Pertanyaan
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan adalah adanya lailatul qadar, di mana pada lailatul qadar amal kebajikan atau ibadah yang dilakukan di dalamnya lebih baik daripada ibadah yang dilakukan selama seribu bulan.
Dalam kesempatan ini, kami akan menanyakan tentang nasib wanita yang sedang haid, apakah ia bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar? Bagaimana caranya menghidupkan lailatul qadar bagi wanita haid sehingga ia juga bisa mendapatkan keutamaannya seperti yang lain. Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Bulan Ramadhan adalah bulan istimewa. Salah satunya adalah karena di bulan ini Allah swt. mewajibkan kaum Muslim yang telah memenuhi persyaratan untuk menjalankan ibadah puasa. Keistimewaan lainnya yang tidak ditemukan pada bulan-bulan lain adalah adanya lailatul qadar.
Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam An-Nasa’i meriwayatkan hadits dari riwayat Abu Hurairah ra., yang menegaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Di dalam bulan Ramadhan terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang terhalang untuk mendapatkan kebaikannya, maka sungguh ia terhalang untuk memperoleh kebaikannya.”
Di dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal dan Sunan An-Nasai terdapat riwayat dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda: “Di dalam bulan Ramadhan terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang terhalang untuk mendapatkan kebaikannya, maka sungguh ia terhalang untuk memperoleh kebaikannya,’” (Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, Latha`iful Ma’arif fima Limawasimil ‘Am minal Wazha`if, Kairo, Darul Hadits, 1426 H/2005 M, halaman 264).
Apa yang dimaksud dengan malam qadar itu lebih baik dari seribu bulan adalah amal kebajikan yang dilakukan pada malam tersebut nilainya melebihi amal kebajikan yang dilakukan selama seribu bulan yang tidak ada malam qadarnya. Hal ini sebagaimana penjelasan dalam kitab tafsir Bahrul ‘Ulum karya Abu al-Laits An-Naisburi berikut ini:
“Firman Allah swt: ‘Lailatul qadar itu lebih baik dari seribu bulan’ maksudnya adalah amal kebajikan yang dilakukan pada lailatul qadar itu lebih baik dibanding amal kebajikan selama seribu bulan yang tidak ada di dalamnya lailatul qadar,” (Lihat Abu al-Laits as-Samarqandi, Bahrul ‘Ulum, Beirut, Darul Fikr, juz III, hal. 577).
Sampai di sini tidak ada persoalan berarti. Persoalan baru muncul bagaimana dengan nasib para wanita yang sedang mengalami haid atau nifas, di mana mereka jelas dalam kondisi tidak suci sehingga dilarang shalat bahkan menyentuh mushaf Al-Qur’an. Apakah mereka juga bisa memperoleh lailatul qadar sebagaimana yang lain?
Pertanyaan mengenai apakah wanita haid bisa memperoleh lailatur qadar bukanlah pertanyaan baru. Jauh sebelum itu Imam Juwaibir bin Said Al-Balkhi menanyakan hal tersebut kepada Imam Adh-Dhahhak.
Termasuk juga wanita yang sedang nifas, bahkan orang yang tidur. Menurut Imam Adh-Dhahhak, mereka semua bisa mendapatkan lailatul qadar. Karena setiap orang yang Allah swt. terima amalnya, maka Allah swt. juga akan memberinya bagian dari lailatul qadar.
“Imam Jubair berkata: ‘Aku pernah bertanya kepada Imam Adh-Dhahhak, bagaimana pendapatmu mengenai wanita yang sedang nifas, haid, orang yang bepergian (musafir), dan orang tidur, apakah mereka bisa memperoleh bagian dari lailatul qadar?. Jawabnya, ya, mereka masih bisa memperoleh bagian. Setiap orang yang Allah swt. menerima amalnya, maka Allah swt. akan memberikan bagiannya dari lailatul qadar,’” (Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali, Latha`iful Ma’arif fima Limawasimil ‘Am minal Wazha`if, hal. 264).
Pandangan Imam Adh-Dhahhak ini jelas menunjukkan bahwa wanita yang sedang haid sekalipun masih bisa memperoleh lailatul qadar. Lantas pertanyaannya adalah bagaimana agar ketila lailatul qadar ia bisa memperoleh pahala yang berlimpah? Atau dengan bahasa lain, bagaimana wanita haid menghidupkan atau mengisi lailatul qadar?
Untuk menjawab pertanyaan terakhir ini, ada baiknya kita lihat bagaimana penjelasan yang dikemukakan Syekh Nawawi Banten dalam kitab Nihayatuz Zain mengenai tingkatan menghidupkan lailatul qadar. Menurut Syekh Nawawi, setidaknya ada tingkatan dalam menghidupkan atau mengisi lailatul qadar, dari tingkat yang tertinggi sampai yang terendah.
Pertama, menghidupkan lailatul qadar dengan memperbanyak shalat sunah. Ini adalah tingkatan tertinggi.
Kedua, menghidupkan sebagian besar lailaul qadar dengan memperbanyak zikir. Ini adalah tingkatan yang sedang.
Ketiga, tingkat terendah atau minimalis adalah dengan melakukan shalat Isya dan Subuh berjamaah.
“Tingkatan menghidupkan lailatul qadar ada tiga. Yang tertinggi adalah menghidupkan lailatul qadar dengan shalat. Sedang tingkatan yang sedang adalah menghidupkan lailatul qadar dengan zikir. Tingkatan terendah adalah menjalankan shalat Isya dan Subuh berjamaah,” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, Beirut, Darul Fikr, hal. 198).
Dari ketiga tingkatan yang kemukakan Syekh Nawawi Banten ini, maka yang paling memungkinkan dilakukan wanita yang sedang haid untuk mengisi lailatul qadar sehingga ia bisa memperolah berjibun dan berlimpah pahala adalah tingkatan yang kedua, yaitu mengisi lailatul qadar dengan memperbanyak zikir, berdoa, dan beristighfar. Sebab, tingkatan pertama dan ketiga tidak mungkin bisa diambil oleh wanita yang sedang haid.
Lebih lanjut Syekh Nawawi Banten menegaskan bahwa amal kebajikan atau ibadah yang dilakukan pada lailatul qadar lebih baik daripada amal kebajikan yang dilakukan selama seribu bulan.
Bahkan, menurut pendapat yang dapat dipertanggungjawabkan atau mu’tamad, pelaku kebajikan yang dilakukan pada lailatul qadar akan memperoleh keutamaan lailatul qadar meskipun ia tidak bisa mengetahui atau melihat keajaiban lailatul qadar, kendatipun kondisi orang yang mengetahuinya itu tentu lebih sempurna. Demikian sebagaimana dikemukakan Syekh Nawawi Banten.
Amal kebajikan atau ibadah yang dilakukan pada lailatul qadar itu lebih baik daripada amal kebajikan yang dilakukan selama seribu bulan. Dan menurut pendapat yang mu’tamad pelakunya akan mendapatkan keutamaan lailatul qadar, meskipun ia tidak mengetahui atau melihat keajaiban lailatul qadar. Kendatipun keadaan orang yang mengetahuinya itu tentu lebih sempurna,” (Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, hal.198).
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Sumber: nu.online