Dalam suatu kesempatan, penulis silaturahim ke mantan Ketua PCNU Kota Pekalongan KH. Mahmud Masykur yang rumahnya di kawasan belakang Masjid Al-Jami Kauman. Kiai Masykur menceritakan seputar sosok Gus Dur yang datang ke Pekalongan. Kisaran tahun 1978 saat itu ketika petang tiba-tiba saya dikagetkan dengan kehadiran sosok idola warga NU, pemikir sekaligus penggerak NU di jantung tradisi, dialah Gus Dur. Kiai Masykur mulai bercerita:
Tanpa mengabari sebelumnya, tiba-tiba beliau ketuk pintu rumah, setelah kubuka pintu dan kupersilahkan duduk, beliau menyampaikan bahwa kehadirannya ke Pekalongan meminta diantar untuk ziarah kepada para alumni Pesantren Tebuireng Jombang.
Bergegas saya menghubungi H. Zaky Junaid untuk mempersiapkan mobil terbarunya Mercedez Benz C-200. Setelah mobil siap dengan sopirnya, saya katakan: "Ayo Gus, monggo kita jalan." Dengan kesederhanaannya, Gus Dur menjawab: “Ojo numpak mobil, awakmu duwene opo?” (Jangan naik mobil, kamu punyanya apa?). Saya (KH. Mahmud Masykur) menjawab: “Aku duwene sekuter (vespa) Gus”. (Saya punyanya motor vespa Gus.). Gus Dur berseloroh: "iyo wis, kuwi wae" (Ya sudah, motor saja).
Setelah itu, langsung saja saya antarkan keliling Pekalongan untuk silaturahim dan ziarah yang diinginkan Gus Dur, yaitu kepada para alumni yang masih hidup juga kepada para alumni yang sudah kapundut (meninggal). Kebetulan mayoritas yang didatangi tidak berada di rumah. Keliling itu sampai sekitar pukul 00.00 (dinihari) setelahnya kembali lagi ke rumah kami.
Sampainya ke rumah sudah banyak orang berkumpul, terhitung puluhan aktivis muda Pekalongan yang tergabung dari PMII, IPNU dan PII berkumpul di rumah. Mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas hadirnya tokoh idola di Kota Pekalongan. Aktivis muda itu meminta Gus Dur untuk memberikan brifing terkait bagaimana langkah gerak ke depan untuk menjalankan organisasi di tengah kepemimpinan nasional Orde Baru yang penuh tirani dan kebijakan yang otoriter. Briefing berlangsung hangat dengan lontaran-lontaran pertanyaan dari aktivis muda Pekalongan hingga tidak terasa waktu menunjukkan pukul 3 dini hari.
"Gus sudah pukul 3, mari istirahat", kataku. Gus Dur menjawab: "Aku arep langsung ning Jogjakarta jam 9 isuk wis janjian kepanggih KH. Ali Maksoem". "Monggo mobil sudah siap Gus untuk mengantar ke Jogja (mobil terbarunya H. Zaky Junaid sudah disiapkan di depan Gang Kauman Gg X)". Gus Dur menjawab: "Ora usah repot-repot, aku moh numpak mobil, aku boncengke wae numpak skutermu mau, aku tak numpak bis umum". Dengan berat hati atas keinginan Gus Dur langsung saja saya antarkan naik skuter ke bangjo Grogolan untuk menunggu bis malam hingga sekitar pukul 03.30, menjelang subuh tiba bis malam dari Jakarta lewat, dan lalu berhenti, Gus Dur naik bis itu sendirian dengan menenteng plastik dipundaknya.
Sosok Gus Dur memang begitu egaliter anti-mainstream, sederhana, bersahaja, hidupnya diwakafkan untuk pesantren, NU dan NKRI. Di kemudian hari beliau menjadi Ketua Umum PBNU dan menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4. Lahul Fatihah
Penulis: Abdul Adhim (Ketua PC Lakpesdam NU Kota Pekalongan, Dosen UIN Abdurrahman Wahid)
Sumber: Situs PBNU
ADS HERE !!!