Delapan puluh ayat dalam surah Ali Imran turun di tengah situasi yang boleh dibilang paling penting dalam sejarah dakwah Islam; yaitu perdebatan yang berlangsung antara Rasulullah saw. dengan delegasi yang beranggotakan para pendeta Nasrani yang paling terpandang pada masa itu.
Delegasi itu terdiri dari 60 pendeta yang berasal dari Najran. Mereka sengaja datang ke Madinah untuk menemui Rasulullah setelah mendengar kenabiannya serta kemenangan kaum muslim walaupun pada waktu itu jumlah kaum muslim sedikit. Tujuan mereka ialah berdebat dengan Rasulullah saw. di depan khalayk atau forum yang disaksikan banyak orang. Tujuannya agar Rasulullah saw. menerima sepenuh hati bahwa keyakinan mereka itu tentang “Isa adalah putra Allah” benar adanya. Terus saja, mereka merasa yakin akan mampu memenangkan perdebatan ini lantaran mendengar bahwa Rasulullah saw. adalah seorang “ummi” yang tidak mengenal baca-tulis dan tidak pernah membaca satu kitab pun selama hidupnya.
Delegasi tersebut dipimpin oleh seorang sesepuh pendeta yang sangat mereka hormati yang bernama Abdul Masih. Bersama mereka, ikut serta pula Abu Haritsah bin Alqamah, ketua keuskupan mereka. Dalam hal ini, mereka memiliki hubungan erat dengan kekaisaran Romawi. Karena, raja-raja Romawi mengeluarkan sejumlah dana kepada penduduk Najran untuk menyebarkan dan mengokohkan agama Nasrani di negeri itu. Semua itu terjadi sebelum munculnya dakwah Islam yang diusung Rasulullah saw.
Sampailah delegasi itu di Masjid Rasulullah saw. di Madinah. Ketika mereka tiba di tempat itu, beliau tengah mengerjakan shalat Ashar bersama sejumlah sahabatnya. Dalam delegasi itu, terdapat seorang lelaki bertubuh tinggi kekar membawa sebuah lonceng besar. Rasulullah saw. dan para sahabat nyaris tidak dapat menyelesaikan shalat Ashar saat Abu Haritsah bin Alqamah memerintahkan lelaki pembaca lonceng itu untuk menabuhnya sebagai tanda dimulainya sembahyang bagi kaum Nasrani.
Orang-orang lantas berkumpul di sekitar delegasi Nasrani tersebut. Mata mereka tertuju pada pakaian kebesaran yang mereka kenakan dan lonceng besar yang suaranya memekakkan telinga. Ketua keuskupan tersebut beranjak memasuki masjid. Tatkala para sahabat menghalangi mereka masuk, Rasulullah saw. berkata, “Biarkan!”. Rombongan Nasrani itu pun melakukan sembahyang dengan menghadap ke timur.
Seusai sembahyang, ketua keuskupan dan pemimpin mereka menemui Rasulullah saw. dan berkata, “Kami mendengar apa yang engkau dakwakan. Namun, kami telah berserah diri (islam) kepada Allah (tuhan kami) dan Tuhanmu (sebelummu).”
“Kalian berdusta, tentang dakwaan kalian bahwa Allah swt. mempunyai anak, menyembah salib dan memakan babi, hal itu telah menghalangi keislaman kalian.” kata Rasulullah saw.
“Jika Isa bukan anak Tuhan, lantas siapa bapaknya?.” tanya Abu Haritsah
Saat itulah turun wahyu yang membantu Rasulullah saw. Allah swt. menurunkan pertengahan surah Ali Imran perihal mereka sekaligus membantah kekafiran yang mereka ada-adakan dan sesembahan lain yang mereka ciptakan.
Rasulullah saw. bertanya, “Bukankah kalian mengetahui bahwa anak itu serupa dengan ayahnya?.”
“Benar.” jawab Abu Haritsah dan para pengikutnya
“Bukankah kalian mengetahui bahwa Allah swt. Mahahidup dan tidak akan mati, dan bahwa Isa itu fana (mati)?.” tanya Rasulullah saw. lagi
“Benar.” jawab mereka
“Bukankah kalian mengetahui bahwa Tuhan kita terus menerus mengurusi segala sesuatu, memeliharanya, dan memberinya rezeki?.” tanya Rasulullah saw.
“Benar.” jawab mereka
Orang-orang memerhatikan dengan seksama perdebatan tersebut. Lalu Rasulullah saw. kembali bertanya, “Apakah Isa memiliki sifat-sifat itu?.”
“Tidak, Isa tidak memberikan rezeki pada siapa pun,” jawab mereka
Rasulullah saw. lagi-lagi bertanya, “Bukankah kalian mengetahui bahwa segala sesuatu di bumi dan di langit tidak luput dari pengawasan Allah swt?.”
“Benar.” jawab mereka serempak
“Apakah Isa mengetahui semua itu, selain yang diajarkan (Allah swt.) kepadanya?.” tanya Rasulullah saw.
Ketika mereka menyetujui ucapannya, Rasulullah saw. kembali bertanya, “Bukankah kalian mengetahui bahwa Tuhan kita menciptakan Isa di dalam Rahim?.”
“Benar.” jawab mereka
“Bukankah kalian mengetahui bahwa Isa dikandung ibunya sebagaimana wanita lain, kemudian melahirkan bayinya sebagaimana wanita lain, kemudian bayi itu diberi makan sebagaimana bayi lain, juga makan, minum, dan berhadas (buang air besar dan kecil)?.” tanya Rasulullah saw.
“Benar.” jawab mereka
“Bukankah kalian mengetahui bahwa Tuhan tidak makan, tidak minum, dan tidak berhadas,” jelas Rasulullah saw.
“Benar.” sahut mereka
“Lalu, bagaimana mungkin kalian menganggap Isa sebagai anak Tuhan?.” tanya Rasulullah saw.
Ternyata, logika Rasulullah saw. membungkam mulut mereka. Lalu mereka saling berpandangan dan diam seribu bahasa. Kemudian, mereka melangkah lunglai menuju pintu masjid dan keluar dalam keadaan diam dengan kepala tertunduk.
Wallahu A’lam
Sumber : Ensiklopedia Al-Qur’an