Orang Islam, terlebih orang Jawa, pasti mengerti apa yang dinamakan 'berkat'. Berasal dari kata barokah atau berkah, bermakna bertambahnya nikmat kebaikan, yang diserap dalam Bahasa Jawa menjadi bermakna 'bingkisan nikmat berisi menu lezat'.
Menjadi istilah untuk menyebut makanan berisi lauk pauk dalam wadah sebagai bingkisan dalam acara tradisi keislaman. Biasanya berkat dibagikan dalam acara pengajian, maulidan, tahlilan, atau kenduri. Seluruh hadirin pulang mendapatkan berkat yang biasa dimakan bersama keluarganya di rumah masing-masing.
Seperti umumnya di Nusantara, di Semarang biasa diadakan tahlilan maupun selamatan di setiap rumah warga yang punya hajat. Suatu hari, Kiai Sholeh Darat diundang warga yang cukup jauh dari kampung Darat, Semarang. Warga kampung Darat dan sekitarnya sudah paham, bahwa Mbah Sholeh kalau berdoa itu cekak aos (pendek dan ringkas). Namun penduduk kampung yang mengundang Kiai Sholeh itu belum mengetahui kebiasaan sang kiai pengasuh pondok pesantren Darat ini.
Maka pada peristiwa itu, usai Mbah Sholeh membacakan doa penutup tahlilan, hadirin sudah menerima berkat dan sudah pada pamitan pulang, keluarga tuan rumah ada yang menyeletuk (komentar): "Iki berkat didongani mung sithik, lak podo karo pasir" (Ini berkat kok cuma didoakan sedikit, kok kayak pasir saja).
Ucapan bernada protes karena Mbah Sholeh hanya sebentar berdoa, dan pendek. Sedangkan kebiasaan kiai lain suka berlama-lama berdoa dan dengan bacaan panjang. Persis usai celetukan itu diucapkan, seketika seluruh isi berkat berubah menjadi pasir!. Nasi dan lauk pauk yang dibawa para warga, berubah menjadi pasir semuanya. Sehingga terasa berat di tangan mereka.
"Inna lillahi. Astaghfirulloh..," tuan rumah dan keluarganya segera 'nyebut' dan menyesali ucapan tersebut. Lalu segera mencium tangan Mbah Sholeh Darat seraya meminta maaf.
|
Nasi Berkat di depan Kiai Said Aqil dan Kiai Din Syamsuddin |
Kisah ini diceritakan seorang dzruriyyah (keturunan) Kiai Sholeh Darat, ustadz Muhammad Agus Taufik bin Zahroh binti Kholil bin Sholeh Darat. Dia mendapat cerita tersebut dari pakdenya, (alm) H. Ali bin Kholil bin Sholeh Darat. Pak Ali mendapat cerita tersebut dari penuturan para tetua masyarakat yang mengetahui peristiwa tersebut.
Tidak didapat keterangan, apakah setelah keluarga tuan rumah tersebut meminta maaf kepada Mbah Sholeh Darat atas kelancangannya itu, berkat kembali menjadi nasi atau tetap berupa pasir.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!