Siapa sih yang tak kenal Hadratussyaikh Mbah Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur, pendiri NU, dan sumber ilmu dari sejumlah kiai besar di Jawa itu?
Sudah pasti ada banyak kisah tentang kiai besar ini. Sebagian besar kisah tentang beliau sudah pasti pernah dituturkan, baik oleh para muridnya atau oleh orang-orang lain yang pernah mengenal sosok ini.
Tetapi akan selalu ada ‘little narrative’, kisah-kisah kecil tentang Mbah Hasyim yang masih tersembunyi di balik memori para muridnya dan belum diketahui oleh banyak orang.
Little narrative tentang Mbah Hasyim itu saya jumpai saat lebaran tahun ini (2016-red), saat saya ‘sowan’ ke rumah Kiai Muadz Tohir, guru yang mengajari saya bahasa Inggris di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, dulu.
Kiai Muadz adalah putra Kiai Thohir bin Nawawi, Kajen. Saat saya berkunjung ke rumahnya Lebaran tahun ini, Kiai Muadz menuturkan sebuah ‘little narrative’ tentang Mbah Hasyim yang saya yakin belum banyak diketahui oleh orang. Kisah yang sangat menarik.
Beginilah kisahnya:
Kiai Thohir, ayahanda dari Kiai Muadz, dulu pernah nyantri di Tebuireng, di bawah asuhan Mbah Hasyim. Dengan kata lain, Kiai Thohir adalah santrinya Mbah Hasyim.
Beberapa tahun nyantri, Thohir muda belum banyak mengalami perkembangan. Dia tak terlalu pintar menyerap pelajaran dari Mbah Hasyim. Istilah pesantrennya, “dhèdhèl” (not so smart).
Suatu hari, Mbah Hasyim ada hajat untuk menghadiri undangan dari Kiai Romli di Peterongan, Jombang. Lalu, Mbah Hasyim memanggil santri yang tak terlalu pintar bernama Thohir itu. Mbah Hasyim memintanya untuk menggantikan beliau mengajar kitab Bulughul Maram (kitab kumpulan hadis yang sangat populer di seluruh dunia Islam).
Tentu saja Thohir muda kaget bukan main dan sekaligus panik. Dia merasa sebagai santri yang bodoh. Dia bahkan merasa belum mampu baca kitab berbahasa Arab. Tetapi dia, tentu saja, tak mungkin menolak perintah guru.
Akhirnya, dengan keringat dingin yang bercucuran, Thohir muda memaksa diri mengajar kitab Bulughul Maram. Yang membuat Thohir muda kaget, ternyata Mbah Hasyim tidak ‘tindakan’ (pergi) mendatangi undangan, malah ikut menunggui dia mengajar.
Di luar dugaan, Thohir muda, dengan ditunggui Mbah Hasyim, mampu mengajarkan kitab itu dengan lancar. Tentu dia sendiri kaget. Setelah itu, Mbah Hasyim meminta santri Thohir untuk mengajarkan kitab Bulughul Maram.
|
KH.A. Thohir Nawawi (santri Mbah Hasyim Asy'ari) |
Singkat cerita, Thohir muda menjadi salah satu murid kesayangan Mbah Hasyim. Saat boyongan ke Kajen, Mbah Hasyim ikut mengantar Kiai Thohir sampai ke rumahnya. Mbah Hasyim, saat itu, ingin ‘iras-irus’ (sekalian) bertemu dengan Mbah Salam, kakak dari Mbah Nawawi. Mbah Nawawi adalah ayahanda Kiai Thohir. Sementara Mbah Salam adalah ayahanda dari Mbah Abdullah Salam, kiai yang sangat dihormati dan dikenal sebagai waliyullah di Jawa Tengah.
Mbah Hasyim tidak sekedar mengantar Kiai Thohir sampai ke rumahnya di Kajen. Tetapi juga memberikan ‘suvenir’ atau kenang-kenangan berupa tiga kitab hadis besar-besar. Tiga kitab itu ialah Sahih Bukhari, Syarah Qasthalani (salah satu komentar [syarah] yang terkenal atas Sahih Bukhari) dan al-Muwatta’ (kumpulan hadis karya Imam Malik, pendiri mazhab Maliki). Ketiga kitab ini dihadiahkan oleh Mbah Hasyim kepada santrinya yang baru boyongan itu sebagai semacam apresiasi intelektual atas kemampuan Thohir muda.
Mbah Hasyim tidak sekedar menghadiahkan tiga kitab itu, tetapi juga membubuhkan autograf atau tanda tangan disertai sebuah ucapan.
Mendengar kisah Kia Muadz ini, saya langsung menyergah, “Boleh saya melihat tiga kitab itu, Pak Muadz? Saya ingin sekali melihat tulisan tangan dan tanda tangan Mbah Hasyim.”
Sayang sekali kitab itu tidak disimpan di rumah Kiai Muadz. Melainkan di rumah kakaknya, alm. Kiai Muzammil.
Dalam hati saya berkata: Suatu saat saya pasti akan mendatangi putera Kiai Muzammil dan melihat sendiri ‘suvenir’ yang dihadiahkan oleh Mbah Hasyim itu.
Oleh: Ulil Abshar Abdalla
Sumber: bangkitmedia.com