Raden Rahmat atau Sunan Ampel (wafat sekitar tahun 1406 M) dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi mengajarkan kehidupan zuhud dengan melakukan riyaḍah secara ketat kepada masyarakat. Adapun gambaran amalan ruhani yang dijalankan Sunan Ampel sebagai berikut:
Ora dhahar ora guling/ anyegah ing hawa/ ora sare ing wengine/ ngibadah maring Pangeran/ fardhu sunat tan katinggal/ sarwa nyegah haram makruh/ tawajuhe muji ing Allah//
Tidak makan tidak tidur/ mencegah hawa nafsu/ tidak tidur malam/ untuk beribadah kepada Tuhan/ fardhu dan sunnah tidak ditinggalkan/ serta mencegah yang haram dan makruh/ tawajuh memuji Allah//.
Bahkan di dalam satu keterangan di dalam Babad Tanah Jawi naskah Drajat, Sunan Ampel mengajarkan ilmu tasawuf dengan laku suluk menurut ajaran tarekat Naqsyabandiyah.
Sementara, Sunan Giri dalam melakukan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat lebih menekankan pada pendidikan. Beliau merupakan salah satu wali yang mengembangkan sistem pesantren yang di kemudian hari diikuti oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Dalam menyampaikan dakwah Islam, Sunan Giri senantiasa menyampaikan dengan cara-cara yang lunak dengan mengikuti ajaran Islam yang diterima sebagai kewajaran. Titik tolok dakwah yang dikembangkan pada dasarnya adalah menanamkan pendidikan budi pekerti luhur kepada masyarakat.
Sunan Bonang dikenal sebagai guru tasawuf yang diyakini memiliki kekuatan keramat sebagaimana lazimnya seorang wali. Sebuah naskah primbon asal Tuban, yang menurut Schrieke dalam “Het Boek Van Bonang (1916)” adalah tulisan Sunan Bonang sendiri, merupakan ikhtisar bebas dari kitab “Ihya Ulumuddin” karya al-Ghazali dan kitab “al-Tamhid fi Bayan al-Tauhid” karya Abu Syakur bin Syu‘aib al-Kasi al-Hanafi al-Salimi.
Sunan Kalijaga dikenal sebagai guru ruhani yang mengajarkan tarekat Syattariyah dari Sunan Bonang sekaligus tarekat Akmaliyah dari Syekh Siti Jenar. Pelajaran tarekat dalam bentuk laku ruhani yang disebut mujahadah, muqarabah, dan musyahadah secara arif disampaikan Sunan Kalijaga baik secara tertutup diberikan kepada murid-murid ruhani sebagaimana layaknya proses pembelajaran di dalam sebuah tarekat. Sementara itu, pelajaran yang disampaikan secara terbuka, dilakukan melalui pembabaran esoteris kisah-kisah simbolik dalam pergelaran wayang, sehingga menjadi pesona tersendiri bagi masyarakat dalam menikmati pergelaran wayang yang digelar Sunan Kalijaga.
Sunan Drajat dikenal sebagai penyebar Islam yang berjiwa sosial tinggi dan sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin serta lebih mengutamakan pencapaian kesejahteraan sosial masyarakat. Setelah memberikan perhatian penuh, baru Sunan Drajat memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Ajarannya lebih menekankan pada empati dan etos kerja keras berupa kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong royong.
Secara umum, ajaran Sunan Drajat dalam menyebarkan dakwah Islam dikenal masyarakat sebagai pepali pitu (tujuh dasar ajaran), yang mencakup tujuh falsafah yang dijadikan pijakan dalam kehiduapan sebagai berikut;
Pertama, memangun resep tyasing suasama (selalu membuat senang hati orang lain.)
Kedua, jroning suka kudu eling lan waspodo (dalam suasana gembira hendaknya tetap ingat Tuhan dan selalu waspada.)
Ketiga, laksitaning subrata tan nyipta marang pringga bayaning lampah (dalam upaya mencapai cita-cita luhur jangan menghiraukan halangan dan rintangan.)
Keempat, meper hardaning pancadriya (senantiasa berjuang menekan gejolak nafsu-nafsu inderawi.)
Kelima, heneng-hening-henung (dalam diam akan dicapai keheningan dan di dalam hening akan mencapai jalan kebebasan mulia.)
Keenam, mulya guna panca waktu (pencapaian kemuliaan lahir batin dicapai dengan menjalankan shalat lima waktu.)
Ketujuh, menehono teken marang wong kang wuto. Menehono mangan marang wong kang luwe. Menehono busana marang wong kang wuda. Menehono pangiyup marang wong kang kaudanan (berikan tongkat kepada orang buta. Berikan makan kepada orang yang lapar. Berikan pakaian kepada orang yang tidak memiliki pakaian. Berikan tempat teduh kepada orang yang kehujanan.)
Beberapa contoh dari dakwah Wali Songo di atas terutama yang berkaitan dengan tasawuf (laku suluk) dapat memberikan deskripsi bahwa sesungguhnya dakwah yang dikembangkan Wali Songo pada hakikatnya adalah dakwah yang selaras dengan firman Allah: “Hendaklah engkau mengajak orang ke jalan Allah dengan hikmah, dengan peringatan yang ramah tamah serta bertukar pikiran dengan mereka melalui cara yang sebaik-baiknya.”
Penanaman nilai-nilai ajaran Islam melalui keteladanan yang baik (uswah ḥasanah) sebelum berucap kata, bukan dengan cara propaganda dan cara yang tidak bijak lainnya, menjadikan dakwah yang diajarkan Wali Songo mendapatkan simpati di hati masyarakat. Ajaran-ajaran semacam ini yang selalu digaungkan di dalam ajaran Islam dan bahkan dianjurkan karena sesuai dengan dalil normatif Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika demikian model dakwah yang dikembangkan oleh Wali Songo, maka kita akan menemukan kecocokan model dakwah atau ajaran tasawuf Wali Songo dengan tipologi tasawuf Akhlaki yang diserukan oleh al-Ghazali.
Nampaknya tawaran tasawuf al-Ghazali lebih mendapat simpati bagi Wali Songo untuk diajarkan kepada masyarakat secara luas. Ini bisa diperkuat dengan data yang sudah penulis jelaskan tentang ajaran tasawuf Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang menjadikan buku-buku karya al-Ghazālī sebagai rujukan utama.
Wallahu A’lam
Sumber: unuindonesia.ac.id