Puluhan tahun silam, orang Indonesia membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk melaksanakan ibadah haji. Selain itu, jumlah jemaah haji juga masih sedikit, jadi kesempatan untuk berkenalan dan merekam aneka kenangan dengan orang se-tanah air begitu leluasa.
Setelah mereka pulang ke kampung halaman masing-masing banyak terjalin silaturrahim secara berkelanjutan.
Kiai Ahmad Dalhar, Watucongol, Muntilan, Magelang suatu saat melakukan rangkaian ibadah haji. Ia bertemu dengan seorang lelaki yang sebelumnya belum pernah bertemu sama sekali. Di antara percakapan keduanya sebagai berikut:
“Nama anda siapa?” tanya Mbah Dalhar
“Nur Muhammad” jawab si lelaki
“Asli mana?” tanya Mbah Dalhar
“Magelang” jawab si lelaki
“Lho, lha saya ini juga asli Magelang. Anda mana?” kata Mbah Dalhar
“Salaman” sahut si lelaki
“Salamannya mana?” tanya Mbah Dalhar lagi
“Ngadiwongso” terang si lelaki
Ngadiwongso adalah salah satu desa di Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dengan kata lain, Kiai Dalhar dan Kiai Nur Muhammad satu kabupaten, tapi beda kecamatan.
Setelah berbicara panjang lebar, Kiai Nur Muhammad berpesan kepada Mbah Dalhar “Besok, kalau pulang, bila ada waktu silahkan mampir, pinarak (silaturahim) ke rumah saya ya!”
Waktu bergulir hingga cukup lama, Mbah Dalhar tidak segera berkunjung. Begitu pula sebaliknya, Kiai Nur Muhammad juga belum pernah mendatangi rumah Mbah Dalhar sejak kali pertama bertemu saat musim haji kala itu.
Suatu saat, Mbah Dalhar mendapat undangan sebuah acara pada satu tempat, pada era di mana belum banyak masyarakat yang mempunyai kendaraan mewah seperti sekarang ini. Waktu itu Mbah Dalhar diantar oleh H. Bukhari, hartawan asal Desa Tirto, Grabag, Magelang.
Selepas pulang dari acara, mobil yang ditumpangi Mbah Dalhar tiba-tiba mogok di tengah jalan. Antara Mbah Dalhar dan H. Bukhari tidak tahu di desa mana tepatnya mereka berhenti sekarang ini. Keduanya hanya paham kalau mobil mereka sedang mogok di wilayah Kecamatan Salaman. Keduanya mencoba bertanya kepada warga sekitar.
“Maaf, Tuan, kalau boleh tahu, numpang nanya nih. Ini desa apa ya?”
“Oh, ini desa Ngadiwongso, Ndoro,” begitu jawab penduduk setempat.
“Lho, kebetulan sekali. Kalau begitu kita mampir saja ke rumah KH. Nur Muhammad. Dia itu kawan baik saat aku haji dulu, katanya ia bertempat tinggal di desa Ngadiwongso,” kata Mbah Dalhar kepada H. Bukhari sembari mengingat, menerawang beragam kenangan indah bersamanya.
Mbah Dalhar kembali mencoba bertanya kembali pada warga yang barusan ditanya itu, “Apakah Tuan tahu alamat KH. Nur Muhammad?”
“Oh, iya, di sebelah sana, Ndoro,” jawabnya sembari memberikan arah yang jelas, alamat tidak terlampau jauh dari lokasi.
Bersama H. Bukhari, Mbah Dalhar menuju dan kemudian sampai di rumah tujuan, kediaman Kiai Nur Muhammad. Rumahnya persis di samping rumpun bambu nan asri. Dan di sana, layaknya tamu terhormat, keduanya dijamu istimewa. Saking istimewanya, jamuan makanan dan minuman yang disajikan oleh Kiai Nur Muhammad ini membuat H. Bukhari tidak akan pernah lupa semasa hidupnya di dunia.
Bagaimana tidak? Setelah menyantap menu sajian Kiai Nur Muhammad, H. Bukhari mengaku tak pernah merasa lapar dan dahaga sama sekali. Selain itu, ia menjadi tak punya ketertarikan dengan ragam makanan apapun setelah menikmati hidangan Kiai Nur Muhammad. Baginya, selama hidup, kelezatan makanan apapun tidak ada yang sebanding dengan milik Kiai Nur Muhammad.
Sekitar sepuluh hari berselang, H. Bukhari yang disebut masyarakat sekitar sebagai hartawan kaya raya mendapat undangan pada sebuah acara keluarganya di suatu daerah. Sampai saat itu pula, ia masih merasakan kenyang atas makanan sepuluh hari silam. Ia juga masih tak punya selera makan. Namun, ia kalah ketika tuan rumah sedikit menegurnya karena kurang melegakan hati penyedia makanan.
“Iya ya, kalau anda itu memang orang kaya, pasti tidak berkenan makanan orang miskin seperti kami ini,” kata tuan rumah, memelas.
Merasa tidak enak hati, sekaligus iba, H. Bukhari memaksa diri untuk menyantap sajian. Nahas, kenikmatan kenyang yang tidak kunjung hilang sejak sepuluh hari lalu itu lenyap, menghilang seketika. Ia kembali merasa lapar dan merasakan sebagaimana sebelum memakan pemberian Kiai Nur Muhammad.
H. Bukhari pun kaget dan bertanya-tanya, “ada apa ini sebenarnya?”. Setelah ia telisik mendalam, ia kemudian mendapati jawabnya. Ternyata Kiai Nur Muhammad sudah wafat beberapa waktu lalu. Sedangkan jenazahnya dimakamkan di pemakaman yang di sampingnya ada rumpun bambu persis dengan ciri-ciri sekitar perumahan di mana ia mendapat jamuan makan bersama Kiai Dalhar.
Ia menarik kesimpulan, bahwa ia sedang menerima jamuan dari orang yang sudah meninggal. Dan kisah ini menunjukkan tentang kebenaran sebuah ayat yang menyatakan, orang yang meninggal di jalan Allah itu tidaklah mati. Mereka hanya pernah merasakan mati sekali saja. Setelah itu mereka hidup kembali dan diberi rezeki oleh Allah SWT.
Jangan engkau menyangka orang yang meninggal di jalan Allah itu mati, melainkan mereka hidup dihadapan Allah dan diberi rezeki. (QS. Ali Imran: 169)
Kisah ini disarikan dari mauidzah hasanah KH. Thoifur Mawardi pada acara Haul Masyayikh dan Khotmil Qur’an Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta, Jawa Tengah.
Wallahu A’lam
Sumber: bangkitmedia.com