Pada suatu hari, para kiai berkumpul di Kantor Partai Nahdatul Ulama. Mereka duduk di atas karpet yang digelar di sebuah ruangan besar. Mereka bermusyawarah di dalamnya untuk menjawab sejumlah masalah sosial keagamaan dan kebangsaan yang muncul di era Sukarno.
Puluhan kitab yang diperlukan diturunkan dari lemari buku. Semuanya diletakkan di atas lekar (dampar) panjang, sejenis rehal yang biasa dijadikan tempat menaruh Al-Quran. Semua ini dipakai untuk memudahkan peserta musyawarah untuk melihat rujukan akurat terkait teks yang diperlukan.
Pada musyawarah ini tampak hadir Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi atau lebih terkenal dengan Habib Ali Kwitang, Al-Habib Ali bin Husein Al-Athas atau Habib Ali Bungur, Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Athas. Habib Ali Kwitang memenuhi undangan anak angkatnya, KH. Idham Chalid yang ketika itu merupakan Ketua Umum PBNU.
Sebagaimana diketahui, NU saat itu merupakan partai politik, Partai Nahdlatul Ulama, yang ikut berkoalisi dengan pemerintah di Era Presiden Soekarno.
Selesai musyawarah, semua hadirin tampak masih berada di tempat duduk masing-masing. Mereka akan menyantap hidangan ala kadarnya yang disediakan tuan rumah.
Abdullah dan beberapa pemuda NU ketika itu terlihat keluar-masuk ruangan hadirin. Ia mengantarkan makanan dan minuman yang disediakan. Pada gilirannya Abdullah berusaha duduk bersimpuh di hadapan Habib Ali Kwitang. Ia pun menurunkan nampan kaleng bermotif warna-warni berisi makanan dan minuman.
Habib Ali Kwitang curiga dengan motif di balik nampan. Beliau meminta Abdullah untuk mengangkat nampan tersebut. Ketika diangkat, tampaklah lambang NU di pantat nampan.
“Ini kok bisa begini. Maksudnya apa ini?” tanya Habib Ali Kwitang kepada Abdullah dengan suara pelan.
Ruangan mendadak senyap. Semua perbincangan para kiai dan segala aktivitas seisi ruangan berhenti. Semua mata tertuju pada Habib Ali Kwitang dan Abdullah.
“Iya bib, ini adalah penanda bahwa nampan ini milik Partai NU,” jawab Abdullah.
Habib Ali Kwitang mengangguk. Beliau kemudian memanggil anak angkatnya, KH. Idham Chalid.
"Jangan kalian berani-berani membuat jatuh perkumpulan ini (NU) dengan meletakannya di bawah," kata Habib Ali Kwitang menasihati penuh kasih sayang layaknya orang tua dan anak.
Nasihat ini disaksikan dari dekat oleh Habib Ali bin Husein Al-Athas (Habib Ali Bungur), Habib Muhammad bin Ali Al-Athas, KH. Muhammad Naim (Guru Naim Cipete), KH. Falak Bogor, dan para kiai lain yang duduk dekat dengan Habib Ali Kwitang.
Menangkap isyarat tersebut, Kiai Idham Chalid kemudian meminta para pemuda untuk mengganti nampan dengan piring sebagai wadah makanan.
Setelah insiden itu ruangan kembali ramai oleh perbincangan para kiai. Semua hadirin menyantap makanan dan minuman sebelum bubar meninggalkan ruangan.
|
Habib Ali Kwitang bersama Presiden Soekarno |
Profil Singkat Habib Ali Kwitang
Habib Ali Kwitang hidup dalam rentang waktu 1870 M hingga 1968 M. Pada hampir dua dasawarsa di akhir hayatnya, beliau mengalami NU yang ketika juga merangkap partai politik selain sebagai ormas keagamaan.
Habib Ali Kwitang adalah pemimpin majelis taklim Kwitang. Beliau dikenal dekat dengan dengan para kiai Betawi dan Kiai NU. Sebagian dari kiai Betawi adalah muridnya. Habib Ali Kwitang bahkan tidak segan memberikan panggung bagi para muridnya untuk menyampaikan ceramah agama di majelis taklim Kwitang yang digelar setiap Ahad pagi.
Habib Ali Kwitang mengambil murid-muridnya sebagai anak angkat. Beliau mempersaudarakan para kiai Jakarta satu sama lain sehingga ukhuwah di kalangan para kiai menjadi semakin rekat, selain dengan jalur perkawinan, juga jalur persaudaraan. Ini semua berkah Habib Ali Kwitang. Al-Fatihah.
Wallahu A’lam
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!