Dalam buku kecil yang menulis riwayat KH. Akhyat Halimi Mojokerto, diceritakan: Di saat beliau sedang mengalami kegundahan dalam usaha dagangnya yang tidak maju-maju. Akhirnya beliau memutuskan untuk melakukan riyadlah (tirakat) ziarah Walisongo. Kiai Pejuang itupun lalu berjalan kaki dari Mojokerto menuju Surabaya, Gresik, Tuban, hingga Cirebon.
Pada waktu beliau berada di makam Sunan Gunung Jati, beliau bermimpi bertemu dengan gurunya, Mbah Hasyim Asy’ari. Mbah Hasyim Asy’ari berpesan kepada Kyai Halimi, “Ngabdio marang ilmu, mengko hasil sekabehane”.(mengabdilah kepada ilmu, nanti semuanya akan berhasil).
Seketika itu pula, KH. Akhyat Halimi bergegas pulang dan memantapkan diri untuk membangun pesantren. Berkat ketekunan beliau, pesantrennya menjadi besar.
Di sudut Pesantren Tebuireng, saya termenung. Menyaksikan gedung-gedung megah berdiri. Ramai melebihi suasana kota. Warung-warung buka 24 jam. Disitu, saya teringat kisah-kisah perjalanan hidup kyai-kyai di Jombang: Hadratssyekh sendiri, Kyai Wahid Hasyim, Kyai Adlan Ali, Kyai Shobari, Kyai Yusuf Masyhar, Kyai Syansuri Baidhowi, Gus Dur dan lainnya.
Mereka adalah orang orang yang sukses dalam dunia bisnis, politik serta birokrasi. Tetapi mereka masih menempatkan diri istiqamah mengabdi kepada ilmu dan masyarakat sebagai jalan utama hidupnya, karena seutama-utamanya thariqah (jalan) bisa sampai kepada Allah adalah dengan cara belajar dan mengajar.
Banyak orang yang memiliki gagasan-gagasan besar, tapi tidak mampu melewati batas usianya. Ada banyak gagasan yang belum tercapai, sementara usia sangat terbatas.
Kebanyakan santri-santri pula yang tidak mengikuti jejak guru-guru mereka untuk mengabdi pada ilmu yang telah didapat dari pesantren, padahal setiap sesuatu ada zakatnya, dan zakatnya ilmu dengan mengajar.
Mereka sibuk menghadapi realitas: menjadi pebisnis lupa asal usul. Menjadi politisi sibuk di partai, jadi birokrat sibuk di pemerintahan, menjadi pegawai swasta, pabrik atau pegawai negeri itu pun sering menghabiskan waktu.
|
Ilustrasi Mbah Hasyim dan santri-santrinya |
Dengan memberikan ruang waktu, tenaga serta kesempatan untuk mengabdi kepada ilmu, mendidik kader-kader bangsa jauh lebih luas lapang pengabdiannya, bisa kita lakukan tanpa kita harus pindah profesi. Dengan alasan tidak mampu dan tidak memiliki kapasitas. Padahal kemampuan dan kapasitas hanya bisa didapat ketika menjalani aktivitas.
Satu kalimat bijak mengatakan: “Kalau membuat pesantren, pasti akan terbangun rumah. Kalau membangun rumah belum tentu terbangun pesantren. Banyak orang menghabiskan waktunya hanya untuk membangun rumah, tanpa banyak manfaat bagi orang lain.”
Dan kalimat sakti yang terbukti ampuh dan terbukti mujarrab, “Janganlah menunggu sukses untuk mau mengajar, tapi mengajarlah dulu pasti kamu sukses (dunia dan akhirat) beserta anak cucumu”.
Wallahu A’lam
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!