Para kiai Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai tradisi yang begitu luhur, apalagi terkait jabatan. Para kiai selalu berebut menolak jabatan, karena selalu merasa tidak pantas. Itulah akhlaq luhur yang menjadi karakter para kiai, bahkan hingga saat ini.
Setelah Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari wafat tahun 1947, para kiai menolak menduduki jabatan Rais Akbar NU. Saat itu, mayoritas kiai menghendaki KH. Wahab Chasbullah untuk menduduki Rais Akbar. Setelah melalui penolakan berkali-kali, akhirnya Kiai Wahab bersedia, itupun dengan satu konsensus yakni mengganti istilah Rais Akbar dengan Rais Aam. Kiai Wahab tak berani menduduki jabatan Rais Akbar yang sudah melekat dalam diri Kiai Hasyim Asy’ari.
Ketika Kiai Wahab sudah sering sakit, para muktamirin sepakat menunjuk Kiai Bisri Syansuri sebagai pengganti. Namun Kiai Bisri tetap menolak. Menurut Kiai Bisri, selama masih ada Kiai Wahab, meski beliau sakit dan hanya bisa sarean (tiduran) saja, beliau tidak akan bersedia mengganti.
Sepeninggal Kiai Wahab Chasbullah tahun 1971, maka Kiai Bisri Syansuri baru bersedia menjadi Rais Aam. Demikian juga ketika Kiai Bisri wafat tahun 1980, para kiai juga berebut menolak jabatan.
Para Kiai sepuh berembug (berdiskusi) memilih pengganti. Saat itu, Kiai As’ad Syamsul Arifin yang ditunjuk untuk menjadi Rais Aam, tapi beliau dengan tegas menolak karena merasa belum pangkatnya.
Bahkan saat dipaksa oleh para kiai, Kiai As’ad berkata: “Meskipun Malaikat Jibril turun dari langit untuk memaksa saya, saya pasti akan menolak!!”
“Yang pantas itu Kiai Mahrus Ali!” lanjut Kiai As’ad
Kiai Mahrus Ali pun bereaksi saat namanya disebut Kiai As’ad, sembari berkata : “Jangankan Malaikat Jibril, kalaupun Malaikat Izrail turun dan memaksa saya, saya tetap tidak bersedia!”
Akhirnya musyawarah ulama di Kaliurang tahun 1981 memutuskan memilih Kiai Ali Maksum Krapyak, padahal saat itu beliau tidak hadir.
|
KH. Mahrus Ali, KH. As'ad, dan KH. Ali Maksum |
Kisah yang sama juga ditunjukkan KH.A. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam Muktamar Jombang 2015. Semua ulama sepakat menunjuk Gus Mus sebagai Rais Aam, tetapi Gus Mus tetap menolak. Posisi Rais Aam akhirnya jatuh kepada KH. Ma’ruf Amin yang sebelumnya sama sekali tidak terdengar dicalonkan.
Itulah tradisi luhur para kiai NU. Tradisi menolak jabatan, tidak pernah ingin merebut jabatan. Semoga memberikan berkah kepada bangsa dan negara tercinta ini.
Wallahu A’lam
Sumber: bangkitmedia.com
ADS HERE !!!