Dalam pandangan Kiai Ulin Nuha Arwani, ada tiga kriteria yang dapat dilakukan dalam menjaga Al-Qur’an. Yakni membaca, mengamalkan dan berakhlak sebagaimana perilaku yang ada dalam kitab suci umat Islam tersebut.
Hal itu disampaikannya pada acara Haflah Khotmil Qur’an ke-42 Pondok Pesantren Al-Badriyyah Suburan, Mranggen Demak, Jawa Tengah asuhan KH. Muhibbin Muhsin al-hafidz dan Nyai Hj. Nadhiroh Ma’shum al-Hafidzah.
Kiai Ulin Nuha menjelaskan syukur itu ada dengan bil janan, syukur dalam hati. “Artinya hati kita berkeyakinan dengan sesungguhnya, bahwa yang kita terima itu merupakan murni fadhal, anugerah, bukan karena kepintaran dan kecerdasan kita,” katanya di hadapan hadirin.
Juga ada syukur bil arkan, yakni mensyukuri nikmat dengan anggota tubuh, baik lahir maupun batin. “Semuanya kita gunakan untuk beribadah kepada Allah SWT.” jelasnya.
Tangan digunakan untuk saling tolong menolong kepada siapa saja yang membutuhkan. Mulut digunakan untuk memperbanyak baca shalawat, mata digunakan untuk membaca Al-Qur'an, telinga untuk mendengarkannya, tangan untuk membawanya dan menghormatinya, serta tadabbur atau memikirkan ayat-ayat yang dibaca. Hati digunakan untuk menyerap beragam ilmu yang dipelajari dari kandungan isinya.
“Sehingga semua anggota tubuh, kita gunakan untuk beribadah” jelasnya
Dan ada syukur bil banca’an. “Maksudnya, uang kita gunakan untuk sedekah, menolong kawan atau siapa saja yang membutuhkan harta kita,” katanya.
|
KH.M. Ulinnuha Arwani |
Pada keterangan selanjutnya, Al-Qur'an yang telah dipelajari, usahakan selalu dibaca sesuai ajaran yang telah diterima dari guru beserta adabnya. “Maksud dari Shahibul Qur'an dalam sebuah kitab tafsir, yaitu orang yang mulazim litilawatih, yakni orang yang selalu membacanya, mutakhalliq bi akhlaqih, mempunyai adab sebagaimana yang diajarkan Al-Qur'an, wal amilu bih, mengamalkan pesan Al-Qur'an,” urainya.
Oleh karena itu, Kiai Ulin Nuha berpesan usahakan untuk memenuhi tiga kriteria tersebut, yakni membaca, mengamalkan dan berakhlak sebagaimana akhlaq Al-Qur'an.
Dirinya menambahkan maksud membaca Al-Qur'an dengan haqqa tilawatih, yakni kombinasi membaca antara mulut, akal dan hati. “Koridor penggunaan lisan adalah dengan memakai tajwid yang benar. Lalu meresapinya dengan akal (tadabbur). Serta memahaminya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari supaya selamat dari murka Allah SWT.” ungkapnya.
Terakhir, dirinya mewanti-wanti kepada para santri setelah khatam jangan sampai dibiarkan begitu saja. Mushafnya hanya digantungkan dalam lemari, tidak pernah dibaca kembali, maka Al-Qur'an akan datang pada hari kiamat dengan keadaan menggantung pada orang tersebut seraya berkata: "Ya Tuhan, sesungguhnya hamba-Mu ini telah mencampakkanku. Maka berilah keputusan antara aku dan dia”.
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!