Guru, sebuah
sebutan bagi orang yang biasa mengajar dan mendidik murid atau santrinya. Dulu,
istilah guru sangat disegani dan dihormati, lebih-lebih di kalangan pesantren.
Sebab, guru pada waktu itu benar-benar menjadi seorang sosok yang pantas digugu
dan ditiru. Dari mulai sepak terjangnya sampai akhlak dan bimbingannya.
Namun,
seiring berjalannya waktu dan perubahan budaya serta cara pandang masyarakat
sekarang, istilah tersebut seolah termakan oleh zaman dan luntur dengan
sendirinya. Apakah salah gurunya, ataukah murid atau santri yang salah?
Saya mencoba
menganalisa dari sudut pandang saya sendiri;
Pertama,
perkembangan zaman yang dibarengi dengan percampuran budaya (timur dan barat)
seolah menjadi tren di satu sisi dan menjadi bencana moral di lain sisi. Ini tidak
mustahil, karena sebelum masuknya hingar-bingar budaya barat secara
besar-besaran, masih banyak murid dan santri yang sangat menghormati guru atau
kyainya. Dari mulai penghormatan dalam perilaku (menunduk ketika guru atau
kyainya lewat di depannya dll.) sampai penghormatan dalam doa (mendoakan guru
atau kyainya). Mungkin di kalangan pesantren sekarang ini masih dibilang belum
berkurang, namun di kalangan pendidikan formal, hal itu sudah terlihat jarang
sekali. Padahal budaya bangsa Indonesia sangatlah menjunjung tinggi peran guru
atau kyai. Berbeda dengan budaya barat yang lebih banyak negatifnya daripada
positifnya. Saya ambil contoh dalam penyampain bahasa sehari-hari, dalam budaya
jawa, memanggil orang yang dihormati (orang yang lebih tua, orangtua, guru atau
kyai) dengan “panjenengan” kalau orang biasa dengan “sampeyan”,
sedang di budaya barat dengan bahasa yang sama antara orang biasa atau orang yang
dihormati dengan “you”. Dari situlah, bisa sedikit digambarkan bahwa
sebenarnya bangsa Indonesia lebih beradab dan bermoral daripada orang-orang
barat. Akan tetapi, mengapa orang-orang sekarang lebih enjoy dan bangga memakai
tradisi dan budaya barat daripada budaya bangsa sendiri. Ironis, itulah kata
yang hanya bisa saya ungkapkan.
Kedua, sosok guru, ustadz
atau kyai punya peran besar dalam mendidik dan mencerdaskan anak-anak bangsa. Kemajuan
dan perkembangan bangsa ini adalah ditentukan oleh didikan dan bimbingan guru
atau kyai. Pada zaman walisongo, sosok wali atau kyai sebagai guru masyarakat sangat
berperan besar dalam membina dan meluruskan tradisi dan budaya yang sangat
tidak beradab. Dengan peran walisongo itulah yang dikenal dengan slogan “moh
limo”, masyarakat mulai berangsur-angsur meninggalkan kebiasaan mendem
(mabuk-mabukan), madon (gila wanita), main (judi), mateni
(membunuh), dan maling (mencuri). Namun, seiring perkembangan masakini
yang notabene tidak lebih baik dari zaman dulu. Peran guru dan kyai sangat
jarang diperhatikan, saya ambil contoh peran kyai, ketika seorang kyai
memberikan fatwa atau nasihat yang baik dan cenderung tidak tren, maka jarang
sekali orang yang merealisasikannya. Akan tetapi, kalau tontonan televisi
memberikan fatwa secara tidak langsung, masyarakat seolah-olah terhipnotis
olehnya. Itulah mengapa, dulu alm. KH. Zainuddin MZ. mewanti-wanti
(memperingatkan) bahwa zaman sekarang akan lebih banyak tontonan (tv) dijadikan
tuntunan. Sangat ironis
Guru,
sebagai tonggak dan garda depan dalam mendidik dan membina anak-anak bangsa
haruslah didukung dan diberikan penghormatan yang lebih baik. Saya sangat ingat
jasa mantan presiden RI ke-4 yakni KH. Abdurrahman Wahi (Gus Dur) dalam
memperhatikan peran dan jasa para guru. Dengan jasa Gur Dur itulah, gaji guru
PNS dan non-PNS naik 100%. Namun, guru sendiri juga harus bersikap professional
dan disiplin dalam mengemban amanah sebagai seorang pendidik. Dengan rasa
hormat, saya berpendapat, seharusnya guru menjadi contoh dan suri tauladan yang
terbaik bagi muridnya, dari mulai berperilaku sampai keikhlasan dalam mengajar
dan mendidik murid-muridnya. Sebab, terkadang (maaf) seorang guru (PNS maupun
non-PNS) lebih terfokus pada penghargaannya (gajinya), bukan pada misi dan
amanahnya. Yang pada akhirnya, ilmu dan ajarannya tidak barokah dan hanya
sedikit manfaat yang didapat.
Berbeda
halnya dengan guru atau ustadz di kalangan madrasah atau pesantren, mereka biasanya
lebih banyak diniatkan karena linnasyril ilmi lillahi ta’ala, jadi,
sangat mustahil mereka mengharapkannya lebih.
Maka, di
hari guru tahun ini, marilah kita sebagai anak-anak bangsa yang sadar akan
pentingnya ilmu dan pendidikan. Hargailah perjuangan para guru, ustadz atau kyai,
hormatilah mereka dan berterima kasihlah kepada mereka, yang telah mendidik dan
membimbing kita semua. Dengan lantaran jasa merekalah, kita bisa menjadi
manusia yang tahu, mengerti dan paham akan ilmu dan pendidikan.
“ TERIMA
KASIH GURU – GURU KAMI “
“ SEMOGA
PERJUANGAN DAN JASAMU MENDAPAT BALASAN DARI ILAHI RABBI ”
al-Faqier Ila Rahmati Rabbih
Saifurroyya
26-11-13, Kaliwungu Kota Santri
ADS HERE !!!