Semua umat Islam pasti memiliki keinginan untuk berkunjung ke rumah Allah (baitullah) Ka’bah di Mekah untuk menunaikan rukun Islam kelima, haji. Berkunjung ke makam Rasulullah saw. di Madinah. Dan napak tilas situs-situs bersejarah Islam lainnya. Semua umat Islam memiliki harapan bisa datang ke sana. Tidak terkecuali Sunan Kalijaga atau Raden Sahid. Sunan Kalijaga merupakan salah seorang anggota Wali Songo. Sekumpulan alim-ulama yang berhasil mengislamkan masyarakat Nusantara, utamanya Jawa.
Dikisahkan, suatu ketika Sunan Kalijaga berada di Malaka (Aceh). Ia memiliki kehendak untuk menjalankan ibadah haji. Namun siapa sangka, seorang ulama senior pada saat itu, Syaikh Maulana Maghribi, meminta Sunan Kalijaga untuk kembali ke Jawa. Tidak memperkenankannya untuk melanjutkan perjalanannya ke Mekah.
Larangan Syaikh Maulana Maghribi terhadap Sunan Kalijaga tersebut bukan tanpa dasar. Syaikh Maulana Maghribi beralasan, jika Sunan Kalijaga tetap pergi haji maka masyarakat Jawa akan keluar dari Islam atau kembali kafir karena pada saat itu kerajaan Demak masih dalam masa transisi. Runtuhnya kerajaan Majapahit menyebabkan kekacauan dan kerusuhan dimana-mana.
Lebih dari itu, Syaikh Maulana Maghribi juga berkata kepada Sunan Kalijaga kalau Mekah (rumah Allah) yang asli itu ada di dalam diri sendiri. Sementara, baitullah (Ka’bah) yang ada di Mekah itu hanyalah ‘batu peninggalan Nabi Ibrahim.’ Dengan demikian, ibadah haji buka hanya sekedar perjalanan fisik ke Mekah. Akan tetapi, ibadah haji adalah ibadah metafisik-spiritual.
Seseorang akan sampai di ‘Mekah sejati’ manakala mereka sanggup menjalani kematian dalam kehidupan (mati sajroning urip) dan bisa membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu. Demikian kisah dalam Suluk Wijil yang diceritakan buku “Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat”.
Versi lain dikisahkan bahwa yang melarang Sunan Kalijaga pergi haji adalah Nabi Khidir as. Ketika Sunan Kalijaga berada di tengah laut dalam sebuah perjalanan menuju ke Mekah, tiba-tiba Nabi Khidir as. menghentikannya. Segera saja Nabi Khidir as. memberikan nasihat kepada Sunan Kalijaga agar tidak usah melanjutkan perjalanannya ke Mekah jika tidak mengetahui apa yang akan dilaksanakannya selama tinggal di sana. Cerita ini terekam dalam Suluk Linglung.
Kisah Sunan Kalijaga di atas memberikan banyak pengajaran bagi kita. Salah satunya adalah lebih memprioritaskan problematika umat. Sunan Kalijaga dilarang berhaji karena pada saat itu iman masyarakat Jawa –yang menjadi medan dakwah Sunan Kalijaga- masih rapuh.
Sementara kalau kita tarik hari ini, persoalan umat tidak pada ranah iman lagi, tetapi kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan lainnya. Adalah sesuatu yang tidak benar jika ada seseorang yang sering menunaikan ibadah haji –dan umrah- di Mekah sementara umatnya, tetangganya, dan saudaranya masih dalam keadaan yang memprihatinkan.
Bukankah ada banyak cerita yang mengisahkan bahwa seseorang mendapat status haji mabrur meski tidak menjalankan ibadah haji di Mekah. Ada hadits Nabi yang juga menceritakan hal itu. Dikisahkan bahwa usai menunaikan haji para sahabat mendatangi Nabi Muhammad saw. Mereka bertanya perihal siapa yang hajinya mabrur. Nabi Muhammad saw. menjawab bahwa yang hajinya mabrur adalah si fulan.
Mendengar nama sahabat yang disebut Nabi Muhammad saw. tersebut, para sahabat jadi terheran-heran. Mengapa? Karena si fulan yang disebut Nabi tersebut tidak jadi menunaikan ibadah haji. Malah, si fulan menggunakan uang yang disiapkan untuk bekal haji itu untuk menolong tetangganya yang sedang sakit.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!