“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfal: 2-4)
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya yang terakhir, maka bertambah yakinlah mereka dalam beriman, bertambah mantaplah mereka dalam ketenteraman dan bertambah semangat dalam beramal. Karena dengan semakin mantapnya buktibukti itu, yang satu mendukung yang lain dan hujjah yang satu memperkuat hujjah yang lain, maka menyebabkan semakin tambahnya keyakinan.
Sebagai contoh di sini ialah Nabi Ibrahim as., beliau sebenarnya telah beriman bahwa Allah kelak bakal membangkitkan kembali orang-orang mati, ketika beliau berdoa kepada Tuhan supaya berkenan memperlihatkan kepadanya bagaimana Dia menghidupkan kembali makhluk-makhluk yang telah mati itu. Maka bertanyalah Allah dalam firman-Nya:
“‘Belum percayakah engkau?’ Dia (Ibrahim) menjawab, ‘Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap)’.” (Al-Baqarah/2: 260)
Jadi, derajat kemantapan hati dalam iman bisa bertambah kuat dan sempurna melebihi keimanan secara umum yang lebih rendah. Dalam hal ini ada suatu riwayat dari Ali Al-Murtada, bahwa beliau mengatakan, “Andaikata hijab disingkapkan dariku, tentu aku semakin bertambah yakin.”
Pengetahuan secara rinci dalam soal iman adalah lebih kuat pengaruhnya daripada pengetahuan secara umum. Jadi, orang yang beriman bahwa Allah mempunyai ilmu meliputi segala pengetahuan dan mempunyai kebijaksanan (hikmah) yang dengan itu menjadi teraturlah bumi dan langit dan rahmat yang meratai seluruh makhluk-Nya, tetapi pengetahuan orang tersebut mengenai hal itu hanyalah secara umum saja. Andaikan Anda bertanya padanya supaya menerangkan kepada Anda bukti-bukti yang ada pada alam ciptaan Tuhan ini ternyata dia tidak mampu. Iman orang seperti itu, tentu tak bisa dibandingkan dengan iman orang yang mempunyai pengetahuan secara rinci tentang sunah-sunah Allah pada alam semesta ini yang terdapat pada setiap jenis makhluk-Nya. Apalagi pada zaman seperti sekarang ini ketika pengetahuan manusia sudah begitu luas tentang sunahsunah Allah tersebut. Mereka mengerti tentang sunah-sunah Allah yang tak pernah terbetik sedikit pun dalam hati seorang ulama pada abad-abad lalu.
Yang semakna dengan bagian ayat ini, firman Allah Ta‘ala ketika menyifati orang-orang yang tetap memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya, meski telah mengalami luka pada Perang Uhud:
“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan rasul) yang ketika ada orangorang mengatakan kepadanya, ‘Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,’ ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, ‘Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” (QS. Ali Imran/3: 173)
Dan firman-Nya:
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin, untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada).” (qs. Al-FatH/48: 4)
Bahwa orang-orang yang benar-benar beriman itu bertawakal kepada Tuhan semata-mata, tanpa menyerahkan urusan mereka kepada selain Allah. Siapa saja yang yakin bahwa Allah-lah yang mengatur segala urusannya dan segala urusan alam semesta ini dia tak mungkin menyerahkan urusan-urusan itu sedikit pun kepada selain Allah.
Kalau syara’ dan akal telah memberi keputusan bahwa manusia dibolehkan melakukan usaha sebagai ikhtiar yang merupakan kebenaran dari Allah supaya dia laksanakan dan bahwa Allah akan memberi balasan atas amalnya, amal baik dibalas baik dan amal buruk dibalas buruk, maka wajib manusia berusaha mengatur urusan dirinya sesuai dengan aturan yang telah diatur Allah mengenai undang-undang sebab akibat dan kaitannya dengan sebab-musababnya. Dan hendaklah diketahui, bahwa kaitan ini tak lain adalah aturan yang telah dibuat Allah Ta‘ala juga dan bahwa apa pun hasilnya setelah menggunakan sebab-sebab tersebut, maka semua itu adalah anugerah dari Allah yang telah menundukkannya dan menjadikannya sebagai sebab keberhasilan dan mengajari manusia akan hal itu. Dan bahwa apa-apa yang tidak diketahui sebabnya, maka harus dicari. Jadi, orang yang beriman wajib bertawakal kepada Allah semata dan hanya kepada-Nya dia berharap akan keberhasilan dari apa yang dia mohon kepada-Nya.
Kalau sebab-sebab itu ditinggalkan dan sunah-sunah Allah pada makhluk-Nya tidak diperhatikan, maka hal itu merupakan kebodohan terhadap Allah, ketololan dalam memahami agama dan kejahilan akan sunah-sunah Allah yang tidak mengalami perubahan dan pergantian.
(Yaitu) orang-orang yang menunaikan salat dengan sempurna, baik mengenai gerak-gerik dan rukun-rukun lahiriahnya yaitu berdiri, rukuk, sujud, bacaan-bacaan dan zikir-zikir, atau mengenai makna dan ruhnya yang batiniah, seperti khusyuk dan tunduk dalam bermunajat kepada Allah Yang Maha Rahman, memikirkan dan meresapi makna yang terkandung dalam bacaan Al-Qur'an yang dengan demikian maka akan diperoleh buah salat, yaitu terhindarnya diri dari melakukan kekejian dan kemungkaran.
Dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka untuk hal-hal yang baik, berupa zakat wajib atau nafkah-nafkah wajib dan sunah lainnya, kepada kaum kerabat dan orang-orang sengsara. Juga kepada kemaslahatan-kemaslahatan umat dan kepentingan-kepentingan umum, yang dengan itu maka derajat bangsa makin jaya di tengah bangsa-bangsa lainnya, karena terletak pada nafkah-nafkah seperti itulah kemajuan dan kemakmuran bangsa.
Orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut di atas itu sajalah, orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar iman, sedang yang lain tidak. Dan keimanan seperti itu merupakan hasil dari sikap membenarkan disertai kepatuhan yang berpengaruh terhadap sikap-sikap hati atau tingkah laku anggota tubuh dan juga berbekas dalam soal pembelanjaan harta di jalan Allah.
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Al-Haris bin Malik Al-Anshari ra. bahwa dia pernah lewat di hadapan Rasulullah saw. Maka beliau bertanya kepadanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini, hai Haris?” Dia jawab, “Pagi ini saya menjadi orang mukmin yang sebenar-benarnya.” Nabi bersabda, “Coba lihat apa yang kamu katakan itu! Sesungguhnya segala sesuatu ada faktanya. Apa fakta dari keimananmu itu?” Jawab Al-Haris, “Nafsuku tidak menyukai dunia. Maka di waktu malam saya tiada tidur (salat), siang hari aku kehausan (berpuasa) dan seolah-olah aku melihat singgasana Tuhanku begitu jelas dan seolah aku melihat penghuni surga sedang berkunjung sesama mereka di sana dan seolah-olah aku melihat penghuni neraka menjerit-jerit di sana.” Maka sabda nabi sampai tiga kali, “Hai Haris, kau tahu. Maka teruskanlah!”
Dan ada pula riwayat dari Al-Hasan, bahwa seorang lelaki bertanya kepadanya, “Benarkah Anda mukmin?” Maka jawab Al-Hasan, “Iman itu ada dua macam. Kalau Anda menanyakan kepadaku tentang iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, surga, neraka, kebangkitan dan hisab, memang saya ini mukmin. Akan tetapi kalau yang Anda tanyakan tentang firman Allah Ta‘ala, , maka demi Allah saya sendiri tidak tahu apakah saya ini tergolong orang-orang mukmin seperti itu atau tidak.”
Wallahu A’lam
Sumber : Tafsir Al-Maraghi