Dahulu kala, di Wilayah Arab dilanda kekeringan yang teramat panjang. Untuk mengatasi masalah ini, Raja Hijaz mengumpulkan dan membawa para ulama Makkah dan Madinah, mereka meminta berdoa di depan Ka’bah agar segera diturunkan hujan.
Setelah semua sarjana dan para ulama berdoa, hujan tidak turun juga, malah menjadi lebih panas selama beberapa bulan. Membuat penduduk di negeri itu semakin susah.
Dalam kekalutanya, Raja Hijaz tiba-tiba teringat akan seorang sarjana yang tidak diundang untuk berdoa. Kemudian Sang Raja memerintahkan bawahannya untuk memanggil sarjana tersebut. Sang sarjana diberitahu, setelah bertemu, penampilan cendekiawan itu pendek, kecil dan kulitnya hitam.
Sarjana itu adalah Syaikh Nawawi bin Umar Tanara al-Bantani al-Jawi. Ia adalah seorang ahli bahasa Arab dan memiliki karya lebih dari 40 judul, semuanya berbahasa Arab. Kemudian, ulama asal dusun Tanara, Tirtayasa, Banten tersebut berangkat berdoa meminta hujan kepada Allah SWT di depan Ka’bah.
Anehnya, meski Syaikh Nawawi Banten mampu berbahasa Arab dengan fasih, di depan Ka’bah beliau berdoa meminta hujan dengan memakai bahasa Jawa.
Para ulama Makkah dan Madinah yang berdiri di belakangnya menyadongkan tangan sambil berkata “Aamiin”.
Syaikh Nawawi al-Bantani berdoa: “Ya Allah, sampun dangu mboten jawah, kawulo nyuwun jawah.” (Ya Allah, sudah lama tidak turun hujan, hamba minta hujan)
Seketika itu juga mendung datang dan kemudian hujan turun dengan lebat. Semua yang menyaksikan kejadian itu pun heran. Ada beberapa orang bertanya, bahasa apa yang telah digunakan Syaikh Nawawi al-Bantani berdoa, karena mereka tidak pernah mendengar bahasa itu sedangkan sebelumnya para ulama dan sarjana Negeri itu telah berdoa dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih namun tidak mujarab, sedangkan dengan bahasa Jawa malah justru ampuh.
Dalam hal ini bisa diambil pelajaran:
Yang menentukan mujarabnya doa adalah kualitas individu seseorang, bukan bahasa yang digunakan. Karena Allah Maha Mengetahui walau hanya sekedar bahasa daerah. Tak perlu susah payah mencari yang samar keberadaannya.
Mengenai doa dengan bahasa daerah, KH. Idris Marzuqi Lirboyo pernah menyampaikan:
“Kowe ki nek nompo dungo-dungo Jowo seko kiai sing mantep. Kae kiai-kiai ora ngarang dewe. Kiai-kiai kae nompo dungo-dungo Jowo seko wali-wali jaman mbiyen. Wali ora ngarang dewe kok. Wali nompo ijazah dungo Jowo seko Nabi Khidir. Nabi Khidir yen ketemu wali Jowo ngijazahi dungo nganggo boso Jowo. Ketemu wali Meduro nganggo boso Meduro.”
(Kamu jika mendapat doa-doa Jawa dari kiai yang mantap, jangan ragu. Kiai-kiai itu tidak mengarang sendiri. Mereka mendapat doa Jawa dari wali-wali jaman dahulu. Wali itu mendapat ijazah doa dari Nabi Khidir. Nabi Khidir jika bertemu wali Jawa memberi ijazah doa memakai bahasa Jawa. Jika bertemu wali Madura menggunakan bahasa Madura).
Wallahu A’lam
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!