KH. Idris (Mbah Idris) lahir pada tanggal 30 April 1909 di Kauman, Wonosobo. Usai menginjak masa remaja, beliau menimba ilmu di Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, dibawah asuhan KH. Dimyati Abdullah (adik dari Syekh Mahfudz At-Tarmasi).
Saat di Pesantren Tremas, beliau semasa atau seangkatan dengan KH. Ali Maksum (Yogyakarta) dan KH. Muntaha (Wonosobo). Bahkan, beliau pernah menjadi pengurus pondok bersama dengan KH. Ali Maksum dan KH. Muntaha. KH. Ali Maksum menjadi lurah pondok, KH. Muntaha menjadi bendahara, sedangkan beliau menjadi seksi perlengkapan. Disamping pernah menjadi pengurus pondok, beliau juga pernah menjadi abdi dalem (santri ndalem).
Baca: Kisah Perjuangan KH. Idris Wonosobo
Pada masa kemerdekaan, beliau menjadi salah satu komandan hizbullah untuk wilayah Wonosobo dan sekitarnya. Bahkan beliau ikut serta dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Maka, tidaklah mengherankan bila beliau sering mengikuti pertemuan-pertemuan yang dihadiri langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) dan KH.A. Wahab Chasbullah (Mbah Wahab).
Dalam beberapa pertemuan, seringkali posisi duduk beliau bersebelahan dengan Mbah Hasyim. Dikisahkan, Mbah Wahab pernah iri pada beliau karena seringnya beliau duduk disamping Mbah Hasyim sedangkan dirinya jarang sekali mendapat kesempatan tersebut.
Saat Mbah Hasyim dijebloskan ke penjara oleh penjajah Jepang, beliau menjenguk Mbah Hasyim di penjara bersama-sama dengan kiai-kiai lain.
Pesan Mbah Idris Dalam Berdakwah
Dalam berdakwah atau khidmah umat, beliau sering menekankan pentingnya murodun dan muridun. Artinya, bahwa hakikatnya dakwah tersebut dikehendaki (dibutuhkan) orang lain (umat), bukan karena kehendak kita. Sebab, kalau dakwahnya karena kehendak kita, suatu saat kita akan kecewa jika tidak diperhatikan. Namun, kalau dakwahnya karena kehendak masyarakat, tentunya masyarakat akan selalu membutuhkannya.
Dalam urusan duniawi, harus dikehendaki (murodun), artinya dalam khidmah umat kita jangan mengharapkan imbalan dari khidmah tersebut. Sedangkan kalau urusan ilmu, kita harus menghendaki (muridun), artinya mencari ilmu harus sowan atau mendatangi sang pemilik ilmu (ulama).
Kecintaan Mbah Idris Pada Anak-anak dan Orang Lemah
Setiap beliau jalan-jalan atau berdakwah ke suatu tempat, beliau tidak lupa membawa permen atau uang. Tujuannya jika beliau bertemu dengan anak-anak kecil, permen atau uang tersebut dibagi-bagikan pada mereka. Itulah diantara kecintaan beliau pada anak-anak kecil.
Dikisahkan, setiap beliau membeli sesuatu di toko atau warung-warung kecil, beliau sering memilih toko atau warung yang tidak laris dan sepi pembeli. Hal ini menunjukkan bahwa beliau sangat menyayangi dan perhatian terhadap kondisi orang yang sedang susah atau lemah. Itulah diantara kecintaan beliau pada anak-anak kecil dan orang lemah.
Kesederhanaan Mbah Idris
Dalam tutur kata, beliau biasa bertutur kata dengan jawa kromo kepada siapa pun, bahkan dengan cucu maupun orang yang lebih muda dari beliau. Sebab beliau meneladani perilaku dan tutur kata gurunya, yaitu KH. Dimyati Abdullah. Dikisahkan, KH. Dimyati Abdullah biasa bertutur kata dengan jawa kromo kepada siapa pun, bahkan dengan santri ndalemnya pun demikian.
Sebagai seorang ulama yang sangat dikagumi masyarakat Wonosobo, beliau tidak pernah menonjolkan ataupun bersikap layaknya ulama besar. Baik dari segi penampilan, pergaulan, maupun perjuangan dakwahnya.
Dari segi penampilan, beliau terkadang hanya memakai kaos oblong atau kaos biasa saat jalan-jalan. Sehingga terlihat seperti orang biasa dan sama sekali tidak terlihat layaknya seorang ulama. Dalam soal makan, beliau tidak pernah meminta atau ngarani dimasakkan apa pada istrinya. Apapun yang dimasakkan istrinya, beliau makan dengan senang hati. Bahkan, seringkali beliau kehabisan beras atau tidak memiliki makanan apapun. Keprihatinan dan kesusahan hidupnya, tidak menyurutkan langkah dakwah beliau. Beliau juga tidak pernah memanjakan putra-putrinya dengan hidup mewah biarpun nama beliau banyak dikenal dan dihormati oleh banyak kalangan. Itulah diantara kesederhanaan hidup beliau.
Dalam bergaul dan berdakwah, beliau merangkul semua kalangan. Beliau tidak memilah-milih siapa yang harus didekati ataupun didakwahi, semuanya beliau rangkul tanpa membedakan ormasnya maupun agamanya.
Maka, tidaklah mengherankan jika banyak masyarakat yang dekat dan senang bergaul dengan beliau. Dari mulai kalangan orang biasa, ulama, para pejabat, atau lainnya. Bahkan, orang-orang keturunan Tionghoa (Cina), para pendeta, atau para pastur pun sangat hormat dengan beliau. Ini terbukti, saat beliau sakit menjelang wafatnya, banyak dari kalangan mereka yang menjenguk beliau hingga beberapa dari mereka merasa sedih. Sehingga saat beliau wafat, banyak dari mereka yang merasa kehilangan beliau.
Wallahu A’lam
Oleh: Saifur Ashaqi
Sumber: Fahmi Akbar Idris (Cucu Mbah Idris)