Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Qira‘at
Tidak dapat
dipungkiri, kemunculan qira‘at yang beraneka madzhab ini disebabkan oleh
berbagai hal.
Pertama, perbedaan
qira‘at yang dibaca Nabi dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabat. Nabi
menggunakan beberapa versi qira‘at. Misalnya Nabi pernah membaca surah
As-Sajdah ayat 17 dengan cara berbeda. Yakni, pada kata qurrah, Nabi
membacanya dengan ta‘ biasa, sedangkan pada kesempatan lainnya dengan ta‘
marbuthah (huruf ta bulat dan bertitik dua).
Kedua, pengakuan
Nabi atas berbagai qira‘at yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu.
Ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam
Al-Qur’an. Contohnya ketika seorang sahabat dari suku Hudzail membaca di
hadapan Rasul “atta hin”, padahal beliau menghendaki bacaan “hatta
hin”. Keluasan Nabi dalam menerima hal ini difirmankan Allah SWT, “Kami
tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia
dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (QS Ibrahim: 4).
Ketiga, ada riwayat
dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira‘at yang ada atau
perbedaan riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut ayat-ayat tertentu.
Keempat, adanya
lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya
Al-Qur’an.
Kelima, perbedaan
syakal, harakah, atau huruf. Contohnya pada surah Al-Baqarah ayat 222. Kata “yath-hurna”
bisa dibaca “yathahharna”. Jika dibaca dengan qira`at pertama, berarti,
“dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka suci
(berhenti dari haidh tanpa mandi terlebih dahulu)”. Sedangkan jika dengan
qira`at kedua, berarti, “dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu)
sampai mereka bersuci (berhenti dari haidh dan telah mandi wajib terlebih
dahulu)”.
|
Kitab Faidh al-Barakat Karangan Mbah Arwani Kudus |
Qira‘at ini
ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya yang sampai kepada Rasulullah SAW.
Periode qurra‘ (ahli atau imam qira‘at) yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an
kepada orang-orang menurut mereka masing-masing berpedoman kepada masa para
sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira‘at ialah
Ubay, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari,
dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di
berbagai negeri belajar qira‘at. Dan mereka semua pun bersandar kepada
Rasulullah SAW.
Ilmu qira‘at
sendiri adalah ilmu yang lahir pada masa yang sebelumnya tidak pernah
disebut-sebut. Orang yang pertama menyusunnya adalah Abi Ubaid Al-Qasim bin
Salam, Abu Hatim As-Sijistani, Abi Ja’far Ath-Thabari, dan Ismail Al-Qadhi.
Adz-Dzahabi
dalam kitabnya, Thabaqat al-Qurra‘, menyebutkan bahwa sahabat yang
terkenal sebagai guru dan ahli qira‘at ada tujuh orang, yakni Utsman, Ubai, Ali,
Zaid bin Tsabit, Abu Darda‘, dan Abu Musa Al-Asy’ari. Segolongan besar sahabat
mempelajari qira‘at kepada Ubay.
Bermula dari Talaqqi
Talaqqi, guru
membaca dan murid mengikuti bacaan, dari orang-orang yang tsiqah
(terpercaya), merupakan kunci utama qira‘at Al-Qur’an secara benar dan tepat
sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya.
Para sahabat
berbeda-beda ketika menerima qira‘at dari Rasulullah. Hingga kemudian Utsman
mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan orang
yang sesuai qira‘atnya dengan mushhaf tersebut. Qira‘at orang-orang ini
berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka mengambil qira‘at dari sahabat
yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda dalam mengambil qira‘at
dari Rasulullah SAW.
Para sahabat
kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa qira‘at
masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika tabi’in mengambil
qira‘at dari para sahabat. Demikian halnya dengan tabiut tabi’in yang berbeda-beda
pula dalam mengambil qira‘at dari para tabi’in, hingga ke masa-masa
berikutnya, yang kemudian mengkristal dalam bentuk beberapa madzhab qira’at.
Ahli-ahli
qira‘at di kalangan tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Tabi’in ahli
qira‘at yang tinggal di Madinah antara lain Ibn Al-Musayyab, ‘Urwah, Salim,
Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan ’Atha‘ (keduanya putra Yasar), Muadz bin
Harits yang terkenal dengan Mu’ad Al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj,
Ibn Syihab Az-Zuhri, Muslim bin Jundab, Zaid bin Aslam.
Adapun yang
tinggal di Makkah di antaranya ‘Ubaid bin ’Umair, ‘Atha` bin Abi Rabah,
Thawus, Mujahid, ‘Ikrimah, Ibnu Abi Malikah.
Tabi’in yang
tinggal di Kufah antara lain ‘Alqamah, Al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin
Syurahbil, Al-Harits bin Qais, ’Amr bin Maimun, Abu Abdirrahman As-Sulami, Said
bin Jabir, An-Nakha’i, Asy-Sya’bi.
Sementara
tabi’in yang tinggal di Bashrah di antaranya Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nashr bin
‘Ashim, Yahya bin Ya’mar, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah.
Sedangkan
tabi’in yang tinggal di Syam di antaranya Al-Mughirah bin Abi Syihab
Al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’ad.
Keadaan ini
terus berlangsung hingga muncul para imam qira‘at yang termasyhur, yang
mengkhususkan diri dalam qira‘at-qira‘at tertentu dan mengajarkan qira‘at
mereka masing-masing.
Perkembangan
selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira‘at. Para ahli
sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira‘at
adalah Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, yang wafat pada tahun 224 H/839 M. Ia
menulis kitab yang diberi nama Al-Qira‘at, yang menghimpun qira‘at dari 25
orang perawi.
Pendapat
lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira‘at adalah
Husain bin Utsman bin Tsabit Al-Baghdadi Adh-Dharir, yang wafat pada tahun 378
H/988 M. Dengan demikian mulai saat itu qira‘at menjadi ilmu tersendiri dalam
‘ulum Al-Qur’an, ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Qira‘at Sab’ah, ‘Asyrah, dan Syadzah
Telah
termasyhur diketahui bahwa ketika Khalifah Utsman RA mengirimkan mashahif
(mushaf/kitab Al-Qur’an) ke pelosok negeri yang dikuasai Islam, beliau
menyertakan orang yang sesuai qira‘atnya dengan mashahif tersebut. Qira‘at
ini berbeda satu dengan lainnya karena mereka mengambilnya dari sahabat yang
berbeda pula.
Perbedaan
ini berlanjut pada tingkat tabi’in di setiap daerah penyebaran. Demikian
seterusnya sehingga sampai pada munculnya imam qurra’, yakni ulama-ulama yang
pakar di bidang Al-Qur’an yang membakukan bacaan yang mereka dapati sesuai
sanad ilmu yang mereka peroleh.
Demi
kemudahan mengenali qira‘at yang banyak itu, pengelompokan dan pembagian
jenisnya adalah cara yang sering digunakan. Maka, dari segi jumlah, ada tiga
macam qira‘at yang terkenal, yaitu qira‘at sab’ah, qira‘at ‘asyrah, dan qira‘at
arba’ ‘asyrah. Sedangkan Ibnu Al-Jazari membaginya dari segi kaidah hadits dan
kekuatan sanadnya. Pengarang kitab Al-Itqan, Imam As-Suyuthi, menyebutkan
kualifikasi qira‘at, seperti halnya kedudukan hadits, yakni mutawatir, masyhur,
syadz, ahad, maudhu’, dan mudarraj. Sedangkan Al-Qadhi Jalaluddin Al-Bulqini
menyatakan bahwa qira‘at itu terbagi menjadi mutawatir, ahad, dan syadz saja. Namun
demikian kedua pembagian ini saling terkait.
Pada
dasawarsa pertama abad ke-4 Hijriyyah, seorang ulama Baghdad, Abu Bakr Ahmad
Ibn Mujahid, menyusun sebuah kitab yang diberi nama As-Sab’ah.
Ibn Mujahid
mencoba melakukan rintisan dengan mengumpulkan tujuh jenis qira‘at yang
mempunyai sanad bersambung kepada sahabat Rasulullah terkemuka. Ketujuh tokoh
qira‘at ini adalah Abdullah bin Katsir Ad-Dariy dari Makkah (w. 120 H/738 M),
Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim dari Madinah (w. 169 H/786 M), Abdullah
Al-Yahsubi atau Abu ‘Amir Al-Dimasyqi dari Syam (w. 118 H/736 M), Zabban bin
Al-‘Ala bin ‘Ammar atau Abu Amr dari Bashrah (w. 154 H/771 M), Ibn Ishaq
Al-Hadhrami atau Ya’qub dari Bashrah (w. 205 H/820 M), Ibn Habib Az-Zayyat atau
Hamzah dari Kufah (w. 188 H/804 M), dan Ibn Abi An-Najud Al-Asady atau ‘Ashim
dari Kufah (w. 127 H/754 M).
Ketika itu
Ibn Mujahid menghimpun qira‘at-qira‘at mereka, ia mengganti posisi Ya’qub
dengan Al-Kisai dari Kufah (w. 182 H/798 M). Sehingga untuk Kufah, ia
menetapkan tiga nama, yaitu Hamzah, ‘Ashim, dan Al-Kisai.
Meskipun di
luar tujuh imam di atas masih banyak nama lainnya, ketermasyhuran tujuh imam
tersebut semakin luas setelah Ibn Mujahid secara khusus membukukan
qira‘at-qira‘at mereka.
Selain tujuh
qira‘at di atas yang ditetapkan Ibn Mujahid, masih ada tiga qira‘at lagi yang
qira‘atnya sesuai persyaratan yang ditetapkan. Karena itu kemudian dikenal
pula istilah qira‘at ‘asyrah (Sepuluh Qira‘at). Tiga tambahan itu adalah
qira‘at Ya’qub (yang semula digeser Ibn Mujahid dari qira‘at sab’ah untuk
diganti dengan Al-Kisai), qira‘at Khalaf bin Hisyam (w. 229 H/844 M), dan
qira‘at Yazid bin Al-Qa’qa’ yang termasyhur disebut Abu Ja’far (w. 130 H/748).
Di samping itu juga dikenal qira‘at arba’ ‘asyar (Empat Belas Qira‘at), yaitu
qira‘at yang sepuluh ditambah empat qira‘at lagi: Hasan Al-Bashry, Ibnu Mahish,
Yahya Al-Yazidy, dan Asy-Syambudzy.
Qira‘at Syadzah (Bacaan Yang Keliru)
Qira‘at di atas
digolongkan sebagai qira‘at yang shahih. Ada juga qira‘at syadzah, qira‘at
yang keliru. Qira‘at ini muncul pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin
‘Affan, ketika Al-Qur’an telah dikodifikasikan. Ada perintah untuk membakar
semua tulisan, selain yang dibentuk Utsman bin ‘Affan. Tidak hanya Al-Qur’an,
tapi juga hadits, syair, dan lain-lain.
Peristiwa
tersebut merupakan batas yang membedakan dan menentukan antara qira‘at shahih
dan qira‘at syadzah. Oleh sebab itu kesesuaian antara satu qira‘at dengan
rasm (mushhaf) Utsmani merupakan salah satu syarat shahihnya qira‘at.
Namun Dr.
Muhammad Salim Muhaisin, dalam kitabnya, Fi Rihabi Al-Qur’an,
berpendapat bahwa batas yang membedakan dan menentukan antara qira‘at shahih
dan qira‘at syadzah adalah pemeriksaan Jibril yang terakhir terhadap qira‘at
Al-Qur’an Nabi Muhammad SAW pada tahun wafatnya beliau. Dalam pemeriksaan
terakhir ini, sebagian qira‘at dinasakh, dan inilah yang dianggap kemudian
sebagai syadzah. Adapun, walau dari segi sanad qira‘at syadzah ada kemungkinan
bersambung kepada Rasulullah, tetap meragukan.
Pengarang
kitab Al-Itqan, Imam As-Suyuthi, menyebutkan kualifikasi qira‘at, seperti
halnya kedudukan hadits, yakni mutawatir, masyhur, syadz, ahad, maudhu’, dan
mudarraj. Sedangkan Al-Qadhi Jalaluddin Al-Bulqini menyatakan bahwa qira‘at itu
terbagi menjadi mutawatir, ahad, dan syadz saja.
Yang
mutawatir adalah qira‘at tujuh yang masyhur. Yang ahad adalah qira‘at tsalatsah
(tiga) yang menjadi pelengkap qira’ah ‘asyrah (sepuluh), yang kesemuanya
dipersamakan dengan qira‘at para sahabat. Adapun qira‘at yang syadz ialah qira‘at
para tabi’in seperti qira‘at A’masy, Yahya ibnu Watsab, Ibnu Jubair, dan
lain-lain.
Imam
As-Suyuthi mengatakan bahwa yang pantas untuk berbicara dalam bidang ini
adalah tokoh qurra’ pada masanya, Syaikh Abu Al-Khair bin Al-Jazari, beliau
mengatakan dalam muqaddimah kitabnya, An-Nasyr, “Semua qira`at yang sesuai
dengan bacaan Arab walau hanya satu segi dan sesuai dengan salah satu mushhaf
Utsmani walaupun sekadar mendekati, serta sanadnya benar, qira`at tersebut
adalah shahih (benar), yang tidak ditolak, haram menentangnya, bahkan itu
termasuk dalam bagian huruf yang tujuh ketika Al-Qur’an diturunkan.
Wajib bagi
semua orang untuk menerimanya, baik timbulnya dari imam yang tujuh maupun
dari yang sepuluh atau lainnya, yang bisa diterima. Apabila salah satu
persyaratan yang tiga tersebut tidak terpenuhi, qira‘at itu dikatakan qira‘at
yang syadz atau bathil, baik datangnya dari aliran yang tujuh maupun dari tokoh
yang lebih ternama lagi. Inilah pendapat yang benar menurut para muhaqqiq dari
kalangan salaf maupun khalaf.”
Banyak
sekali kitab qira‘at yang ditulis para ulama setelah kitab As-Sab’ah. Yang
paling terkenal di antaranya adalah At-Taysir fi al-Qira‘at as-Sab’i
yang disusun Abu Amr Ad-Dani, Matn asy-Syathibiyah fi Qira‘at as-Sab’i
karya Imam Asy-Syathibi, An-Nasyr fi Qira‘at al-‘Asyr karya Ibn
Al-Jazari, dan Ithaf Fudhala’ al-Basyar fi al-Qira‘at al-Arba’ah ‘Asyar
karya Imam Ad-Dimyathi Al-Banna‘,ada pula kitab sab'ah karya ulama lokal yang
mendunia yaitu Faidh al-Barakat fi as-Sab’i al-Qira’at karya KH.
Arwani Amin Kudus Jateng, kitab terakhir berisi intisari dari kitab asy-syatibiyah
sehingga mudah untuk dipahami. Masih banyak lagi kitab lain tentang qira‘at
yang membahas qira‘at dari berbagai segi secara luas hingga saat ini.
Dari hasil
kajian bibliografi yang dilakukan oleh Prof. Dr. Abdullah Muhammad Al-Jayusi
dalam sebuah konferensi qira’at Al-Qur’an dan i’jaz, Fakultas Syu’aib
Ad-Dakali, Maroko, ditemukan lebih dari 500 referensi, baik klasik maupun
kontemporer, dalam disiplin ilmu ini. Kitab Ibraz Al-Ma’ani, yang
ditulis Abd Ar-Rahman bin Ismail bin Ibrahim (termasyhur dengan sapaan “Abu
Syamah”), adalah satu dari karya dalam disiplin ilmu tersebut.
Oleh Saifurroyya
Dari Berbagai Sumber