Ahmad dan Al-Baihaqi dalam kitab Syu‘bul Iman mengeluarkan sebuah riwayat dari Sauban ra. Ia berkata, “Apabila Rasulullah saw. hendak melakukan suatu perjalanan maka pertemuan terakhir yang beliau lakukan dengan keluarganya adalah dengan Fatimah. Dan orang yang pertama beliau temui di antara mereka (sepulangnya dari perjalanan) adalah juga Fatimah ra. Suatu saat beliau datang dari suatu peperangan. Maka datanglah beliau kepada Fatimah, yang ternyata ada secarik kain dari bulu tebal pada pintunya. Dan beliau juga melihat Hasan dan Husain memakai dua gelang dari perak. Maka beliau pun berbalik dan tidak lagi menemui Fatimah. Maka tatkala Fatimah melihat peristiwa tersebut, maka ia menyangka bahwa Nabi tidak mau masuk rumah karena sesuatu yang beliau lihat. Maka kain kelambu itu dicopotnya dan juga dua gelang itu dilepaskannya dari kedua anak tersebut. Lalu dipotong sehingga anak itu pun menangis. Maka benda itu pun dibagi dua untuk mereka berdua. Sesudah itu kedua anak tersebut pun pergi kepada Rasulullah saw. sambil menangis. Namun Rasulullah saw. mengambil gelang-gelang tersebut dari mereka berdua, seraya bersabda, “Hai Sauban bawalah benda ini kepada Bani Fulan (suatu keluarga di Madinah) dan belikanlah Fatimah kalung dari permata putih dan dua gelang dari gading gajah. Karena mereka adalah keluargaku, sedang aku tidak suka mereka memakan makanan yang enak dalam kehidupan mereka di dunia.”
Memang, para As-Salafus Salih (pemuka-pemuka agama terdahulu) juga lebih menyukai kesederhanaan dan zuhud di dunia, karena mengharapkan pahala yang lebih sempurna di akhirat. Bukan karena menikmati keindahan di dunia ini termasuk terlarang. Akan tetapi menjaga diri dari berenak-enak adalah lebih utama. Karena nafsu itu, apabila telah terbiasa berenak-enak dan hafal dengannya, maka susahlah baginya untuk meninggalkannya atau untuk merasa cukup dengan yang lebih rendah daripada itu. Maka alangkah bagusnya kata-kata Syaikh Al-Busiri:
“Nafsu itu seperti bayi. Bila kamu biarkan (ia menyusu) sampai remaja, maka ia akan tetap suka menyusu, jika kamu menyapihnya, tentu ia berhenti menyusu.”
Dan alangkah baiknya orang yang menyesuaikan diri dengan pedoman ini, dan memelihara undang-undangnya, yaitu hendak-lah orang memakan apa adanya, makanan yang baik atau makan tanpa lauk, dan jangan memaksa diri untuk memperoleh yang baik-baik saja dan menjadikan hal ini sebagai suatu kebiasaan. Karena Nabi saw. pun sudah merasa kenyang dengan apa adanya, dan bersabar apabila tidak mendapatkan makanan. Beliau me-makan jajan apabila mampu memperolehnya, dan meminum madu apabila kebetulan mendapatkannya, juga memakan daging apabila mudah memperolehnya, namun sama sekali tidak sengaja untuk mencarinya dan tidak menjadikan hal itu sebagai suatu kebiasaan.
Wallahu A’lam
Sumber : Tafsir Al-Maraghi
ADS HERE !!!