Koe Pen Jian Lien,
Han Bie Yan dan Raden Panggung. Dalam cerita tutur atau cerita rakyat terkenal
dengan nama-nama Tekuk Penjalin, Kyai Gembyang dan Wali Joko. Dalam catatan
sejarah nasional bahwa ketika Nusantara (Malaka dan Aceh) diserang oleh bangsa
Portugis (1511), banyak pembesar-pembesar Samudera Pasai (Aceh) yang mengungsi
ke Demak, salah satunya pembesar itu terdapat Faletehan atau Fatahillah.
Terhadap
penyerangan bangsa Portugis itu, kerajaan Islam Demak melakukan penyerangan
balik selama dua kali. Penyerangan pertama terjadi pada tahun 1513 dibawah
pimpinan Pangeran Sabrang Lor atau Adipati Unus, putera mahkota Kerajaan Islam Demak.
Karena penyerangan itu memiliki tujuan multi politik, yaitu politik ekonomi dan
politik agama, maka dalam perjalanan pasukan Demak disertai dengan pembinaan
pada daerah-daerah pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa sebagai basis
pertahanan. Dimungkinkan dalam ekspedisi pertama ini (1513) Kyai Katong ada
dalam rombongan itu, dan kemudian memilih berhenti membina daerah baru di Kaliwungu-Kendal.
Bila
kemungkinan ini benar maka Sunan Katong datang ke Kaliwungu-Kendal pada tahun
1513. akan tetapi catatan ini sedikit kurang valid karena tidak ada data
pendukung lainnya. Dan disamping itu masanya sangat terlampau jauh bila
dihubungkan dengan sejarah semasanya. Penyerangan kedua terhadap bangsa
Portugis dilakukan pada tahun 1527. penyerangan ditujukan terhadap bangsa
Portugis yang sudah menguasai Jayakarta atau Sunda Kelapa (Jakarta).
Penyerangan kedua dipimpin oleh Faletehan atau Fatahillah, menantu Raden Fatah
atau kakak ipar Sultan Trenggono. Sudah barang tentu penguasaan
pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai utara pulau Jawa terlebih dahulu
dilakukan. Dimungkinkan sekali, Kyai Katong ada dalam rombongan ekspedisi ini.
Kelihatannya
catatan ini ada sedikit dukungan data lainnya. Dengan demikian bisa mendekati
kebenaran bila kedatangan Sunan Katong di Kendal-Kaliwungu pada tahun 1527,
atau ketika itu Kerajaan Islam Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono. Catatan
itu didukung dan ada sedikit sentuhan positif dengan cerita rakyat yang sudah
menjadi cerita baku dan bahkan sudah menyatu pada diri masyarakat Kaliwungu-Kendal,
yaitu cerita Sunan Katong. Data Pendukung itu antara lain menyebutkan sebagai
berikut:
Baca juga: Sejarah Kaliwungu Yang Telah Melahirkan Ribuan Kyai
Adanya
cerita perguruan antara Sunan Katong dengan Ki Ageng Pandan Arang I (Ki Made
Pandan) dan Ki Ageng Pandan Arang II atau Sunan Tembayat di padepokan Tirang
Amper atau Bergota. Ketika bertemu dengan penguasa Semarang itu, Ki Ageng
Pandan Arang belum pindah ke Tembayat. Artinya Ki Made Pandan ataupun Ki Pandan
Arang II masih dalam satu wilayah, di Tirang Amper atau Bergota.
Adanya
cerita Bhatara Katong dengan Syeikh Wali Lanang, dengan perintah Sunan Bonang
pada Syeikh Wali Lanang yang ditugasi mengajar Sunan Katong, dan kemudian
adanya pertemuan antara Ki Ageng Pandan Arang dengan Syeikh Wali Lanang. Untuk
memperjelas data-data itu kiranya perlu kesabaran dan perlu ketelitian dalam
rangka menghindari kesalahan yang fatal. Dan perlu disadari bahwa pertemuan itu
belum tentu bisa mencapai kebenaran seratus persen. Antara Sunan Katong dan Ki
Ageng Pandan Arang adalah saudara seayah, keduanya putera Pangeran Suryapati
Unus. Ibu Ki Made Pandan Arang adalah puteri Adipati Urawan di Madiun.
Sedangkan Kyai Katong putera Adipati Unus dari istri Ponorogo. Puteri Bhatara
Katong.
Kedua
putera Adipati Unus itu ternyata mempunyai visi sama. Mereka tidak tertarik
dengan politik pemerintahan, mereka memilih sebagai penyiar agama Islam atau
dunia spiritual. Dengan demikian mereka juga harus rela meninggalkan kerajaan.
Padahal kalau mereka ada ke sana, baik Ki Ageng Pandan Arang maupun Kyai Katong
sangat mudah. Ki Made Pandan Arang bisa memilih ingin menjadi penguasa Demak
ataupun Adipati di Urawan Madiun. Kedua daerah itu sangat memungkinkan untuk mengantarkan
dirinya untuk menjadi orang nomor satu. Sedangkan Kyai Katong juga demikian. Ia
tinggal memilih apakah di Demak atau Ponorogo, keduanya memberi harapan yang
bagus.
Baca juga: Kumpulan Nasihat atau Wejangan Sunan Katong
Dalam
cerita sejarah dan cerita rakyat atau cerita tutur diterangkan bahwa cerita-cerita
yang menyangkut riwayat perjalanan Sunan Katong memang saling berhubungan, dan
cerita-cerita itu saling melengkapi. Alur cerita sejarahnya kemudian dikemas
dalam bentuk cerita rakyat yang seakan-akan saling bertentangan. Padahal
tidaklah demikian. Cerita-cerita itu dimaksudkan untuk saling mengisi dan
saling melengkapi. Dengan bahasa lain, alur sejarahnya dibungkus dengan cerita
rakyat yang dihiasai dengan "sanepo" atau kiasan-kiasan yang
mengandung filsafat/pendidikan. Sebab, para penulis cerita babad itu lebih
dilingkari dengan budaya dan bahasa yang sangat halus. Dan para pujangga itu
lebih mengedepankan rasa dari pada lainnya. Sehingga penulisannya lebih
mengarah pada filsafat kehidupan.
Melihat
keadaan daerah serta nama-nama tempat di Kendal/Kaliwungu memberi pengertian
bahwa di wilayah itu dulu menjadi pusat pemerintahan agama Hindu/Budha.
Nama-nama itu terus melembaga sampai dengan agama Islam masuk ke daerah itu.
Nama-nama itu antara lain; Patian, Demangan, Kranggan, Kenduruan, Katemenggungan
Sepuh dan Kandangan. Patih, Ronggo, Tumenggung, Demang, Kenduruwan adalah
perangkat pemerintahan Majapahit, yang disebut Sapta Riwilwatika. Sedangkan
Kandangan adalah Sameget Sapta Upapati. Hakim pemutus perkara yang jumlahnya
tujuh ; Kandangan, Pamotan, Panjang Jiwa, Andamohi, Manghuri dan Jamba. Dengan
demikian tidak berlebihan bila Kaliwungu dulunya sebuah Kadipaten Majapahit.
Seperti disebut-sebut bahwa menurut tuturan jaman Majapahit, bahwa "kali'
disebutnya dengan “banyu”.
Penyerangan pertama terhadap Bangsa Portugis ini tercatat
tahun 1513. Ketika merebut pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pulau Jawa itu,
dimungkinkan adik Sultan Fatah yang bernama Bathara Katong ikut dalam pasukan
Faletehan. Daerah/pelabuhan yang berhasil ditaklukkan, ditempatkan seorang
pemimpin yang telah berpengalaman di bidang pemerintahan. Daerah pelabuhan yang
pertama kali ditaklukkan adalah Kendal/Kaliwungu karena tempatnya berdekatan
dengan Demak. Setelah Kaliwungu-Kendal berhasil dikuasai, maka Bhatara Katong
diminta untuk mengislamkan masyarakat di Kaliwungu-Kendal dan sekitarnya serta
sekaligus menata pemerintahannya.
Banyaknya
cerita dan data-data berupa tulisan yang tidak jelas asal-usulnya menjadikan
data yang diperoleh kurang valid. Bila pendapat ini yang menjadi rujukan, maka
kedatangan Sunan Katong di Kaliwungu-Kendal kurang lebih tahun 1513-an, dan
Demak masih di bawah kepemimpinan Sultan Fatah. Terlepas benar atau salah,
kelihatannya tahun 1513 itu terlalu tua, dan bila dihubungkan dengan catatan
yang akan diuraikan nanti kurang adanya kecocokan masa. Cerita yang berhubungan
Ki Ageng Pandan Arang atau Sunan Tembayat, kelihatannya akan terkubur, yang
berarti adanya keberatan untuk menerima temuan di atas. Namun ada keterangan
lagi, bahwa masa itu terlalu jauh bila dihubungkan dengan masa kehidupan Ki
Pandan Arang atau Sunan Tembayat. Dimungkinkan, kedatangan Bhatara Katong di Kaliwungu-Kendal
itu bersamaan dengan penyerangan terhadap Portugis di Sunda Kelapa yang terjadi
pada tahun 1527 yang dipimpin oleh Faletehan atau Fatahilah. Ketika Kerajaan Islam
Demak di bawah pemerintahan Sultan Trenggono.
Bila
masa itu yang menjadi rujukan, kelihatannya mendekati kebenaran. Maka Bhatara
Katong yang dimaksud itu adalah Kiai Katong cucu dari Bhatara Katong, atau Kiai
Katong putera Adipati Unus dari istri putera Prabu Brawijaya V. Dengan demikian,
Kiai Katong tetap disebut juga sebagai keturunan Prabu Brawijaya V.
Kondisi
dan perkembangan sejarah ketika itu sangat cocok bila dihubungkan dengan daerah
sekitar, terutama Tirang Amper di bawah pimpinan Ki Ageng Pandan Arang I atau
Ki Made Pandan, walaupun sedikit ada selisih tahun. Kalau diyakini bahwa Ki
Made Pandan adalah anak Pangeran Suryapati Unus putera Sultan Fatah, maka dapat
dihitung bahwa kepergian Ki Made Pandan dari Demak menuju Tirang Amper sekitar
tahun 1521-an. Sebab, Suryapati Unus memangku Sultan II, menggantikan
ayahandanya sekitar tahun 1518-1521. Dan pada tahun-tahun tersebut memang agama
Islam belum menyebar ke pelosok: Di Tirang Amper atau Bergota sendiri masih
banyak Ajar atau pemimpin agama Hindu yang masih kokoh dengan sikap
keyakinannya. Maka tidak berlebihan bila Kaliwungu-Kendal yang letaknya lebih
jauh dari Demak, juga masih banyak petinggi Majapahit, salah satunya Pakuwojo,
yang mempunyai nama asli Suromenggolo. Selain sebagai seorang Adipati, ia juga
seorang yang ahli membuat pusaka, sebagaimana Empu Supo, seorang yang ahli
membuat pusaka keris, dan kemudian menjadi Adipati di daerah Tuban.
Cerita-cerita
yang menyangkut antara Pakuwojo dan Sunan Katong sebenarnya menyangkut soal
perkembangan agama Islam di Kaliwungu-Kendal. Pakuwojo sendiri disebutkan
sebagai seorang petinggi Majapahit yang ditempatkan di Kaliwungu. Selain
sebagai petinggi kerajaan, Pakuwojo juga dipandang sebagai tokoh agama. Selain
itu Pakuwojo juga memiliki kepribadian yang kokoh dan sangat kuat
mempertahankan prinsip, terlebih soal kepercayaan dan keyakinan. Oleh karenanya
tidak mudah merubah keyakinan yang telah bertahun-tahun bahkan telah mendarah
daging pada diri Pakuwojo. Kalau saja ada perlawanan dari Pakuwojo terhadap
ajakan/da'wah Sunan Katong, hal itu termasuk sikap yang wajar.
Kisah
perjalanan Sunan Katong menurut catatan, dituturkan bahwa Sunan Katong yang
makamnya di Protomulya Kaliwungu itu adalah Bhatara Katong putera Prabu
Brawijaya V dari istri Ponorogo. Dan silsilah ini di antara para penulis
sejarah tidak ada yang berbeda. Dengan demikian hubungan antara Bhatara Katong
dengan Sultan Fatah, Raja Demak adalah saudara seayah lain ibu, karena Raden
Fatah lahir dari ibu asal negeri Campa, dan kelahirannya di Palembang.
Catatan
ini sudah dijadikan bahan baku cerita rakyat sebenarnya sudah dikemas dalam
bentuk cerita yang penuh dengan filsafat kehidupan. Artinya, alur ceritanya
tidak langsung terfokus pada titik ceritanya, tetapi sudah disusun sedemikian
rupa, dan didalamnya banyak mengandung pelajaran keimanan dan filsafat
kehidupan. Lengkapnya catatan sejarawan itu sebagai berikut;
“Bhatara
Katong sebenarnya masih terbilang seorang putera Prabu Brawijaya, Raja
Majapahit. Setelah Kerajaan Majapahit runtuh, ia belum bersedia memeluk agama
Islam. Adipati Ponorogo ini pernah diminta oleh saudara tuanya, Panembahan
Demak untuk memeluk Agama Islam. namun waktu itu minta tangguh, setelah ayahnya
meninggal dunia. Namun setelah Prabu Brawijaya meninggal, Bhatara Katong
ternyata telah mengingkari janjinya, bahkan bertapa pergi ke pegunungan Penjor.
Setelah Panembahan Demak mendengarnya, maka masalah ini diserahkan kepada Sunan
Ratu Wadat alias Sunan Bonang. Sunan Bonang kemudian mengutus seorang bangsawan
dari negeri Arab, bernama Syeikh Wali Lanang atau Syeikh Djumadil Kubro, untuk
mengislamkan Bhatara Katong. Bhatara Katong mempunyai dua orang anak. Yang
pertama seorang perawan, dan yang bungsu masih remaja puteri. Bhatara Katong
merasa sedih memikirkan jodoh kedua anaknya itu. Demikian sedihnya, hingga
dalam hati ia sampai berkata bahwa ia rela meninggalkan dunia fana ini jika
kedua putrinya telah bersuami. Di samping itu, ia juga memikirkan di mana
tempat yang tepat untuk memeluk Agama Islam. Tidak lama antaranya Bhatara
Katong melihat teja mencorong di sebelah barat laut. Kemudian ia bertanya pada
dirinya sendiri, apakah teja tersebut tidak merupakan isyarat bagi dirinya? “Jika
demikian aku pergi ke sana untuk menjumpainya,” katanya dalam hati. Sayang
sekali, ketika mau dihampiri olehnya, teja itu tiba-tiba menghilang, tidak
tentu arah rimbanya. Bhatara Katong bersama istrinya kemudian pergi ke arah
barat laut sambil membawa kedua orang anak perempuannya.
Setelah
Bhatara Katong pergi, Syeikh Wali Lanang datang di padepokannya. Syeikh Wali
Lanang memperhatikan keadaan sekitar tempat itu dengan seksama. Setelah
meneliti ke kanan dan ke kiri, Syeikh Wali Lanang mengetahui arah kepergian
Bhatara Katong. Syeikh Wali Lanang segera pergi ke arah barat laut, mau
menyusulnya. Sementara itu perjalanan telah sampai di Jurangsuru. Di tempat itu
ia bertemu dengan seorang bekas Ajar (pendekar) yang telah memeluk Agama Islam
bernama Naya Gati. Setelah saling menanyakan nama dan tempat asalnya
masing-masing, Bhatara Katong menyampaikan maksudnya mau mencari teja yang
pernah dilihatnya, namun setelah sampai di suatu tempat, di tepi laut tiba-tiba
menghilang. “Tahukah Andika siapa orang suci yang diam di tempat itu?” Naya
Gati menjawab, bahwa orang suci tersebut masih gurunya sendiri, bernama Pandan
Arang. Orangnya masih sangat muda, lagi pula seorang orang suci yang sakti.
Atas pertanyaan Bhatara Katong; Naya Gati juga menerangkan, gurunya tersebut
berasal dari Demak dan masih cucu Panembahan Demak. Ia diperintahkan Sunan
Bonang bermukim di tempat itu untuk mengislamkan para Ajar (pendekar).
Bhatara
Katong minta diantarkan ke tempat kediaman Ki Pandan Arang. Permintaan itu
disanggupi Naya Gati. Setelah bertemu dengan Ki Pandan Arang, ia ditanyai asal
usul dan maksud kedatangannya. Bhatara Katong dengan terus terang menyebutkan
namanya sambil menjelaskan bahwa ia berasal dari Ponorogo dan masih putera
Prabu Brawijaya. Maksud kedatangannya tak lain ingin memeluk agama Islam dengan
perantara Ki Pandan Arang. Ki Pandan Arang menjawab, bahwa maksud itu lebih
dari baik. Akhirnya Bhatara Katong mau memeluk agama Islam. Ki. Pandan Arang lalu
minta kepadanya mengucapkan kalimat syahadat, sedang Bhatara Katong kemudian
menyerahkan anak perempuannya yang sulung pada Ki Ageng Pandan Arang untuk
dijadikan istrinya.
Catatan
Amien Budiman itu dengan jelas menerangkan bahwa Bhatara Katong yang makamnya
di Protomulyo itu berasal dari Ponorogo, saudara seayah Sultan Fatah. Catatan
ini nampaknya sudah tersebar dan bahkan sudah dijadikan pemahaman baku oleh
masyarakat. Brosur syawalan yang menceritakan tentang riwayat Sunan Katong
kelihatannya lebih mengacu pada catatan ini.
Sementara
itu Mas'ud Thoyib, sastrawan asal Kaliwungu juga menyimpan catatan tentang
Bhatara Katong yang riwayatnya sedang dibahas ini. Disebutkan dalam bukunya
Sunan Katong dan Pakuwaja, Mas'ud Thoyib memperlihatkan catatan Dr. H. Rachmat
Djatmiko dengan bersumber pada Babad Ponorogo, menerangkan bahwa Prabu
Brawijaya memang punya anak dari istri Ponorogo yang bernama Bhatara Katong.
Lebih lengkapnya catatan Dr. H. Rachmat Djatmiko itu sebagai berikut ; “Bhatara
Katong adalah putera Raja Majapahit Prabu Brawijaya V, sehingga dengan Raden
Fatah merupakan saudara seayah. Bhatara Katong diperintah oleh ayahnya, Raja
Majapahit, untuk menghadapkan Ki Demang Kutu yang membangkang kepada Raja. Ki
Demang Kutu itu mempunyai keahlian dalam ilmu kanuragan, mempunyai banyak
pengikut dan murid yang terkenal sebagai warok dan jatil. Untuk mendatangkan
Demang Kutu, Bhatara Katong disertai Seloaji. Sampai di Desa Mirah mereka
bertemu dengan seorang muslim, yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Mirah.
Bhatara Katong minta bantuan pada Ki Ageng Mirah untuk mengalahkan Ki Demang
Kutu.
Baca: Tradisi Yang Diajarkan Sunan Katong
Menurut
tradisi, Bhatara Katong dan Seloaji masuk Islam dihadapan Ki Ageng Mirah.
Selanjutnya Bhatara Katong, Seloaji dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya
kembali ke Ponorogo. Setelah sampai di suatu tempat yang diperkirakan sesuai
untuk dijadikan kota, didirikan sebuah masjid. Dan dari daerah itulah dapat
mengalahkan Ki Demang Kutu.” Rachmat Djatmiko juga mencatat bahwa nama
“Bhatara” di belakang nama Katong, adalah atas pemberian Raden Fatah sebagai
upaya untuk memudahkan berdakwah di lingkungan masyarakat yang masih memeluk
agama Hindu/Budha.
Dalam
catatan akhirnya, Rachmat Djatmiko juga menerangkan bahwa setelah wafat,
Bhatara Katong dimakamkan di depan masjid (tidak di belakang masjid). Menurut
candra sengkolo Sinengkalan yang terdapat pada watu gilang di ruang jero tengah
kompleks kuburan terdapat gambar-gambar: Gajah, Burung terbang, Udang dan orang
sedang bertapa. Yang diartikan oleh J. Knebel sebagai tanda tahun 1318 Caka
(1398 M) dan menurut M. Hari Suwarno menunjukkan tahun 1408 Caka (1486 M).
Tahun tersebut kemungkinan waktu didirikannya masjid Setono, dan Bhatara Katong
kemungkinan wafat pada pertengahan awal abad 16, dan wakaf tanah kompleks
Bhatara Katong terjadi tahun 1554 Catatan Rachmat Djatmiko di atas menjelaskan
bahwa Bhatara Katong sudah masuk Islam di hadapan Ki Ageng Mirah ketika masih
menjabat sebagai Adipati Ponorogo, dan ia menjadi Adipati Wengker, Ponorogo
mulai tahun 1466 M, dan mendirikan masjid di Setono pada tahun 1486 M. Kemudian
adakah hubungan antara Bintara, Ponorogo dan Kaliwungu?
Disebutkan
dalam kitab Centhini sebagai berikut: Bathara Katong sejarah neki saking
Bintoro warti putrane sang aji Dukuh Lepentangi. Arti bebasnya; Sejarah Batara
Katong itu berasal dari Bintoro. Menurut cerita ia putera raja, yang tinggal di
Kaliwungu.
Bila
isi serat Centhini dihubungkan dengan Babad Tanah Jawi yang isinya; Sawise
lawas-lawas Sultan Demak wus peputero nenem, kakung lan puteri yoiku: (1)
Pangeran Sabrang Lor, iku kang pembarep, kromo daup lan puteri Ponorogo Bhatara
Katong. (2) Pangerang Trenggono, (3) Pangeran Sedo ing Kali, (4) Pangeran
Kandurunan (5) Pangeran Pamengkas (6) Puteri Nimas Ratu kromo angsal Bagelen. Arti
bebasnya kurang lebih; Setelah lama Sultan Demak (Raden Fatah), sudah berputera
enam orang lelaki dan perempuan yaitu (1) Pangeran Sabrang Lor (Dipati Unus,
putera mahkota) anak yang pertama, menikah dengan puteri Ponorogo, Puteranya
Batara Katong (2) Pangeran Tranggono (3) Pangeran Seda ing kali (4) Pangeran
Kandurunan, atau Kanduruan (5) Pangeran Pamengkas (6) Puteri Nimas Ratu,
menikah dengan orang Bagelen.
Dapatlah
diartikan bahwa Bhatara Katong yang sejarahnya berasal dari Bintara, Demak
adalah putera raja (Adipati Unus) yang tinggal di dukuh Kaliwungu. Dengan
demikian Kiai Katong ing Gunung Penjor (Kaliwungu) adalah bukti adanya hubungan
sejarah antara Bintoro dengan Ponorogo/Wengker (yang pernah menjadi pusat
kerajaan Majapahit, 1456-1466 M)
Sedangkan
dalam catatan lain juga disebutkan bahwa ketika Bupati Kendal, Pangeran Ario
Notohamiprojo pernah mengikuti perjalanan Prins Federijk, cucu Raja Nederland
keliling pulau jawa (1837), singgah di kuburannya Bhatara Katong di Ponorogo.
Dengan demikian jelas sekali bahwa di Ponorogo juga ada nama Bhatara Katong,
putera Brawijaya. Untuk sementara, cerita kita beralih pada Adipati Unus atau
Suryapati Unus atau Pangeran Sabrang lor, yang menjadi sentral pembahasan
kedua. Selain punya istri puteri Bhatara Katong, Adipati Unus juga punya istri
puteri Pangeran Puruboyo atau Adipati Urawan penguasa Madiun. Hasil perkawinan
ini lahir Ki Made Pandan. Anak Adipati Unus ini lebih tertarik pada
kegiatan-kegiatan spiritual dari pada pemerintahan. Disebutkan pula bahwa
pengaruh Sunan Bonang lebih mewarnai kehidupan Made Pandan. Ketika ayahandanya
wafat, ia lebih rela jabatan atau tahta itu diserahkan pada pamannya, yaitu
Pangeran Trenggana. Ki Made Pandan bersama istri dan dua anaknya meninggalkan
Demak, yang akhirnya lebih puas bermukim di pulau Tirang dengan mengembangkan
Agama Islam di sekitar tempat itu, dan mengislamkan para Ajar di sekitar gunung
Bergota. Di Made Pandan kemudian menetap di daerah itu yang diberi nama Tirang
Amper.
Begitu
pendapat kedua ini mengemuka, maka kedatangan Sunan Katong di Kaliwungu/Kendal
diduga kuat sekitar tahun 1527-an bersamaan dengan penyerangan Demak ke Sunda
Kelapa yang juga dipimpin oleh Faletehan, ulama asal Samodra Samudera Pasai dan
menantu Sultan Fatah. Pada tahun itu Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono,
Sultan Demak III putera Sultan Fatah (adik Suryapati Unus). Apabila dihubungkan
dengan daerah sekitar, terutama Tirang Amper di bawah Ki Made Pandan dan Ki
Ageng Pandan Arang (Bupati Semarang I) memang ada kedekatan masa.
Baca: Kisah Pertarungan Sengit Sunan Katong dengan Empu Pakuwojo
Dalam
buku Sejarah Hari Jadi Kota Semarang dijelaskan bahwa dua catatan diatas
ternyata alurnya sama. Hanya saja catatan Rachmad Djatmiko yang dihubungkan
dengan serat Centini itu dengan jelas bahwa Sunan Katong yang makamnya di
Kaliwungu itu memang berasal dari Ponorogo tetapi bukan Bhatara Katong putera
Brawijaya, melainkan Bhatara Katong putera Adipati Unus, cucu Adipati Bhatara
Katong di Ponorogo, yang berarti juga masih cicit Prabu Brawijaya V.
Lanjutan
dari cerita perjalanan Sunan Katong disebutkan lagi, ketika dua keturunan
Adipati Unus bertemu di Jurungsuru atau pulau Tirang atau Bergota berkat peran
Ajar Naya Gati dan keduanya saling bertukar pikiran soal agama Islam, dengan
sebutan lain Sunan Katong berguru pada Ki Ageng Pandang Aran. Setelah itu,
kemudian Sunan Katong diberi tugas penyiaran Agama Islam ke arah barat dengan
ditunjukkan dan diberi isyarat yaitu pada suatu tempat dimana ada sebuah pohon
ungu yang condong ke sungai, dan ditempat itulah Sunan Katong diperintahkan
membuka perguruan sebagai pusat penyebaran Agama Islam.
Sebelum
meninggalkan padepokan Ki Pandan Arang, Sunan Katong memenuhi keinginannya
yaitu menikahkan puteri sulungnya yang sudah perawan. Puteri sulung itu
dinikahkan dengan putera gurunya sendiri, yang namanya nunggak semi dengan orang
tuanya, yaitu Ki Ageng Pandan Arang II atau Pangeran Kasepuhan. Dikemudian
hari, nama puteri Sunan Katong itu dikenal dengan nama Nyai Ageng Kaliwungu,
dan dialah yang mendampingi suaminya, Ki Ageng Pandan Arang, ketika awal-awal
menjadi Adipati semarang menggantikan ayahnya, maupun dalam perjalanannya
menuju Gunung Jabalkat atau Gunung Tembayat, karena atas saran dan nasihat
Sunan Kalijaga.
Selanjutnya
Ki Ageng Pandan Arang II lebih dikenal dengan panggilan Sunan Tembayat atau
Sunan Jabalkat. Sedangkan puteri Sunan Katong yang satunya, seperti diterangkan
oleh Suwignya dalam bukunya Kyai Pandanarang, gadis itu dinikahkan dengan murid
Sunan Katong sendiri, bernama Ki Ageng Prawito atau Prawoto asal Begelen. Dalam
buku tersebut kemudian: dijelaskan lagi, bahwa Ki Prawito inilah yang menjadi
tuan tanah di daerah Kaliwungu. Bisa jadi nama Proto itu berasal dari kata
Prawito atau Prawoto.
Perjalanan
Sunan Katong ke arah barat sebagaimana pesan gurunya untuk mencari tempat yang
tumbuh sebuah pohon ungu yang condong ke sungai. Mungkin sudah merupakan
kehendak takdir. Ketika Sunan Katong istirahat pada suatu tempat/di pinggir
sungai, ia tertidur, dan setelah bangun dilihatnya ada sebuah pohon sebagaimana
yang dimaksud oleh gurunya. Disitulah Sunan Katong mengucapkan dua kata “Kali
Ungu”. Sedangkan sungainya disebut oleh banyak orang dengan nama “Kali Sarean”.
Dan tempat itulah yang dikemudian hari terkenal dengan nama Kaliwungu.
Oleh
Ki Ageng Pandan Arang juga dipesankan pada Sunan Katong bahwa untuk lebih mendalami
ilmu-ilmu agama serta mengamalkannya. Untuk mencapai tingkat kehidupan sufi,
Sunan Katong dinasihati harus bisa mencari telapake kuntul melayang atau
telapak burung Kuntul terbang berada di daerah yang terdapat “pohon yang
condong ke sungai”. Mencari telapak kuntul melayang pada hakekatnya tidak
berbeda dengan perintah untuk mencari susuhing angin atau mencari sarang angin
dalam lakon wayang Dewa Ruci atau Bima Suci. Namun kalau diperhatikan di mana
tempat Sunan Katong mengamalkan ilmunya, ternyata menempati daerah yang agak
tinggi, yaitu di perbukitan Penjor yang bentuknya seperti burung kuntul
melayang, yaitu di perbukitan Protomulyo sekarang ini, dan sebagian arealnya
dijadikan pemakaman raja-raja Mataram, baik dari tanah Yogyakarta maupun
Surakarta.
Daerah
perbukitan Penjor yang juga dinamakan bukit kuntul melayang itu, kalau
dipandangi secara cermat memang seperti bentuk seekor burung yang sedang
terbang menghadap ke arah barat. Rasanya memang aneh, dan mungkin itu sudah
kehendak Tuhan. Dikemudian hari perbukitan itu disebut dengan Astana Kuntul
Nglayang. Disebut demikian karena pada akhirnya bukit itu menjadi istana
terakhir para leluhur Kaliwungu atau tempat peristirahatan terakhir para
leluhur Mataram keturunan Pangeran Djoeminah. Astana Kuntul Nglayang menjadi
saksi bahwa bumi Kaliwungu itu ditempati oleh orang-orang besar kerajaan.
Maka
diperlukan kecermatan dalam melihat pegunungan kuntul melayang itu. Pada ujung
atas (kepala) ditempati oleh makam Pangeran Djoeminah, Raden Tumenggung Ronggo
Hadimenggolo, dan beberapa makam bupati Kendal lainnya. Bagian tengah (dada)
ditempati oleh Sunan Katong, dan beberapa makam bupati Kendal lainnya: Sayap
sebelah kanan ditempati oleh Kiai Musyafak dan Kiai Musthofa, Kiai Rukyat dan
ada disitu Bupati Kendal ke 36, Drs. H. Djoemadi. Sayap bagian kiri ada
Tumenggung Mendurorejo dan Kiai Asy'ari. Sedangkan bagian belakang (ekor)
ditempati oleh Pakuwojo, yang disebut dengan gunung Sentir.
Catatan-catatan
di atas sejalan dengan pakem yang ditulis oleh Raden Ngabehi Tjokro Hadiwikromo
yang menyatakan bahwa dalam kehidupan pribadi, Ki Pandan Arang telah kawin
dengan puteri Bhatara Katong, dan juga dengan putri Endang Sejanila. Sayang
istri kedua Ki Pandan Arang ini baik oleh Raden Ngabehi Tjokro Hadiwikromo
maupun Amen Budiman serta Mas'ud Thoyib tidak diterangkan bahwa ia puteri
keturunan siapa. Hanya disebut bahwa Endang Sejanila juga Endang Semawis.
"Pangeran Pandanarang Ikromo oleh putrane kiai Katong ing goenoeng
Penjor (Kaliwoengoe) Ian. kromo malih oleh Endang Sedjonila, iyo Endang
Semawis, " begitu pakem yang tulis oleh Tjokro Hadikromo.
Dari
beberapa penemuan para pencatat sejarah akhirnya bisa dimengerti bahwa Sunan
Katong adalah seorang Wali yang masih ada hubungan nasab dengan Prabu Brawijaya
V. Para penulis sejarah tidak ada yang beda pendapat, dan mereka sepakat bahwa
Sunan Kathong yang makamnya di pemakaman Protomulyo itu memang berasal dari
Ponorogo.
Kira-kira
lengkap silsilahnya adalah sebagai berikut: Prabu Kertabhumi atau Prabu
Brawijaya V berputera Bhatara Katong. Dan Bhatara Katong berputera seorang
puteri yang menjadi istri Adipati Unus atau Suryapati Unus
putera Raden Fatah. Dari Perkawinan itu, lahir Kyai Katong, dan kemudian
terkenal dengan nama Sunan Katong.
Wallahu A’lam