Ada sebuah pertanyaan
menggelitik tentang hukum dan bahaya melakukan plagiat atau copy paste karya
orang lain tanpa menyebutkan sumber atau pengarang aslinya. Hal ini menjadi sangat
penting, sebab di era kemajuan teknologi dan informatika, banyak orang yang
disengaja maupun tidak sengaja telah melakukan perbuatan plagiat atau copy
paste terhadap karya orang lain tanpa menyebutkan sumber aslinya dengan tujuan
ingin membanggakan dirinya sendiri. Berikut adalah dialog tentang hukum dan
bahaya melakukan plagiat atau copy paste tanpa mencantumkan sumber aslinya. :
Pertanyaan:
Apakah wajib hukumnya bagi orang yang
mengutip artikel, video, atau rekaman mp3 dari website orang lain dengan
menyebutkan sumbernya? Apakah penulis artikel, pembuat video, dan rekaman mp3
berkecil hati manakala dia melihat artikelnya tersebar di suatu situs tanpa
menyebutkan namanya?
Sebenarnya aku adalah orang yang sangat
bersemangat untuk berdakwah melalui tulisan, meng-up
load video dan rekaman mp3 dakwah. Aku jumpai berkali-kali sebagian
orang mengambil jerih payahku tanpa menyebutkan namaku, bahkan mereka terkadang
menambahkan atau membuang sebagian isinya tanpa izin dariku. Boleh jadi mereka
melakukan hal tersebut karena motivasi dakwah dan menyebarluaskan kebaikan,
akan tetapi seharusnya bukan dengan cara semacam ini. Di antara hal yang
menunjukkan bahwa sebenarnya niat mereka itu baik adalah mereka tidak
menyebutkan nama mereka pada hasil karyaku yang mereka kutip. Jika mereka
mengganti namaku dengan namanya tentu saja ini tergolong tindakan yang lebih
tragis lagi.
Jawaban:
Kami berharap agar Anda jangan terlalu
bersedih hati. Selama Anda ingin berbagi ilmu dan Anda saksikan bahwa hasil
jerih payah Anda tersebar di berbagai situs dan forum internet, maka hal ini
seharusnya mendorong Anda untuk gembira dan bahagia bukan malah bersedih. Imam
Syafii mengatakan suatu perkataan yang sangat baik, yang berkaitan dengan
keadaan Anda, beliau mengatakan,
وددتُ أن الخلْق تعلموا منِّي هذا العلمِ
على أن لا ينسب إليَّ حرف منه
“Aku berharap agar banyak orang mendapatkan
ilmu agama melalui diriku dan mereka tidak menisbatkannya kepadaku meski hanya
satu huruf saja.” (Imam Syafi’i)
Banyak ilmu yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i
karena beliau secara langsung mengajarkan ilmu kepada banyak orang. Sebagian
orang tidak mau mengambil ilmu dari orang yang tidak mereka ketahui, maka Imam
Syafii menuliskan namanya di kitab-kitab karya beliau (namun bukan untuk
berbangga diri). Jika seseorang itu menyebarkan hasil jerih payahnya tanpa
menyebutkan nama sebenarnya, maka dia bisa mewujudkan angan-angan Imam Syafi’i.
Merupakan hak Anda ketika orang lain mengutip
berbagai pendapat dan hasil jerih payah Anda untuk mencantumkan nama Anda.
Orang lain tidak boleh menyebarluaskan hasil jerih payah Anda tanpa menyebutkan
sumber. Anda memiliki hak untuk menegur orang yang tidak melakukan kewajibanya
tersebut.
Ada usulan bagus bagi Anda, cobalah membuat
situs pribadi yang berisikan semua jerih payah intelektual Anda sehingga orang
lain bisa dengan mudah mengutip dan menyebutkan sumbernya. Karena banyak orang
tidak mengetahui bahwa yang mereka kutip adalah jerih payah Anda. Oleh karena
itu, mereka tidak menisbatkannya kepada Anda.
Orang yang menisbatkan hasil karya orang lain
pada dirinya tanpa menyebutkan sumber adalah orang yang terjerumus dalam banyak
bahaya. Hendaknya dia menyadari hal ini dan tidak terus menerus melakukan hal
tersebut yang menyebabkan dia tidak mendapatkan pahala karenanya. Di antara
sisi buruk yang terjadi karena perbuatan ini adalah:
1.) Tidak
Ikhlas Dalam Beramal
Seorang muslim diperintahkan untuk ikhlas
dalam semua amal ketaatan dan amal ibadah yang dia lakukan. Sebagaimana bunyi
firman Allah swt. :
وَمَآ أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ
مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَآءَ
“Tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar
mereka menyembah Allah dalam kondisi memurnikan ibadahnya hanya untuk-Nya dan
menjadi orang yang cenderung kepada tauhid” (QS. Al-Bayyinah : 5)
Perbuatan mengambil hasil jerih payah orang
lain untuk disebarluaskan atas nama dirinya adalah tindakan yang bertolak
belakang dengan ikhlas. Karena dengan tindakannya itu berarti dia adalah orang
yang menginginkan popularitas dan namanya ingin disebut-sebut oleh banyak orang
serta ingin berbangga-bangga dengan sesuatu yang bukan jerih payahnya sendiri.
Andai dia adalah seorang yang menginginkan ridha Allah swt. dan pahala
akhirat, niscaya dia menyadari bahwa Allah swt. tidak akan menerima amal yang diklaim sebagai jerih
payah sendiri padahal sebenarnya bukan. Jika dia menyadari hal ini, tentu saja
dia akan segera menghentikan perbuatannya dan menisbatkan hasil jerih payah
seseorang kepada pemiliknya. Jika dia mau melakukan hal ini maka dia akan
mendapatkan pahala mengajarkan dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain
secara utuh tanpa dikurangi sedikit pun. Ingatlah bahwa Allah swt. tidak akan
menerima amalan kecuali yang baik.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
Dari Abu
Hurairah ra., beliau berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Wahai
manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan Dia tidaklah menerima kecuali
yang baik.” (HR. Muslim)
2.) & 3.) Dusta dan
Membangga-Banggakan Diri Dengan Suatu Hal Yang Tidak Benar
عَنْ أَسْمَاءَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُوْرٍ
Dari Asma,
Rasulullah saw.
bersabda, “Orang yang membangga-banggakan
diri dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya itu bagaikan seorang yang
menutupi seluruh badannya dengan dua kain kepalsuan.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyampaikan bahwa Nabi saw. menggunakan ungkapan ‘dua kain’
sebagai isyarat bahwa orang tersebut melakukan dua kebohongan, membohongi diri
sendiri dan membohongi orang lain. Demikian pula saksi palsu. Dia melakukan dua
kezaliman, zalim kepada diri sendiri dan zalim kepada orang yang dirugikan
gara-gara persaksian palsunya.” (kitab Fathul Bari
jilid 9 hal. 318).
Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi
mengatakan, “Di antara hal yang sangat jelas bahwa termasuk hal penting
dalam sebuah karya tulis adalah menisbatkan penjelasan bermanfaat tentang suatu
hal, suatu permasalahan, dan keterangan menarik kepada orang yang mengatakannya
agar kita tidak termasuk melakukan pemalsuan dan menjaga diri agar tidak
tergolong orang yang memakai dua kain kepalsuan. Oleh karena itu, semua
permasalahan yang ada dalam kitab ini disandarkan kepada orang yang mengucapkan
tanpa mengadakan perubahan sama sekali. Inilah prinsip kami dalam semua
keterangan yang kami kumpulkan.” (kitab Qawaid at-Tahdits
min Funun Mushtholah Hadis, hal. 40).
4.) Tergolong Tindakan Pencurian
Isham al-Hadi mengatakan, “Tatkala banyak
komentar tentang kelakuan sebagian orang yang menukil suatu perkataan tanpa
menyebutkan siapa yang mengucapkannya, aku tanyakan hal ini kepada guruku, al-Albani,
apakah tindakan tersebut tergolong pencurian ataukah bukan?”
Jawaban beliau, “Betul, itu tergolong
pencurian dan tentu saja tidak diperbolehkan oleh syariat. Karena, itu termasuk
berbangga dengan sesuatu yang tidak dimiliki, tadlis alias manipulasi dan membuat sangkaan
bahwa perkataan tersebut atau simpulan pembahasan tersebut adalah buah
karyanya.”
Lantas aku katakan, “Sebagian orang
beralasan dengan perbuatan ulama terdahulu yang menukil ucapan orang lain tanpa
menyebutkan siapa yang mengatakan.”
Jawaban al-Albani, “Apakah ulama dahulu
membanggakan diri dengan kutipan tersebut? Tidak pantas bagi seorang penuntut
ilmu untuk membanggakan kutipan perkataan orang lain. Wahai para ustadz,
ketahuilah bahwa mengutip perkataan orang lain itu ada dua macam.
Pertama, nukilan yang semua orang tahu bahwa
nukilan tersebut bukanlah ucapannya semisal ucapanku atau selain diriku, “Fulan
lemah atau tsiqah.” Semua
orang yang membacanya tahu bahwa nukilan tersebut bukanlah murni ucapanku. Hal
semacam ini tidaklah mengapa kita mengutipnya tanpa menyebutkan siapa yang
mengatakannya.
Kedua, perkataan yang merupakan hasil telaah
dan kajian yang mendalam tidak boleh dikutip tanpa menyebutkan siapa yang
mengatakannya, siapa pun yang melakukannya (tidak boleh.).” (kitab Al-Albani Kama ‘Araftuhu, karya
Isham Musa Hadi hal. 74-75).
5.) & 6.) Dicabutnya Keberkahan Ilmu dan Tidak Syukur Atas Nikmat Ilmu
Ketika menjelaskan hadits “Agama adalah
nasihat (menghendaki kebaikan untuk pihak lain)”, Imam An-Nawawi
mengatakan, “Di antara bentuk menghendaki kebaikan untuk orang lain adalah
menisbatkan keterangan yang menarik kepada yang mengatakannya. Siapa saja yang
melakukan hal itu maka ilmu dan keadaannya akan diberkahi. Sedangkan orang yang
membuat image
bahwa ucapan orang lain yang dia kutip seakan-akan adalah kata-katanya
itu sangat layak ilmunya tidak bisa diambil manfaatnya dan keadaannya tidak
mendapatkan limpahan berkah. Adalah di antara tradisi keilmuan para ulama
adalah menisbatkan keterangan ilmiah yang menarik kepada orang yang pertama
kali mengucapkannya.” (kitab Bustanul
‘Arifin, hal. 4).
Imam As-Suyuthi mengatakan, “Di antara
tanda keberkahan ilmu dan wujud syukur atas nikmat ilmu adalah menisbatkan ilmu
kepada yang mengucapkannya”.
Imam Abu Abdillah Ash-Shuri mengatakan, Abdul
Ghani bin Said bercerita kepadaku, “Ketika buku karyaku sampai ke tangan
Abdullah Al-Hakim dia mengucapkan terima kasih atas pemberian buku tersebut dan
dia bercerita bahwa dia mendiktekan buku tersebut kepada banyak orang. Di
antara isi surat terima kasihnya kepadaku adalah pengakuan bahwa dia
mendapatkan banyak tambahan ilmu dengan sebab buku tersebut dan setiap tambahan
ilmu yang dia dapatkan dia selalu sampaikan bahwa dia mendapatkannya dariku.”
Imam Al-Abbas bin Muhammad ad-Duri mengatakan
bahwa beliau mendengar Imam Abu Ubaid mengatakan, “Di antara wujud syukur
karena mendapatkan tambahan ilmu adalah mengatakan dulu aku tidak mengetahui
hal ini dan itu. Aku tidak punya ilmu tentangnya sampai akhirnya fulan memberi
penjelasan demikian dan demikian kepadaku.” Inilah bentuk syukur atas
nikmat ilmu. Aku katakan (yaitu Imam As-Suyuthi) “Oleh karena itu, tidaklah
aku mengutip ucapan orang dalam buku-buku karyaku kecuali kesebutkan ulama yang
pertama kali mengucapkannya plus buku yang menyebutkannya.” (kitab Al-Muzhir fi Ulum Al-Lughah,
2:273).
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha menyebutkan
adanya kejahatan dan dosa yang banyak yang dilakukan oleh orang yang mencuri
hasil jerih payah orang lain, lalu diklaim sebagai jerih payahnya sendiri.
Menurut beliau, tindakan ini adalah pencurian yang lebih jelek dari pada
pencurian harta.
Beliau mengatakan, “Kami sudah berulang
kali memberikan kritikan kepada berbagai koran yang mengutip ucapan orang lain
tanpa menisbatkannya kepada yang mengucapkannya. Boleh jadi sebagian orang
melakukan hal ini dengan sengaja. Jika demikian, ini merupakan pencurian yang
lebih jelek dari pada pencurian harta. Mencuri harta berarti melakukan satu
dosa. Sedangkan mencuri ucapan seseorang itu memuat beberapa dosa:
Pertama, melanggar hak orang lain lalu
menisbatkan hak tersebut sebagai haknya. Inilah sebab mengapa perbuatan ini
disebut pencurian.
Kedua, khianat dalam dunia ilmu. Padahal
seorang itu tidak akan sukses dalam ilmu melainkan dengan amanah dan amanah
dalam hal ini adalah penisbatkan setiap ucapan dan pendapat kepada yang
mengatakannya.
Ketiga, merupakan kedustaan dan ini adalah
suatu hal yang jelas.
Keempat, membanggakan diri dengan sesuatu
yang sebenarnya tidak ada pada dirinya. Dalam hadis yang sahih dikatakan bahwa
orang yang membanggakan diri dengan sesuatu yang tidak nyata itu bagaikan orang
yang menutupi seluruh badannya dengan dua kain kepalsuan.
Kelima, yaitu menipu. Sebagian orang jika
mengetahui bahwa perkataan ini adalah perkataan milik si A maka dia akan
menerima dan mengikutinya karena taklid itu dibangun di atas kepercayaan kepada
person tertentu. Ketika kata-kata tersebut tidak dinisbatkan kepada orang yang
benar, maka sebagian orang tidak mau menerimanya. Andai dia mengetahui orang
yang sebenarnya mengucapkannya maka dia akan menerimanya karena dia sangat
percaya dengan pengucap yang asli dan tidak percaya dengan pengucap yang palsu.
Orang yang percaya berat dengan pengucap yang palsu akan menerima kata-kata
tersebut dengan anggapan bahwa itu adalah kata-katanya padahal sebenarnya
bukan.
Keenam, kejahatan terhadap sejarah.
Sejarahlah yang menjelaskan tingkatan dan kedudukan manusia dalam masalah ilmu.
Tidak diragukan, bahwa para pakar hadis menilai orang semacam ini sebagai
pemalsu dan pembuat kebohongan yang riwayatnya tidak diterima dan demikianlah
sikap yang seharusnya diberikan kepada mereka.” (Majalah Al-Manar).
Setelah melihat betapa jahatnya dan betapa
buruknya orang yang mengaku-ngaku hasil jerih payah orang lain sebagai jerih
payahnya sendiri, maka hendaknya para penulis di dunia maya atau pun selainnya
hendaknya menghentikannya yang mempermainkan hasil jerih payah orang lain,
jujur dalam berkarya, dan berupaya untuk selalu amanah. Mudah-mudahan, Allah
akan berikan kepada mereka pahala menebarkan kebaikan yang sempurna pada hari
Kiamat nanti jika mereka amanah dalam menulis.
Wallahu
A’lam
Sumber: pengusahamuslim.com