Tradisi Kesenian Blantenan
Kesenian blantenan adalah kesenian daerah berisikan shalawat yang dinyanyikan oleh dua pembawa syair shalawat dan diiringi oleh enam penabuh, yaitu kendhang, konteng lambat, konteng cepat, kencur lambat, kencur cepat, dan jidor, dan biasanya kesenian blantenan dilakukan oleh laki-laki. Syair shalawat yang dinyanyikan diambil dari kitab-kitab shalawat misalnya kitab Adibak. Shalawat yang dinyanyikan dalam blantenan berjumlah lebih dari duapuluh shalawat. Kesenian blantenan berbeda dengan rebana atau terbangan, rebana atau terbangan terdiri dari tiga penabuh sedangkan blantenan terdiri dari enam penabuh.
“Blantenan itu terdiri dari enam penabuh, yaitu kendhang, konteng lambat, konteng cepat, kencur lambat, kencur cepat, dan jidor, dan biasanya kesenian blantenan dilakukan oleh laki-laki, nah syair yang dilagukan itu diambil dari kitab-kitab shalawat misalnya kitab Adibak. Blantenan itu berbeda dengan rebana, kalau rebana, terbangan terdiri dari tiga penabuh.” (Bapak H. Abdul Fatah, pemimpin blantenan di Kendhuruan, wawancara tanggal 31 Agustus 2015)
Pernyataan tersebut juga dituturkan oleh seorang penabuh blantenan di desa Gadukan yaitu Bapak Mustofa.
“Blantenan itu ada enam penabuh, kendhang, konteng lambat, konteng cepat, kencur lambat, kencur cepat, dan jidor. Syair yang dinyanyikan pada blantenan diambil dari kitab shalawat, full bahasa arab, dan ditambah dengan kolaborasi tema yang dishowkan.” (Bapak Mustofa, penabuh blantenan desa Gadukan, wawancara pada tanggal 31 Agustus 2015)
Fungsi Kesenian Blantenan di Kaliwungu
Kesenian blantenan merupakan salah satu ajaran Bathara Katong dalam menyiarkan agama Islam. Syair shalawat yang dinyanyikan pada kesenian blantenan menjadi media penyampaian dakwah Islam. Syiar Islam dalam bentuk kesenian blantenan tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam seperti maulud nabi, syawal, idul adha namun juga pada acara keagamaan yang lain misalnya khitanan, pernikahan. Selain itu, kesenian blantenan juga ditampilkan pada acara tedhak siti, acara agustusan, pembukaan tradisi syawalan di Kaliwungu bahkan kesenian blantenan juga diadakan pada acara lomba blantenan seperti yang dituturkan Bapak H. Abdul Fatah, pemimpin kesenian blantenan di kampung Kendhuruan desa Krajankulon Kaliwungu.
‘’Blantenan biasanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam seperti syawal, maulud nabi, idul adha, juga ditampilkan pada acara keagamaan misalnya khitanan, pernikahan dan lain-lain.’’ (Bapak H. Abdul Fatah, pemimpin blantenan Kendhuruan, wawancara pada tanggal 31 Agustus 2015)
Menurut Bapak Jiko, seorang penabuh kesenian blantenan di kampung Gadukan juga menuturkan bahwa kesenian blantenan ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, acara keagamaan, hari nasional dan tradisi daerah seperti tedhak siti.
‘’Blantenan ditampilkan pada saat syawal, maulud nabi, agustusan, tedhak siti dan lomba-lomba. Bahkan blantenan di sini dulu sering ditampilkan setiap sak selapan sekali.’’ (Bapak Jiko, penabuh blantenan Gadukan, wawancara pada tanggal 31 Agustus 2015)
Kesenian blantenan menjadi pemikat dalam syiar dan dakwah Islam agar masyarakat menerima agama Islam dengan senang karena dakwah Islam tidak hanya disyiarkan lewat tuturan namun juga dalam bentuk hiburan kesenian.
Makna Kesenian Blantenan
Kesenian blantenan sebagai wadah syiar Islam menjadi pemikat bagi masyarakat Kaliwungu agar Islam mempunyai tempat di hati masyarakat Kaliwungu bahwa Islam bukan agama yang kaku, agama yang sulit, namun agama yang menyejukkan hati dan menjadi petunjuk agar menemukan jalan kebenaran dengan begitu manusia akan menemukan keselamatan.
Kesenian blantenan yang ditampilkan secara berkelompok mempunyai makna bahwa manusia sebenarnya tidak bisa hidup sendiri, manusia butuh orang lain untuk menyempurnakan hidup dan kehidupannya. Manusia butuh berinteraksi dengan orang lain, dan berinteraksi dengan orang lain diperlukan kerukunan, kekompakan, dan kerjasama yang baik agar tidak terjadi konflik. Kekompakan, kerjasama, dan kerukunan yang ditampilkan pada blantenan merupakan gambaran karakter yang harus dimiliki oleh manusia. Blantenan terlihat indah, dan kompak ditambah dengan alunan shalawat yang merdu menggambarkan semangat dalam menyiarkan agama Islam.
Blantenan menjadi sebuah wacana bahwa dalam menyiarkan agama Islam tidak perlu dengan paksaan namun melalui hiburan masyarakat bisa menerima agama Islam. Bathara Katong telah mewariskan tradisi yang memberi energy positif, energi semangat, dan energi spiritual kepada masyarakat Kaliwungu. Dengan energi tersebut, rasa memiliki Islam ada dalam hati masyarakat Kaliwungu, sebab Islam bukan milik individu sendiri tetapi milik semua orang yang merasa membutuhkan.
Tradisi Khaul
Bathara Katong/Sunan Katong/Sunan Ampel mewariskan tradisi bukan lisan yang dinamakan khaul, menurut Bapak Sunoto juru kunci makam Sunan Katong di Kaliwungu, khaul berarti tahun sehingga khaul dilaksanakan setiap setahun sekali untuk memperingati hari lahirnya seseorang yang dianggap berjasa pada masyarakat tertentu.
‘’Khaul itu artinya tahun, jadi khaul dilaksanakan setahun sekali setiap hari lahirnya atau sekarang ini dinamakan ulang tahun seseorang yang berjasa pada masyarakat.’’ (Bapak Sunoto, juru kunci makam Sunan Katong, wawancara pada tanggal 2 Februari 2015)
Tujuan Bathara Katong menyebarkan agama Islam di Kaliwungu yang pada saat itu masyarakat Kaliwungu masih beragama Hindu/Budha menjadi dugaan bahwa khaul merupakan cara yang tepat untuk menyiarkan agama Islam lewat khaul. Bathara Katong mencampurkan syiar Islam dengan nuansa Jawa dalam bentuk khaul, dengan cara ini syiar Islam Bathara Katong diterima dengan baik oleh masyarakat Kaliwungu.
Khaul pada waktu itu adalah dalam bentuk ziarah ke makam leluhur dan pemberian wejangan atau nasihat dari Bathara Katong kepada masyarakat Kaliwungu setiap malam Jum’at. Atas perintah Bathara Katong masyarakat Kaliwungu berkumpul bersama di makam leluhur dan mendengarkan wejangan dari Bathara Katong, ini artinya bahwa Bathara Katong merupakan seorang yang dihormati dan disegani oleh masyarakat Kaliwungu, kalau tidak dianggap orang yang patut dihormati maka masyarakat Kaliwungu pada saat itu tidak akan mau berkumpul di makam leluhur atas perintah Bathara Katong. Bathara Katong tidak hanya memberikan wejangan dalam khaul namun juga terdapat slametan dalam pelaksanaannya dan slametan dalam khaul tersebut diwujudkan dalam bentuk makan bersama.
Fungsi Khaul yang Diajarkan Bathara Katong
Bathara Katong menggunakan khaul sebagai cara untuk menyiarkan agama Islam kepada masyarakat Kaliwungu, khaul yang diajarkan Bathara Katong dilaksanakan dalam bentuk ziarah ke makam leluhur atau nenek moyang, ini artinya bahwa khaul merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur atau nenek moyang, dan penghormatan terhadap leluhur atau nenek moyang merupakan salah satu ciri-ciri pandangan dunia Jawa atau dapat dikatakan ciri khas orang Jawa. Syiar Islam dalam nuansa Jawa dalam bentuk khaul yang diajarkan Bathara Katong terdapat pada wejangan yang diberikan, dalam wejangan tersebut Bathara Katong memberikan pendidikan moral, pendidikan agama, pendidikan etika.
“Khaul yang diajarkan Bathara Katong pada waktu itu mungkin terlihat berbeda dengan khaul sekarang ini, padahal sebenarnya sama saja, hanya nuansanya saja yang berbeda. Khaul itu banyak sekali fungsinya jika dipahami. Selain untuk menyebarkan Islam, yaaa ada.. istilahnya apa ya, untuk pendidikan moral, agama, ya etika.” (Bapak Zaenuri, tokoh masyarakat Kaliwungu, wawancara pada tanggal 6 Februari 2015)
Makna Khaul yang Diajarkan Bathara Katong
Khaul yang dilakukan masyarakat Kaliwungu pada saat itu diadakan pada setiap malam Jum’at dan pasaran tertentu seperti kliwon seperti yang dijelaskan Bapak Sunoto, juru kunci makam Sunan Katong.
‘’Dulu Sunan Katong mengadakan khaul itu caranya mengumpulkan masyarakat setiap malam Jum’at dan setiap weton tertentu misalnya kliwon.’’ (Bapak Sunoto, juru kunci makam Sunan Katong, wawancara pada tanggal 2 Februari 2015)
Bathara Katong/Sunan Katong/Sunan Ampel memilih malam Jum’at atau malam Jum’at kliwon tentu bukan tanpa maksud, hari Jum’at dalam bahasa arab Jumu’ah artinya berkumpul. Minggu dalam bahasa arab Ahad artinya satu, Senin dalam bahasa arab Isnaini artinya dua, Selasa dalam bahasa arab Tsalasatun artinya tiga, Rabu dalam bahasa arab Arbaatun artinya empat, Kamis dalam bahasa arab Khamsatun artinya lima, Sabtu dalam bahasa arab Sabbatun artinya tujuh, sedangkan Jum’at dalam bahasa arab Jumu’ah artinya berkumpul, mengapa tidak Sittatun yang artinya enam? Dalam Islam, Jum’at adalah hari yang istimewa, hari Jum’at menjadi satu-satunya nama hari yang dijadikan nama salah satu surah dalam Al-qur’an yaitu surah Al-Jumu’ah surah ke 62.
Hari Jum’at juga dianggap istimewa bagi orang Jawa karena hari Jum’at merupakan sentral dalam pemberian wejangan seperti yang dituturkan Eyang Abiyasa, tokoh masyarakat Kendal.
‘’Jum’at artinya berkumpul, Jum’at dianggap hari yang istimewa bagi orang Jawa karena Jum’at merupakan sentral dalam pemberian wejangan sebab di hari itu adalah hari untuk berkumpul.’’ (Eyang Abiyasa, tokoh masyarakat Kendal, wawancara pada tanggal 4 Juni 2015)
Selain hari Jum’at, Sunan Katong mengumpulkan masyarakat Kaliwungu pada malam Jum’at Kliwon, kliwon merupakan hari yang bernuansa kasih bagi orang Jawa, sehingga Jum’at Kliwon dianggap hari yang bernuansa wahyu kinasih, bernuansa karomah atau keramat dalam bahasa jawa yang artinya dimuliakan. Bagi orang Jawa, Jum’at Kliwon adalah hari yang bernuansa karomah sehingga Jum’at Kliwon merupakan hari yang dimuliakan. Keramat bukanlah sesuatu yang negatif, karena keramat itu artinya karomah, kalaulah keramat dianggap mistis disebabkan karena nuansa kesungguhan dalam ritual atau mengikuti wejangan begitu kental dalam kesahajaan, bukan karena angker atau sesuatu yang sesat. Memang tak jarang terdengar bahwa banyak masyarakat Jawa mengeramatkan sebuah tempat atau benda, artinya bagi siapa pun dan dimana pun ketika berada dalam tempat yang dianggap keramat senantiasa menghargai juga ikut merasa memiliki agar tetap terjaga keberadaannya, karena biasanya tempattempat yang dianggap keramat oleh masyarakat memang punya nila-nilai luhur sejarah yang seharusnya dijaga dan dilestarikan.
Pelaksanaan khaul yang dilakukan masyarakat Kaliwungu yaitu berkumpul, pemberian wejangan, dan slametan yang diwujudkan dalam bentuk makan bersama menggambarkan bahwa kebersamaan dan kerukunan merupakan sesuatu yang penting dalam menjalani kehidupan, manusia sebagai makhluk sosial pasti membutuhkan orang lain. Wejangan Bathara Katong tentang tuntunan hidup yang senantiasa diikuti masyarakat Kaliwungu pada saat itu mempunyai makna bahwa secara kodratiahnya manusia akan mencari dari mana asalnya dan akan kemana sebenarnya, manusia butuh semacam siraman rohani atau dapat dikatakan pencerahan rohani karena secara otomatis manusia tidak dapat dipisahkan dari Sang Pencipta.
Sumber: Skripsi “Keberadaan Ajaran Bathara Katong di Kaliwungu Kendal” karya Fella Sufa N.U.