Urutan surat dalam Al-Qur’an yang kita jumpai sekarang telah melewati proses penertiban yang tidak mudah. Dapat dimaklum bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama bagi umat Islam dalam pengambilan hukum-hukum, dan lebih dari itu, ia adalah pedoman hidup bagi manusia.
Terkait pembahasan tentang penertiban surat-surat ini, kita akan menemukan istilah tauqifi dan ijtihadi. Tauqifi berarti berdasarkan tuntunan dari Nabi langsung, adapun ijtihadi berarti berdasarkan ijtihad dan usaha para sahabat Nabi dalam menentukan urutan-urutan ini.
Ada tiga pendapat mengenai penertiban surah-surah dalam Al-Qur’an. Pertama, berpendapat bahwa urutan surah-surah dalam Al-Qur’an semuanya bersifat ijtihadi. Kedua, semuanya bersifat tauqifi. Ketiga, sebagian tauqifi, sebagian ijtihadi. Kita akan membahas satu persatu pendapat tadi, serta dalil dan sanggahannya.
Semuanya Ijtihadi
Pertama, urutan surah-surah dalam Al-Qur’an bersifat ijtihadi dari para sahabat Nabi. Pendapat ini dinisbatkan kepada jumhur ulama (mayoritas ulama), di antaranya Imam Malik dan Al-Qadhi Abu Bakar. Ibnu Faris mengatakan, terdapat dua proses dalam penghimpunan Al-Qur’an. Pertama, urutan surah Al-Qur’an, ini diserahkan kepada para sahabat. Kedua, penghimpunan ayat dalam surah Al-Qur’an, ini ditentukan oleh Nabi saw. langsung.
Ada dua alasan yang mendasari pendapat yang pertama ini. Pertama, mushaf yang dimiliki para sahabat berbeda-beda urutannya sebelum masa kekhalifahan Utsman bin Affan, meskipun mereka mengurutkan surah-surah di dalamnya berdasarkan apa yang mereka dapatkan dari Nabi.
Beberapa mushaf yang berbeda itu di antaranya milik Ubay bin Ka’ab, yang mana didahului dengan surah Al-Fatihah, kemudian Al-Baqarah, kemudian An-Nisa`, kemudian Ali Imran, kemudian Al-An’am. Mushaf Ibnu Mas’ud yang diawali dengan surah Al-Baqarah, kemudian An-Nisa`, kemudian Ali Imran, dan seterusnya. Mushaf Ali yang urutannya sesuai dengan surah yang turun pada Nabi saw., yaitu diawali dengan surah Al-Alaq (Iqra’), kemudian Al-Mudatstsir, kemudian Qâf, kemudian Al-Muzammil, kemudian Al-Lahhab, kemudian At-Takwir, dan seterusnya.
Dalil kedua, yaitu riwayat dari Ibnu Asytah dari jalur Ismail bin Abbas, dari Hibban bin Yahya, dari Abu Muhammad Al-Qurasyi:
“Khalifah Utsman memerintahkan para sahabat untuk mengikuti surah Sab’u at-Thiwal (tujuh surah yang panjang), kemudian Khalifah Utsman menjadikan surah Al-Anfal dan At-Taubah pada urutan ketujuh dengan tanpa memisahkan keduanya dengan basmalah”.
Kemudian al-Qurasyi berkata:
“Aku mengatakan kepada Khalifah Utsman, apa yang membawamu untuk menyatukan surah Al-Anfal yang mana ia tergolong surah al-Matsani dengan surah Al-Bara`ah (At-Taubah), sedangkan ia dari golongan surah al-Mi`un, kemudian engkau meletakan keduanya dalam Sab’u at-Thiwal.”
Kemudian Khalifah Utsman menjawab: “Pernah turun beberapa surah Al-Qur’an kepada Rasulullah, dan apabila turun ayat kepada Rasulullah, beliau memanggil sebagian sahabat yang menulis Al-Qur’an dan mengatakan, “Letakanlah ayat-ayat ini dalam surah yang disebutkan di dalamnya ayat ini dan itu.”
“Dan surah Al-Anfal termasuk dari surah-surah awal yang turun di Madinah, adapun At-Taubah termasuk yang terakhir turunnya. Kisah yang terdapat dalam surah Al-Anfal mirip dengan yang ada di At-Taubah, maka aku mengira surah Al-Anfal bagian dari At-Taubah. Hingga Rasulullah wafat, dan belum menerangkan kepada kami hal tadi, karena itulah aku gabungkan keduanya, dan tidak aku tuliskan basmalah di antara keduanya, serta aku letakan keduanya dalam Sab’u at-Thiwal.”
Terdapat beberapa sanggahan terhadap pendapat ini. Di antaranya adalah, bahwa perbedaan yang terdapat dalam mushaf para sahabat, itu terjadi sebelum mereka mengetahui bahwa surah-surah dalam Al-Qur’an urutannya secara tauqifi.
Semuanya Tauqifi
Kedua, urutan surah-surah dalam Al-Qur’an semuanya tauqifi dari Rasulullah saw. sebagaimana urutan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalil yang dipegang oleh ulama yang berpendapat demikian, yaitu para sahabat bersepakat atas mushaf pada masa Utsman, di mana ketika itu semua mushaf yang berbeda sudah dilenyapkan agar tak terjadi fitnah di kalangan Muslim.
Selain itu, mereka juga memiliki riwayat yang menguatkan pendapat mereka. Di antaranya:
Rasulullah bersabda kepada kami: “Telah turun kepadaku hizb (bagian) Al-Qur’an, sehingga aku tidak ingin keluar sampai selesai”. (Aus bin Hudzaifah) berkata: “Kami bertanya kepada para sahabat Rasulullah, ‘Bagaimana kalian membagi pengelompokan Al-Qur’an?’. Mereka menjawab: ‘Kami membaginya menjadi tiga surah, lima surah, tujuh surah, sembilan surah, sebelas surah, tiga belas surah, dan hizb Al-Mufashshal yaitu dari surah Qaf sampai akhir’.” (HR. Ahmad)
Riwayat ini menunjukan bahwa penertiban surah-surah dalam Al-Qur’an telah ada pada zaman Rasulullah. Namun, pendapat ini pun memiliki beberapa sanggahan. Di antaranya, bahwa riwayat yang mereka gunakan terkait urutan surah tidak terjadi pada semua surah, namun hanya sebagiannya saja. Maka tak dapat disimpulkan juga bahwa urutan surah-surah dalam Al-Qur’an semuanya tauqifi.
Sebagian Ijtihadi Sebagian Tauqifi
Ketiga, urutan surah-surah dalam Al-Qur’an sebagian tauqifi, sebagian ijtihadi. Sebagaimana yang dituturkan Al-Qadhi Abu Muhammad bin Athiyyah, “Sesungguhnya kebanyakan surah-surah dalam Al-Qur’an sudah diketahui urutannya pada masa Nabi, seperti surah Sab’u at-Thiwal, dan al-Mufashshal. Adapun selainnya, urutannya kemungkinan diserahkan kepada generasi selanjutnya.”
Pengarang kitab Manahil al-‘Irfan, Az-Zarqani berpendapat bahwa pendapat ketiga ini lebih utama, karena ia melihat kedua pendapat awal, yakni dalil yang mereka gunakan berindikasi sebagiannya ijtihadi, sebagiannya tauqifi. Hanya saja di sini terjadi perbedaan pendapat mengenai mana saja surah-surah yang tauqifi, dan mana saja yang ijtihadi.
Wallahu A’lam.
Sumber: Situs PBNU