Mendaratnya tentara NICA (Belanda) membonceng Sekutu (Inggris-Gurkha) dan mendarat di Surabaya pada 10 November 1945 menjadi titik tolak perjuangan rakyat Indonesia, terutama santri dan para kiai. Seminggu setelah berkobarnya perang di Surabaya antara para santri dan rakyat Indonesia melawan Tentara Sekutu yang dipimpin Brigjen Mallaby, pertempuran merebak hingga ke Semarang, Ambarawa, dan Magelang.
Tentara Sekutu mendarat di Semarang pada 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigjen Bethel. Awalnya rakyat Indonesia ikut membantu pergerakan Tentara Sekutu yang kedatangannya ingin menyisir sisa-sisa tentara Nippon (Jepang) di Indonesia pasca Sekutu mengalahkan Jepang lewat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Tetapi seperti terjadi di daerah-daerah lain, serdadu NICA menyalakan obor fitnah dan mengadu domba sehingga terjadilah insiden antara rakyat Indonesia dengan tentara Sekutu. Insiden karena adu domba NICA ini menjalar ke sejumlah wilayah di Jawa Tengah, seperti Magelang. Bung Tomo, setelah secara perkasa membantu perjuangan santri di Surabaya, dia menuju ke Jawa Tengah karena situasi sama gentingnya seperti yang terjadi di Jawa Timur.
Namun demikian, kondisi ini juga mendapat perhatian serius dari para ulama Magelang. Diriwayatkan oleh KH. Saifuddin Zuhri (1919-1986), ulama se-Magelang mengadakan pertemuan di rumah Pimpinan Hizbullah di belakang Masjid Besar Kota Magelang pada 21 November 1945. Pertemuan ini dilaksanakan pada tsulutsail-lail atau saat memasuki duapertiga malam (sekitar pukul 03.00 dini hari).
Ulama yang dipanggil sedianya hanya 70 orang, namun yang hadir melebih ekspektasi yaitu 200 orang ulama dalam pertemuan riyadhoh ruhaniyah itu. Para ulama menilai, gerakan batin atau gerakan rohani ini untuk menyikapi situasi genting yang terjadi di dalam Kota Magelang dan sekitarnya, terutama sepanjang garis Magelang-Ambarawa-Semarang. Karena di Pendopo rumah Suroso tidak cukup, sebagian ditempatkan di markas Sabilillah yang jaraknya 100 meter.
Disaat ratusan ulama sudah terkumpul, mayoritas hadirin berharap-harap cemas ketika menanti kedatangan sejumlah ulama khos yang belum hadir, di antaranya KH. Dalhar (Pengasuh Pesantren Watucongol), KH. Siroj Payaman, KH.R. Tanoboyo, dan KH. Mandhur Temanggung. Mereka adalah ulama “empat besar” untuk Magelang dan sekitarnya yang akan memimpin riyadhoh ruhaniyah tersebut.
Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Letkol M. Sarbini dan Letkol A. Yani dan satu regu pengawal siap tempur itu, para ulama dan rakyat dipimpin ulama “empat besar” itu membaca aurod (wirid) yang sudah terkenal di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah antara lain, Dalail Khoirot, Hizib Nashar li Abil Hasan Asy-Syadzili, Hizib al-Barri, dan Hizib al-Bahri, keduanya Li Abil Hasan Asy-Syadzili yang termasyhur.
Namun, asisten (dulu biasa disebut kurir yang bertugas membawa informasi rahasia) yang mengawal M. Sarbini dan A. Yani melapor bahwa tentara Inggris sedang membuat gerakan mundur meninggalkan Magelang. KH. Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) mencatat bahwa seketika itu Gedung Seminari Katolik dikosongkan. Mereka mengangkut semua perlengkapan. Bukan hanya persenjataan, tetapi juga alat perbekalan dan perabotan rumah tangga.
Dalam proses evakuasi tentara Inggris tersebut, Sekutu menyertakan seluruh serdadu kulit putih, Gurkha, bekas tentara Nippon, dan serdadu NICA. Menurut laporan kurir itu pula, gerakan evakuasi Sekutu dimulai pukul 04.00 menjelang subuh.
|
Istighotsah ulama-ulama NU |
Ketika kurir itu menyebutkan bahwa Inggris mulai meninggalkan gedung Seminari Katolik, Kiai Saifuddin Zuhri yang juga bersama Sarbini dan A. Yani mendengar laporan tersebut tiba-tiba teringat kembali pada saat KH. Dalhar bermunajat dengan Hizib Nashar. Ia meyakini bahwa dua kejadian tersebut, yaitu proses evakuasi oleh Sekutu dan munajat Kiai Dalhar berbarengan. Kiai Saifuddin menyebut dalam proses tersebut Kiai Dalhar sampai pada bagian (dari Hizib Nashar) ini:
Nas’aluka al ‘ajala Ilaahi, al-ijaabah. Ya man ajaaba Nuuhan fii qaumihi. Ya man nashara Ibrohima ‘aala a’daaihi. Ya man rodda Yusufa ‘alaa Ya’quba. Ya man kasyafa dhurra Ayyuba. Ya man ajaaba da’wata Zakaria. Ya man qabila tashbiha Yunusa ibni Matta. Nas’aluka bia asroori haadzihidda’waati an tataqobbala maa bihi da’aunaaka wa an tu’thianaa maa sa’alnaaka...
(Kami mohon pertolongan-Mu itu datanglah sekarang, sekarang, dengan segera, Ya Tuhan, kabulkanlah permohonan ini, kabulkanlah! Ya Allah, Tuhan kami yang mengabulkan doa Nabi Nuh ketika menghadapi kaumnya. Ya Allah Tuhan kami yang memberi pertolongan kepada Nabi Ibrahim yang mengalahkan musuh-musuhnya. Ya Allah Tuhan kami yang mengembalikan Nabi Yusuf ke pangkuan Nabi Ya’qub. Ya Allah Tuhan kami yang menghilangkan penderitaan Nabi Ayyub. Ya Allah Tuhan kami yang memenuhi doa Nabi Zakaria. Ya Allah Tuhan kami yang menerima perkenan atas tasbih Nabi Yunus bin Matta. Ya Allah Tuhan kami, dengan mengharapkan hikmat dan rahasia doa-doa ini, mohon kiranya Engkau memperkenankannya dan mengabulkan segala yang kami maksudkan kepada-Mu, kiranya Engkau memenuhi segala yang kami mintakan kepada-Mu...)
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU