Karakter Gus Dur banyak dipengaruhi oleh ibundanya, Nyai Hj. Sholihah Munawwaroh. Perempuan tangguh yang ditinggal wafat suaminya, KH. Abdul Wahid Hasyim ketika dirinya mengandung putra keenam, Hasyim Wahid, ini mempengaruhi Gus Dur dalam keteguhan memegang prinsip dan kepedulian kepada mereka yang terpinggirkan.
Nyai Hj. Sholihah binti KH. Bisri Syansuri ini sedang mengandung anak keenamnya saat sang suami, KH. Abdul Wahid Hasyim, ulama dan negarawan muda paling dikenal dalam sejarah Indonesia, berpulang akibat kecelakaan di Bandung, 1953.
Nyai Hj. Sholihah, yang belum genap berusia 30 tahun menjanda dengan tanggungan 6 buah hati: Abdurrahman Ad-Dakhil, Aisyah, Shalahuddin, Lily Khadijah, Umar dan Hasyim Wahid. Tak tega melihatnya sendirian di Jakarta, KH. Bisri Syansuri meminta putrinya itu kembali tinggal ke Jombang. Nyai Hj. Sholihah menolak, dia bertekad membesarkan buah hatinya sendirian di ibukota. Di era 1950-an, di mana kondisi sosial-politik dan ekonomi tidak stabil, tentu pilihan ini sangat beresiko.
Instingnya sebagai seorang perempuan tangguh mulai terasah saat dia mulai berbisnis beras. Bahkan menjadi makelar mobil dan pemasok material ke kontraktor pun pernah dia jalani. Nyai Hj. Sholihah juga merintis panti asuhan, rumah bersalin, beberapa majlis ta’lim, dan kegiatan sosial lainnya. Karakter Gus Dur yang peduli kepada wong cilik, mendahulukan kepentingan orang lain, dan tempat bersandar mereka yang terpinggirkan dan terdzalimi, menurun secara genetik dari ibundanya.
Tak hanya itu, rumahnya dia jadikan sebagai salah satu basis politik NU. Keputusan penting seputar kiprah NU di perpolitikan digodog di sini oleh dua tokoh sentralnya: KH. Bisri Syansuri, ayahnya; dan KH. A. Wahab Chasbullah, pakdenya. Sikap NU terkait dengan Dekrit Presiden, Kabinet Gotong Royong, hingga keputusan cepat Muslimat dan NU beberapa waktu usai G-30-S/PKI digodog di sini.
|
Gus Dur bersama Ibundanya |
Dengan kerja keras dan tirakatnya, kelak para buah hatinya menjadi orang berhasil di bidangnya: Abdurrahman Ad-Dakhil alias Gus Dur menjadi Presiden Ke-4; Aisyah Hamid Baidlawi menjadi ketua Muslimat NU dan politisi Golkar dan Lili Khadijah menjadi politisi PKB, Sholahuddin Wahid menjadi Pengasuh Pesantren, Umar Wahid menjadi Direktur Rumah Sakit di Jakarta.
Bahkan, dalam beberapa keputusan penting di PBNU, ketika para kiai "gagal" melunakkan Gus Dur, mereka memilih jalan menghadap Nyai Hj. Sholihah agar bisa melunakkan putranya. Berhasil. Gus Dur taat pada ibundanya. Karakter Gus Dur yang dipahat ibundanya, juga sama dengan yang dialami oleh seorang yatim lainnya, BJ. Habibie. Keduanya ditinggal wafat sang ayah dalam usia belia, ditempa sang ibu, dan kemudian menjadi presiden RI.
Ketika Gus Dur di Universitas al-Azhar, Nyai Hj. Sholihah kerap menitipkan (melalui para sahabatnya) beberapa botol kecap dan puluhan sarung agar Gus Dur mau menjualnya. Maksudnya, biar menjadi tambahan uang saku. Apa daya, Gus Dur memang nggak berbakat sebagai pedagang. Kecap dan sarung memang ludes, bukan dibeli, tapi diminta para sahabat-sahabatnya.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!