KH.
Ahmad Badawi adalah putra seorang saudagar kaya sekaligus seorang kyai di kota
Kaliwungu Kendal yang bernama KH. Abdurrasyid. Pada masa itu, KH. Abdurrasyid
merupakan pedagang yang paling sukses, bahkan barang-barang dagangannya biasa
diekspor ke negara-negara Timur Tengah. Sehingga tidaklah mengherankan jika
sebagian putra-putranya dipondokkan di Kota Mekah. Diantara putra-putranya yang
dipondokkan di kota Mekah adalah KH. Ahmad Badawi, KH. Utsman, dan lain-lain.
KH.
Ahmad Badawi menuntut ilmu di kota Mekah selama puluhan tahun. Di samping
mempelajari ilmu-ilmu syari’ah, beliau juga menghafal Al-Qur’an dan Qira’ah
Sab’ah. Diantara guru-guru beliau di kota Mekah adalah Syekh Ahmad Ibadi
al-Misri dan Syekh Abdullah bin Ibrahim al-Misri.
Setelah
puluhan tahun menuntut ilmu di kota Mekah, akhirnya beliau kembali ke tanah
kelahirannya yaitu Kaliwungu. Namun, setiba dari kota Mekah beliau tidak lantas
mengajar dan mendirikan pondok, tetapi beliau terlebih dahulu tabarrukan di Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta asuhan KH. Muhammad Munawwir. Setelah beberapa tahun di Ponpes
Krapyak, baru beliau kembali ke Kaliwungu dan mengajarkan Al-Qur’an kepada para
santri serta mendirikan Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an “Miftahul Falah”.
|
Komplek Makam KH. Ahmad Badawi (Bercungkup) |
Di
samping mengajar para santri, beliau juga bekerja sebagai kusir “andong”
atau “delman”. Namun, walaupun beliau bekerja sebagai kusir tetapi
beliau tetap disiplin dan istiqomah mengajar santri-santrinya. Sehingga banyak
santri-santri beliau yang menjadi ulama besar. Diantara santri beliau yang menjadi
ulama atau tokoh masyarakat adalah :
1.) KH. Asror Ridwan,
Kaliwungu, Kendal (Pendiri PPTQ Al-Asror dan Majelis Ta’limul Qur’an Kauman
Kaliwungu)
2.) KH. Abu Bakar Shofwan,
Gedongan, Cirebon (Pendiri Pesantren Tahfidz Gedongan Cirebon)
3.) KH. Yusuf Junaedi,
Ciomas, Bogor (Pendiri Pesantren Ilmu Al-Qur’an Bogor)
4.) KH. Ahsin Sakho
Muhammad, Jakarta (Pentashih Mushaf Depag RI.)
5.) KH. Mahfudz Sarbini,
Kaliwungu, Kendal (Imam Masjid Al-Muttaqien Kaliwungu)
Dan masih banyak lagi
santri-santri beliau yang menjadi ulama besar maupun tokoh masyarakat di
daerahnya masing-masing.
Karomah Mbah Badawi
Dahulu,
sebelum Masjid Besar al-Muttaqien Kaliwungu mengalami pemugaran sebagaimana
yang nampak seperti sekarang ini, di depan Masjid al-Muttaqien tersebut
terdapat suatu pasar, pasar sore namanya. Pasar sore ini bukan sekadar seperti
nama sekarang ini, tetapi memang betul-betul merupakan pasar dengan segala
atributnya. Dinamakan pasar sore, keramaiannya pasar sore tersebut dimulai pada
sore hari. Meski sekarang wujud pasarnya tidak ada dan sekarang berubah menjadi
tempat parkir milik Masjid Besar al-Muttaqien Kaliwungu,akan tetapi namanya
masih sangat dikenal oleh semua orang.
Menurut
berbagai sumber, di pasar sore tersebut dulu banyak sekali berkeliaran para
wanita kupu-kupu malam atau wanita penghibur (WTS). Mereka mulai beroperasi
tentunya pada saat malam hari. Memang banyak pihak yang sangat menyayangkan
terhadap kondisi yang demikian. Hal ini sangat dapat di maklumi karena sebagai
tempat yang dekat dengan tempat ibadah semestinya tempat itu harus bersih dari
hal-hal yang demikian.
Sebenarnya saat itu sudah ada sekelompok pemuda yang
sering mengusir dan menghalau para WTS tersebut dengan sekenanya. Namun mereka
ternyata harus berhadapan dengan aparat pemerintah, karena langkah tersebut
dinilai bertentangan hukum yang berlaku di Indonesia dan dianggap melakukan
pelecehan terhadap hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu, para pemuda itu
akhirnya tidak dapat berbuat seenaknya terhadap kupu-kupu malam tersebut.
Pada
dasarnya, semua yang masih berotak waras memang menghendaki agar para penghibur
hidung belang itu hengkang dari pasar sore tersebut. Namun, mereka tidak
mempunyai kiat-kiat khusus untuk mengusir mereka. Adalah KH. Ahmad Badawi salah
seorang ulama Kaliwungu yang cukup punya kepedulian tentang permasalahan
tersebut. Beliau dengan inisiatif dan cara beliau sendiri, setiap malam sekitar
pukul 20.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB selalu mengunjungi lokasi tersebut,
pasar sore.
Biasanya
para WTS duduk dibeberapa becak yang mangkal disitu. Beliau tahu kalau yang
duduk-duduk di becak-becak tersebut adalah para penghibur hidung belang. Oleh
sebab itu setiap beliau mengunjungi tempat tersebut yang beliau dekati adalah
tukang becaknya. Kemudian setiap WTS di dekati beliau serta di pegang
punggungnya.
Secara syar’i dan dhohirnya jelas cara yang demikian menyalahi
hukum Islam. Sehingga pada saat itu beberapa tokoh masyarakat yang sebagian
adalah keponakan beliau sendiri kurang berkenan dan tidak setuju dengan cara
beliau ini, seperti KH. Humaidullah Irfan, KH. Asror Ridwan, KH. Ibadullah
Irfan dan beberapa tokoh yang lain. Akan tetapi KH. Ahmad Badawi tidak
memperdulikannya.
Oleh
sebab itu, pernah dari keponakan beliau yang bernama Mas’ud bin H.Umar sowan
(datang) dan matur pada beliau yang intinya, “ Paman, orang-orang dan juga
para kyai diantaranya KH. Humaidullah Irfan, KH. Asror Ridwan, KH. Ibadullah
Irfan dan kyai-kyai yang lain sangatlah malu bila melihat paman sedang ngobrol
dengan wanita malam (WTS). Para kyai bilang sama saya sangatlah malu jika
melihat tindakan Panjenengan yang demikian, kalau bisa jangan begitu. Saya pun
sebagai keponakan paman juga merasakan malu jika paman seperti itu”. Apa
jawab beliau, “ Hai Mas’ud, aku akan memberimu hadiah uang saya yang
tersimpan disabuk (ikat pinggang)ku dan akan aku hadiahkan kamu semua sebanyak
Rp.1.500.000,- jika kamu berani mengikuti tindakan saya”.
Meski diulang
sampai tiga kali, Mas’ud sebagai keponakan tidak mampu menjawab sepatah kata
pun. Intinya Mas’ud tidak sanggup. Selanjutnya Mas’ud pun ditanya oleh beliau,
“ Apakah kamu tahu apa yang aku lakukan?” Mas’ud menjawab, “saya
tidak tahu maksud dan tujuan paman”, “ kalau kamu tidak tahu, ya
sudah diam saja, dan kalau kamu ingin tahu jawabannya, nanti kalau aku sudah
tidak ada (wafat)” pesan beliau.
Setelah
beliau wafat, memang benar, ternyata para pekeja wanita malam (WTS) sudah
bersih sama sekali hingga sekarang ini, perjudian dipasar pun sudah tidak ada.
Ini dirasakan pada tahun 1977 M, setelah KH. Ahmad Badawi wafat. Para kyai dan
masyarakat Kaliwungu pun baru mengakui usaha dan jasa KH. Ahmad Badawi bin KH.
Abdurrasyid. Dan Alhamdulillah kota Kaliwungu sekarang sudah bersih dari
wanita pekerja malam.
Ini
semua, antara lain berkat usaha dari beliau KH. Ahmad Badawi yang begitu gigih,
berani dan sanggup menghadapi semua ejekan dan cemoohan dari berbagai pihak.
Dan para kyai dan masyarakat pada saat itu luar biasa dalam merendahkan dan
memojokkan beliau. Mungkin ilmu yang diterapkan belum banyak dimengerti oleh
kyai-kyai lain dan masyarakat pada umumnya.
Oleh sebab itu, setelah kewafatan
beliau, hampir semua orang mengakui bahwa beliau adalah wali dan bukan orang
sembarangan. Dan sekarang kita semua mengambil buah dari jerih payah perjuangan
beliau. Sehingga sekarang nampak lebih indah dan tentram dibanding dengan
masa-masa sebelumnya. Setelah beliau wafat pada tahun 1977 M., KH. Muslih
Mranggen Demak pernah cerita di depan para santrinya bahwa KH. Ahmad Badawi bin
KH. Abdurrasyid itu bukan orang biasa, beliau adalah ulama bashar dan
seorang waliyullah.
Wallahu A’lam