“Hanya ngaji Taqrib saja!”
Itulah jawaban singkat Kyai Adlan Ali saat diwawancarai oleh peneliti dari Leknas dan UGM. Sewaktu diajukan pertanyaan, “ngaji apa kepada Hadlratussyekh ?” Padahal, siapapun tahu, selain hafal Al-Qur’an alim berbagai khazanah disiplin keilmuan.
Tentunya, sang peneliti dibuat bingung bukan alang kepalang, lantaran tak sebagaimana lainnya yang cenderung justru memamerkan kepintarannya saat diminta pendapatnya.
Itulah, sesisi potret Yai Adlan. Selalu menyembunyikan kelebihan dirinya di hadapan orang lain. Senantiasa menganggap dirinya “biasa biasa” saja, tak ubahnya yang lainnya.
Menyebut dirinya al-haqir dan al-dhaif tak jemu-jemunya ditunjukkan kepada publik. Pernah mendengar Yai Adlan bertausiah? Acapkali sekedar berdoa, narasi dan tutur katanya lebih panjang hanya saat menjadi qari’ Taqrib setiap ramadhan di serambi masjid pesantren Tebuireng.
Dan, hujan-pun turun begitu derasnya di langit Tebuireng. Entah alasan apa yang mendorongnya mesti bergegas kembali ke dalemnya di Tjoekir (Cukir, Jombang) selepas membaca Taqrib pada khataman kitab ramadhan di serambi masjid pesantren Tebuireng.
Tak menunggu hujan reda. Sebagaimana kebiasaannya, Yai Adlan selalu berjalan kaki Tjoekir-Tebuireng. Masya Allah, saya di antara saksinya, sekujur tubuh Yai Adlan tak tersentuh oleh air hujan. Seolah hujan itu menghindarinya.
|
KH. Adlan Ali (membawa mic) |
Lazimnya, memanglah setiap bacaan Taqrib sampai kepada bagian shalat istisqa’, kendati bukan musim hujan, tiba-tiba langit berselimut mendung dan tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya.
Dan, kejadian itu berulang di setiap tahunnya. Bisa dimengerti, bila lahir biografi Yai Adlan dalam kemasan “Karomah dan Waliyullah”.
Semoga ilmu yang kita terima bermanfaat.
Penulis: KH. Cholidy Ibhar, alumni Pesantren Tebuireng.
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!