Sumur Zamzam Sepeninggal Nabi Ismail
Salah satu kabilah dari Yaman yang dikenal dengan nama Jurhum datang dan tinggal di Mekah. Mereka senang tinggal di Mekah karena terdapat air zamzam yang jernih dan segar yang sepanjang hidup mereka belum pernah menemukan air seperti ini. Sumur zamzam telah menjadi sumber penghidupan bagi mereka.
Namun, keadaan itu membuat mereka lupa, bahkan berlaku zalim terhadap orang yang mengunjunginya. Mereka berani memakan harta yang mereka hadiahkan untuk Baitullah dan merampas harta benda orang lain yang hidup di sekitarnya. Padahal, pada waktu itu tidak diperkenankan melakukan segala bentuk kezaliman di dalamnya.
Seiring dengan perilaku dan sikap Kabilah Jurhum yang semakin brutal, sedikit demi sedikit sumber air sumur zamzam semakin mengecil (surut). Sampai sumber air zamzam tertutup sama sekali. Ini merupakan suatu balasan atas kebrutalan mereka.
Semua perilaku Kabilah Jurhum menyebabkan petaka bagi orang-orang di sekitarnya. Sehingga suatu ketika terjadi peperangan antara Kabilah Jurhum dan Bani Khuza’ah yang berakhir dengan terusirnya Kabilah Jurhum dari Baitullah (Mekah). Seiring dengan berjalannya waktu, sumur zamzam semakin tertutup dan tak terlihat.
Penggalian Zamzam oleh Abdul Muthalib
Zamzam mulai digali pada masa Abdul Muthalib, kakek Rasululullah SAW. Penggalian tersebut terjadi sebelum kelahiran Nabi (Tahun Gajah) dan berdasarkan mimpi beliau. Suatu ketika beliau tidur. Tiba-tiba ada perintah yang mengatakan, “Galilah thibah!” Beliau pun bertanya, “Apa itu thibah?” Setelah berulang kali ada suara yang memerintahkan, “Galilah zamzam!” Dia bertanya lagi, “Apa itu zamzam?” Suara itu kembali terdengar, “Tidak akan berhenti selamanya dan tidak akan terputus untuk memberi penghidupan jamaah haji yang mulia.”
Ketika tempat yang ditentukan sudah jelas, beliau memulai mencoba untuk menggalinya. Tempat zamzam yang ditunjukkan ternyata sangat kering, seolah-olah tidak mungkin ada sumber air sebelumnya. Penggalian zamzam terus dilakukan walaupun banyak dari para penggali yang meninggal dunia.
Melihat keadaan kaumnya yang sangat kesulitan dalam usaha penggalian mata air zamzam, maka muncullah dalam hati Abdul Muthalib untuk bernadzar, “Seandainya penggalian sumur zamzam dapat sempurna dan mata air kembali keluar, jika aku dikaruniai sepuluh orang anak laki-laki, maka aku akan menyembelih salah satu di antara mereka.”
Ternyata, Allah Ta’ala mengabulkan nadzarnya. Dari enam wanita yang dinikahi oleh Abdul Muthalib terlahirlah sepuluh anak laki-laki, yaitu Al-Haris, Abdullah, Abu Thalib, Az-Zubair, Al-Abbas, Dharar, Abu Lahab, Al-Ghaidaq, Hamzah, dan Al-Muqawwam.
Kehadiran sepuluh putranya menjadikan inspirasi baru bagi Abdul Muthalib untuk memulai penggalian sumur zamzam yang sempat terhenti. Dengan izin Allah Ta’ala, penggalian sumur zamzam berhasil. Kemudian untuk memenuhi nadzarnya, Abdul Muthalib mengundi di antara sepuluh putranya. Setelah berkali-kali dilakukan, ternyata undian tetap jatuh pada Abdullah, putra kesayangannya. Abdul Muthalib mengundang Bani Makhzum dan para pemimpin Kabilah Quraisy.
Ibnu Hisyam menjelaskan dalam bukunya “Sirah Nabi”, “Ketika Abdul Muthalib membawa Abdullah untuk disembelih, Al-Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Mahzum mengatakan:
“Demi Allah, jangan sekali-kali engkau menyembelihnya untuk selamanya sampai engkau dapat menghindarinya. Apabila kita bisa menggantinya dengan harta, maka lebih baik kita menggantinya.”
Orang Quraisy tetap tidak setuju dengan cara mengorbankan salah satu putra beliau. Mereka khawatir kelak hal ini akan menjadi kebiasaan orang Arab dan orang Mekah.
Setelah sekian lama berdebat, akhirnya Abdul Muthalib berdoa kepada Allah. Dan akhirnya diputuskan bahwa ia menyembelih seratus ekor unta sebagai ganti nadzarnya. Pelanggaran nadzar ini disebut dengan diyat (denda). Dan itulah denda pertama kali kemudian ditetapkan dalam syariat Islam sebagai denda dalam pelanggaran tertentu di Tanah Haram.
Dinukil dari Kitab Fadlu Ma’i Zamzam karya Said Bagdas
Sumber: Situs PBNU