Dalam kitab Tanbih al-Mughtarrin, Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani mencatat kisah Sayyidina Ali Zainal Abidin (cicit Rasulullah) dan anaknya:
وقد بلغنا أن الإمام زين العابدين رضي الله عنه قال لولده: اتخذ لي ثوبا البسه عند قضاء الحاجة وأنزعه وقت شروعي في الصلاة فإني رأيت الذباب يجلس علي النجاسة ثم يقع علي ثوبي, فقال له ولده: إنه لم يكن لرسول الله صلي الله عليه وسلم إلا ثوب واحد لصلاته وخلائه, فرجع الإمام عما كان عزم علي فعله.
Telah sampai kepada kita kabar bahwa Imam Zainal Abidin radliyallahu ‘anhu berkata kepada anaknya:
“Ambilkan baju untukku yang telah kupakai ketika buang hajat dan kulepas ketika hendak shalat, karena aku melihat lalat yang hinggap di atas najis kemudian hinggap di bajuku.”
Anaknya berkata pada Imam Zainal Abidin: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya memiliki satu baju yang dipakainya untuk shalat dan ke toilet (buang hajat).”
Lalu Imam Zainal Abidin mengurungkan keinginannya setelah mendengar perkataan anaknya. (Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarrin, hal. 23)
Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani memandang riwayat di atas tidak bisa dijadikan dalil pelarangan membedakan pakaian untuk buang hajat dan shalat. Menurutnya, penukilan kaidah yang benar bukan karena Rasulullah tidak melakukannya, tapi “ada” atau “tidak”nya lalat (terkena najis) yang hinggap di pakaian yang hendak dipakai untuk shalat. Imam al-Sya’rani berkata:
“Penukilan yang benar adalah bahwa sesungguhnya Rasulullah saw -tidak ada lalat yang hinggap di bajunya, dan tidak pula hinggap di tubuhnya, maka tidak tepat menjadikan riwayat di atas sebagai dalil.” (Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarrin, hal. 24)
Jadi bukan soal boleh atau tidaknya, tapi soal ada-tidaknya lalat yang terkena najis hinggap di baju Rasulullah. Jika lalat yang terkena najis hinggap di baju Rasulullah, tentunya Rasulullah akan mengganti bajunya ketika hendak shalat.
Di sisi lain, Rasulullah adalah sumber keteladanan. Pemberi contoh untuk semua orang, dan tidak semua orang berkeadaan sama. Pasti ada yang membedakannya satu sama lainnya. Ada yang tinggal di daerah kurang air; ada yang di daerah melimpah air; ada yang di daerah dingin; ada yang di daerah panas, dan lain sebagainya. Belum lagi tingkat keilmuan dan kejiwaan yang berbeda-beda. Ada yang bodoh; ada yang pintar; ada yang tekun; ada yang agak malas, dan setersunya.
Sebagai suri tauladan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi contoh untuk semua kalangan dari berbagai keadaan. Beliau menjadi contoh untuk orang yang baru belajar agama; menjadi contoh untuk orang yang sedang menetapi istiqamah; menjadi contoh untuk orang yang pemalu; menjadi contoh untuk orang yang mudah marah; menjadi contoh untuk orang kaya; menjadi contoh untuk orang miskin; dan seterusnya.
Dalam kasus di atas, dengan tidak memakai baju khusus untuk shalat dan buang hajat, bisa jadi Rasulullah tidak ingin memberatkan orang kurang mampu yang hanya memiliki beberapa potong baju saja, sehingga pengamalan Islam dapat diakses oleh semua kalangan, mulai dari yang baru bertobat sampai yang sedang menjalani tingkatan ihsan; dari yang masih bolong-bolong shalatnya sampai yang semua shalat sunnah dikerjakan.
Karena itu, Rasulullah mengamalkan semua rukhshah yang ditetapkan Allah kepada umatnya; berbuka puasa dan menjamak/mengqashar shalat ketika dalam perjalanan, shalat di atas kendaraan, dan lain sebagainya. Karena beliau adalah contoh untuk semua manusia dari berbagai kalangan keadaan.
Kembali ke soal pakaian khusus untuk shalat. Di paragraf berikutnya, Imam al-Sya’rani mencatat sebuah riwayat tentang Imam Abu Yazid al-Busthami yang memiliki pakain khusus untuk shalat dan buang hajat. Baginya, hal itu bukan bid’ah karena tidak menyalahi syariat sama sekali, apalagi dihukumi haram. Ia memandangnya sebagai perwujudan adab kepada Allah, tentu disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan. Ia menjelaskan:
“Hal itu (yang dilakukan Imam Abu Yazid) termasuk dalam bab adab, yaitu agar pakaian yang dikenakan ketika shalat bukan pakaian yang dikenakan ketika di toilet. Dasar argumentasinya berdasarkan pendapat ulama tentang haramnya buang hajat menghadap kiblat dan membelakanginya.” (Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarrin, hal. 24)
Dengan kata lain, larangan buang air menghadap kiblat atau membelakanginya, dibawa ke wilayah adab (akhlak) yang lebih luas, yaitu dalam berpakaian juga. Bagi mereka, orang-orang yang selalu menjaga hatinya dengan mengingat Allah, adab kepada-Nya harus lebih didahulukan. Bahkan meludah ke arah kiblat saja mereka tidak akan berani. Karena mereka sadar bahwa Allah selalu mengawasi mereka, kapanpun, dimana pun dan dalam keadaan apapun. Contohnya Imam Abu Hanifah yang sepanjang hidupnya tidak berani menyelonjorkan kakinya, baik di saat ramai (banyak orang) maupun sendirian karena dipandang tidak beradab. Untuk mengetahui lebih lanjut bisa dibaca di tulisan sebelumnya, “Imam Abu Hanifah dan Adab di Saat Sunyi.”
Dari penjelasan di atas, kita bisa pahami bahwa penetapan hukum agama tidak semudah membaca terjemahan ayat dan hadits, begitu pun dalam hal pelarangannya. Dibutuhkan kajian komprehensif yang mendalam. Misalnya kasus di atas, urungnya Imam Ali Zainal Abidin memakai pakaian yang berbeda tidak bisa diartikan sebagai persetujuannya atas perkataan anaknya dan menjadi dalil atas pelarangannya. Ini masih bicara soal teks, belum masuk dalam konteks dan penelitian sanadnya.
Intinya, kita jangan berhenti belajar. Karena belajar sangat penting untuk meluaskan cakrawala berpikir kita. Jangan sampai kita gemar menyalahkan hal-hal yang belum kita tahu atau kuasai ilmunya. Rabbi zidnî ‘ilma war zuqnî fahma. Amin.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU