Mengenal Sahabat Ja’far
Sahabat Ja’far bin Abi Thalib ra. adalah saudara kandung Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. beliau putra ketiga setelah Thalib putra pertama, Aqil putra kedua dan Sayyidina Ali ra. putra terakhir. Beliau mirip sekali dengan Rasulullah saw. baik fisik maupun kepribadiannya. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Rasulullah saw., sebagaimana hadits Sayyidina Ali ra., yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (2278), Hakim (4939) dan Bazzar (891) berikut ini: Nabi Muhammad saw. bersabda, “Kamu wahai Ja’far, adalah orang yang menyerupai (mirip) aku, bentuk fisik dan akhlak, karena kamu bagian keluarga besarku, yang aku dilahirkan darinya.” Ja’far menjawab, “Aku rela, ya Rasulullah.”
Karomah Sahabat Ja’far
Karomahnya adalah bisa terbang, sehingga sekalipun kedua tangannya terputus ketika perang Mu’tah, beliau masih bisa mengejar memegang kendali bendera, sehingga bendera itu didekapnya dengan kedua lengannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Turmudzi berikut ini: Bab menerangkan riwayat hidup Ja’far bin Abi Thalib saudara Ali ra., dia saudara kandungnya, dia (Ja’far) lebih tua sepuluh tahun darinya, dan mati syahid dalam perang Mu’tah, ia telah melewati umur empat puluh (40), ia mendapat julukan Dzul Janahain (orang yang punya dua sayap), karena Allah telah menggantikan dua tangannya yang terpotong dengan dua sayap, dalam perang Mu’tah, ketika itu dia mengambil bendera (dari Zaid bin Haritsah) dengan tangan kanannya, tangannya tertebas, kemudian mengambilnya dengan tangan kiri, tangan kirinya pun tertebas, kemudian diambilnya, dan didekapnya dengan lengan atas kanannya, sampai akhirnya ia terbunuh.
Hadits ini menunjukkan bahwa, sahabat Ja’far bin Abi Thalib ra. memahami betul manfaat besar sebuah bendera. Oleh karena itu, beliau mempertahankannya sampai titik darah penghabisan, walau kedua tangannya yang sudah terputus pun, beliau masih berusaha menyambarnya dengan lengannya, tentu hal ini tidak dapat dilakukan oleh orang biasa, kalau beliau tidak mempunyai karomah bisa terbang melayang. Dengan terbang, bendera itu diraihnya, sehingga akhirnya beliau gugur sebagai syahid.
Hal ini sebagaimana keterangan para ulama yang menyatakan bahwa termasuk karomah sahabat Ja’far bin Abi Thalib ra. adalah mampu terbang, seperti berikut ini:
Penjelasan Syaikh Syamsuddin Abul Aun Muhammad bin Ahmad bin Salim As-Safarariny (1188 H.) dalam kitabnya Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’ul Asrar Al-Atsariy-yah dan Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad As-Salman dalam kitabnya Mukhtashar Al-Asilah Wal Ajwibah Al-Ushuliyah: Dari karomah para sahabat; … dan terbang di ketinggian awan, seperti dalam kisah (sahabat) Ja’far bin Abi Thalib sang pemilik dua sayap.
Penjelasan Syaikh Abdul Malik bin Husein bin Abdul Malik Al-Makky Al-Ishamy (1639-1699M./1049-1111 H.) dalam kitabnya Simthun Nujum Al-Awaly Fi Anba’i Al-Awa’il sebagai berikut: Imam Turmudzi juga Imam Thabrani meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, berupa hadits marfu’; Semalam aku masuk surga, aku melihat Ja’far bin Abi Thalib terbang bersama malaikat. Dalam hadits riwayat lain darinya; Bahwasannya Ja’far terbang bersama Malaikat Jibril dan Mikail, dia mempunyai dua sayap, Allah mengganti kedua tangannya. Sanad hadits ini bagus. Allah telah mengganti kedua tangannya yang terpotong ketika perang Mu’tah, dimana dia mengambil alih bendera dengan tangan kanannya, kemudian tangan kanannya terputus, kembali mengambil bendera itu dengan tangan kiri, tangan kirinya terputus, lalu mengambilnya dan meletakkannya di kedua lengan tangan atasnya, sampai dia terbunuh (sebagai syahid).
Beliau kemudian terkenal dengan sebutan Dzul Janahain (orang yang mempunyai dua sayap). Oleh karena itulah, Abdullah bin Umar ra. jika bertemu dengan Abdullah bin Ja’far bin Thalib ra. menyebutnya dengan hai anak pemilik dua sayap. Hal ini dapat dipahami berikut ini: Bahwasannya Abdullah bin Umar jika memberikan salam kepada Abdullah bin Ja’far, beliau berkata, “Assalamu alaika wahai anak orang yang mempunyai dua sayap (dzul janahain).”
Bukti lain beliau bisa terbang adalah banyaknya luka-luka di tubuhnya. Lebih dari tujuh puluh luka, bahkan ada yang meriwayatkan sembilan puluh luka, baik luka karena sabetan pedang, tombak atau anak panah, dan semua luka itu terdapat pada arah depan badannya, bukan belakang.
Orang biasa akan meninggal dengan sabetan pedang, panah atau tombak beberapa kali saja, tetapi beliau gugur sebagai syahid setelah semua alat perang menghujamnya; dari pedang, tombak dan panah, sebagaimana bisa dipahami dari riwayat para ulama berikut ini:
Imam Izzuddin, Abul hasan, Ali bin Muhammad bin Abdul Karim Al-Jazari yang masyhur dengan sebutan Ibnul Atsir dalam kitabnya Asadul Ghabah: Ketika ia dibunuh, ditemukan pada tubuhnya lebih dari tujuh puluh luka, baik karena sabetan pedang, tertembus tombak. Luka-luka itu semua terdapat pada tubuh bagian depan. Diriwayatkan kalau luka itu lebih lima puluh, tapi riwayat yang pertama adalah yang benar.
As-Syaikh Muhammad bin Abdul Mun’im Al-Himyary dalam kitabnya Ar-Raudhu Al-Muatthar Fi Khabaril Aqthar, pukulan yang dideritanya mencapai dua ratus kali dan tujuh puluh dua luka: Ditemukan pada bagian depan jasadnya dua ratus pukulan, baik tebasan pedang, hunusan tombak dan tujuh puluh dua luka.
Wallahu A’lam
Sumber: Buku “Kesahihan Dalil Keramat Wali” karya KH.M. Hanif Muslich, Lc.