|
Air Hujan |
Tadi malam
sekitar pukul 24.00 WIB, saya terjaga dari tidur yang mungkin agak pulas.
Ternyata nikmat Allah datang dari langit di daerah saya. Hujan yang lumayan
lebat turun ketika sebagian besar orang terlelap dalam mimpinya. Inilah hujan
yang lumayan lebat pertama di daerah saya setelah sekian bulan belum diguyur
hujan.
Saya
teringat kembali ketika masih menggayuh ilmu di Yanbu’ul Qur’an. Pada suatu
malam sekitar pukul 21.00 WIB, terjadi hujan kali pertama yang mengguyur Kudus
kota setelah berbulan-bulan tidak hujan. Saya melihat Ibu Nyai (sebagai rasa
hormat, tidak saya sebut nama) keluar dari Ndalem dan hujan-hujanan di halaman
Ndalem beliau dengan ditemani salah satu santri putri sekaligus keponakan
beliau. Saya bertanya kepada salah satu teman yang ahli kitab (menguasai
kitab-kitab turats/kuning), Apa gerangan yang melatar belakangi Ibu Nyai
dengan hujan-hujanan pada hujan kali pertama ini? Teman saya menjawab, bahwa
hujan kali pertama yang terjadi ketika sekian lama tidak hujan adalah hujan barokah
dari Allah swt sebagaimana terlampir dalam kitab-kitab kuning dari mulai hadits
sampai maqolah ulama, bahkan air hujan tersebut, konon dapat
menyembuhkan berbagai penyakit. Sehingga ada kemungkinan, Ibu Nyai ingin tabarrukan
dengan barokah yang Allah turunkan sebagaimana Allah firmankan
dalam surat Qaf ayat 9: “Dan Kami
menurunkan air dari langit yang banyak barokahnya (manfaatnya) ”.
Allahu A’lam
|
Hujan di Masjidil Haram |
Saya juga
pernah membaca sebuah buku yang berjudul “Dialog Ulama Sunni dan Wahabi”.
Disitu dijelaskan bahwa suatu ketika ada seorang ulama Sunni yang juga salah
satu Mufti di kota Mekkah sedang mengajar (ta’liman) di hadapan santri
dan masyarakat di Masjidil Haram. Setelah selesai ta’liman, turunlah
hujan yang konon pertama kali terjadi setelah bertahun-tahun tidak hujan.
Seketika itu sebagian besar santri dan masyarakat berebut mengambil (red. b.
jawa: nadahi) air hujan yang mengenai bangunan Ka’bah.
Ada salah
seorang ulama besar Wahabi mendekati sang ulama Sunni itu yang baru selesai
mengajar dan bertanya: “Perbuatan orang-orang tersebut (sambil menunjuk ke bangunan
Ka’bah) menurut saya termasuk syirik, Bagaimana menurut Anda?” Dengan sikap
yang arif dan bijak, ulama Sunni balik bertanya, “Apa dalil Anda sehingga
menghukumi mereka syirik?” ulama Wahabi lalu menjawab, “Karena perbuatan
itu sama dengan menyekutukan Allah dengan benda (Ka’bah) dan air hujan”. ulama
Sunni menjelaskan dengan bahasa yang ringan, bijak dan penuh hikmah serta
menyertai dalil Al-Qur’an dan Haditsnya: “Air hujan yang Allah turunkan adalah
barokah dan Ka’bah adalah bangunan yang paling mulia di dunia juga penuh
barokah, maka sudah semestinya mereka (santri dan masyarakat) mengharap barokah
dari air hujan yang notabene sudah barokah ditambah mengenai tempat yang paling
mulia di dunia yaitu Ka’bah. Dengan wasilah air hujan tersebut mereka berusaha
ikhtiar mengharap rahmat dan keberkahan dari Allah swt”.
Setelah
dijelaskan panjang lebar oleh ulama Sunni, ulama Wahabi tersebut pun seolah-olah
kalah argumentasi dan dalil-dalilnya. Dan semenjak itu, ulama Wahabi tersebut
menyatakan ingin menjadi murid ulama Sunni yang arif dan bijak itu. Wallahu
A’lamu bi Muradihi
Renungan al-Faqier
ila Rahmati Rabbih
Saifurroyya
07-10-13, Kaliwungu
Kota Santri
ADS HERE !!!