Bagaimana memahami ilmu politik para kiai? Dari pelacakan tentang sosok-sosok kiai di berbagai kawasan, terhubung jalinan ilmu, jaringan komunikasi dan sikap yang solid untuk mempertahankan negara. Para kiai tidak hanya belajar ilmu agama, yang secara mendalam berupa tradisi keilmuan pesantren, namun juga mempraktikkan dalam ilmu haliyah, ilmu sikap hidup yang terkoneksi dengan kepiawaian berdiplomasi politik.
Strategi-strategi cerdas ini, dapat kita lacak dari sosok Kiai Wahid Hasyim (1914-1953). Ayahanda Gus Dur ini, merupakan sosok kiai yang cerdas dalam menghimpun kawan serta tenang menghadapi lawan. Ia merupakan cermin, betapa ilmu santri itu luas tidak bertepi, dari ilmu agama hingga ilmu intelijen, dari penguasaan hukum Islam hingga diplomasi politik.
Kiai Wahid Hasyim piawai dalam memainkan jurus diplomatik. Jurus-jurus diplomatik Kiai Wahid diuji ketika ia menghadapi Jepang, pada proses menuju kemerdekaan Indonesia. Ketika Jepang merangsek sebagai penjajah, atau Saudara Tua di Asia Timur Raya, mereka dikenal bengis dan brutal dalam merampungkan operasi militer. Pada awalnya, pihak Jepang menjepit para kiai pesantren, bahkan beberapa dijebloskan ke penjara. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (1875-1947) termasuk kiai yang dijeblokasn ke penjara. Inilah tantangan berat bagi para kiai NU dan pengasuh pesantren.
Sikap NU terhadap rezim kolonial Jepang lebih lunak dibandingkan dengan sikap terhadap Belanda. Pada titik tertentu, NU menjalin kerjasama dengan Jepang, ketika menerima tawaran dalam pembentukan Kementrian Agama, serta pengerahan milisi sipil dalam Hizbullah dan Sabilillah. Pemerintah Jepang berusaha menarik dukungan dari kekuatan dari kelompok anti-Belanda dengan menggandeng ormas-ormas Islam.
Pemerintah Jepang mengundang 32 ulama, di antaranya Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Mahfudz Siddiq dan Kiai Wahid Hasyim, dalam sebuah pertemuan di Jakarta. Pada agenda ini, Kepala Pemerintah Militer Jepang (Gunseikan) minta maaf kepada umat Islam, tentang polisi militer Jepang yang dianggap brutal. Dari pihak Jepang, mereka beralasan karena para polisi militer tidak memahami budaya dan karakter umat Islam. Bahkan, setelah pertemuan ini, pemerintah Jepang terlihat lebih bersahabat dengan kelompok muslim, dan menghapus upacara Seikere (penyembahan dewa Matahari).
Pada November 1943, atas diplomasi Kiai Wahid Hasyim dan kiai pesantren, terbentuklah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Awalnya, Masyumi dipimpin oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Namun, karena kesibukan mengasuh pesantren dan kondisi fisik yang sudah sepuh, kewenangan mengomando Masyumi dipegang oleh Kiai Wahid Hasyim, putra Hadratus Syaikh.
Dalam struktur kepengurusan, Masyumi dipenuhi oleh tokoh-tokoh Islam yang tersebar dari berbagai tradisi dan organisasi. Dari NU, Muhammadiyah dan beberapa ormas Islam. Tujuan Masyumi, yakni mengkoordinasi para ulama serta mengusung semangat juang untuk cita-cita kemerdekaan.
Di sisi lain, ada pula usaha untuk mengumpulkan dana umat dari pengelolaan pertanian yang kemudian disetorkan ke baitul mal. Di antara pengelola unit usaha ini, yakni Faqih Usman, Ghafar Ismail, Sukiman dan Kiai Wahid Hasyim. Inilah unit usaha yang berusaha untuk memperjuangkan ekonomi dan kesejahteraan warga muslim. Perjuangan di bidang pendidikan juga digarap dengan serius. Kiai Wahid Hasyim mengajak beberapa rekannya untuk bergerak mengembangkan pendidikan. Di antaranya: Drs Ahmad Sigit, M Natsir, Kiai Muhammad Junaidi, dan beberapa tokoh penggerak lainnya (Syamsul AH, 2003: 80-83)
Di bidang pers, Kiai Wahid juga mendorong para tokoh pemuda untuk berkontribusi. Yakni mendirikan majalah ‘Suara Muslimin’ yang dikelola oleh Kiai Saifuddin Zuhri, Harsono Cokroaminoto dan beberapa jurnalis lainnya.
Di bidang diplomasi militer, Kiai Wahid bergerak untuk meyakinkan Jepang pentingnya membentuk laskar komando dari pemuda muslim. Maka, terbentuklah Hizbullah yang dipimpin oleh Kiai Zainul Arifin, pejuang tangguh dari Tanah Barus. Awalnya, Hizbullah dimaksudkan untuk menjadi paramiliter yang bertugas di garis depan komando militer Jepang. Tujuan politis Jepang, yakni menjadikan para pemuda muslim sebagai tameng dari serbuan musuh. Namun, dengan canggih dan jitu, Kiai Wahid berhasil meyakinkan pihak otoritas militer Jepang, agar menempatkan Hizbullah di dalam negeri. Argumentasi Kiai Wahid, tentu putra bangsa akan semakin semangat jika mempertahankan tanah airnya.
Laskar Hizbullah terbentuk karena latar belakang berperang dalam mempertahankan agama Islam, wajib hukumnya. Pada saat itu, Jepang berusaha menggiring para pemuda masuk komando Heiho. Abdul Hamid Nobuharu Ono, utusan Jepang, melakukan lobi politik kepada Kiai Wahid Hasyim. Hamid Ono, merupakan utusan diplomatik pemerintah Jepang untuk mendekati para kiai pesantren. Ono merupakan muslim dan pernah beribadah haji, bersamaan dengan utusan lain, yakni Abdul Munim Inada, Saleh Suzuki, Mohammad Taufik Sasaki, dan Abdul Munir Watanabe.
Di sinilah kecerdikan Kiai Wahid teruji. Ia tidak menolak permintaan Jepang, namun menggeser kepentingan dengan menggabungkan para pemuda muslim, yang mayoritas sebagai santri dan terkoneksi dengan jaringan pesantren, masuk dalam barisan Hizbullah. Para milisi Hizbullah mendapatkan pelatihan dari militer Jepang, hingga terlatih menghadapi perang dengan strategi-strategi taktis. Kelak, Hizbullah menjadi tulang punggung dalam perjuangan kemerdekaan, dari kalangan santri-kiai.
Hizbullah menjadi referensi bagaimana pejuang muslim bergerak untuk mempertahankan tanah air, dengan segenap usaha, tangis dan darah juang. Hizbullah secara resmi dibentuk pada 14 Oktober 1944. Slogannya yang terkenal: “isy kariman au mut syahidan” (hidup mulia atau mati syahid). Laskah Hizbullah merupakan laskar santri yang tersebar di beberapa kawasan dengan jaringan santri. Para ulama membentuk Laskar Sabilillah yang dikomando Kiai Masykur dan Laskar Mujahidin yang dipimpin Kiai Wahab Chasbullah.
Sumber: Situs PBNU