“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran : 92)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari Anas ra., bahwa Abu Thalhah ialah salah seorang sahabat Anshar yang paling banyak memiliki pohon kurma. Yang paling disenanginya berada di Bairuha', di depan Masjid Nabawi. Nabi saw. sering memasuki dan meminum air segar darinya. Namun tatkala ayat ini turun, Abu Thalhah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya hartaku yang paling aku cintai ialah Bairuha'. Ia kusedekahkan kepada Allah swt. sebagai baktiku kepada-Nya, dan semoga menjadi simpanan di sisi-Nya. Silakan engkau gunakan sesuai dengan yang telah dianjurkan Allah kepadamu.” Kemudian Nabi saw. menjawab, “Bakhin, (bakhin ialah kalimat yang diucapkan sebagai ungkapan tentang keridaan dan takjub terhadap sesuatu) itu merupakan harta yang menguntungkan. Aku telah mendengar perkataanmu, dan menurut hematku sebaiknya hal itu diberikan kepada para kerabat(mu).” Kemudian, Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada seluruh kerabat dan anak-anak pamannya.
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, “Kemudian Abu Thalhah menjadikannya untuk Hissan bin Tsabit dan Ubaiy bin Ka‘ab.”
Ibnu Abi Hatim mengeluarkan sebuah hadis dari Muhammad bin Munkadir, bahwa ketika ayat diatas turun, Zaid bin Haritsah datang kepada Rasulullah dengan mengendarai kuda kesayangannya bernama Sabal. Baginya, tidak ada lagi miliknya yang lebih dicintai dibanding kudanya tersebut. Kemudian ia berkata, “Ia kusedekahkan.” Lalu Rasulullah saw. menerimanya, kemudian kuda tersebut dituntun oleh anaknya yang bernama Usamah. Tetapi seolah dalam diri Zaid terbaca penyesalan, ketika Rasulullah saw. melihat hal tersebut darinya, beliau bersabda, “Ingatlah bahwa Allah telah menerimanya.”
Hadis tersebut dan sebelumnya merupakan bukti-bukti konkret yang menunjukkan kecerdikan siasat agama pada diri Rasulullah saw. dan pengetahuan beliau tentang hal-hal yang terpendam dalam hati seseorang. Beliau telah melihat bahwa Abu Thalhah dan Zaid telah mengeluarkan harta yang paling dicintai demi cintanya kepada agama. Tetapi beliau menjadikannya untuk para kerabat, guna menyempurnakan keimanan dan memantapkan hati mereka. Juga untuk menutup jalan setan agar jangan sampai menggoda keduanya, yang akhirnya mereka menyesal tatkala melihat harta tercinta berada di tangan orang lain (bukan kerabatnya). Sebab, sering seseorang memisahkan sesuatu yang dicintainya untuk agama atau karena kedermawanan dirinya, tetapi tidak lama kemudian ia merindukannya kembali. Oleh karena itu, Rasulullah saw. memerintahkan para amil zakat berhati-hati terhadap harta-harta yang dicintai pemiliknya, dan memerintahkan agar menjauh darinya ketika penarikan zakat.
Dan di sana masih banyak bukti yang menunjukkan hal itu. Di antaranya yang dikeluarkan oleh Abdu bin Humaid dari Ibnu Umar, bahwa ketika ayat diatas sampai kepadaku, lalu aku teringat yang telah dianugerahkan Allah kepadaku yang paling kucintai, yakni Marjanah (seorang sahaya (budak) wanita Romawi). Lalu segera aku berkata, “Ia kubebaskan karena Allah. Seandainya aku membatalkan yang telah kujadikan untuk Allah, niscaya aku akan menikahinya.” Kemudian beliau menikahkannya dengan Nafi‘ (orang yang telah dimerdekakannya).
Coba Anda lihat dan renungkan, bahwa dirinya telah digoda oleh perasaan, ingin segera memiliki lagi setelah ia memerdekakannya dan tidak akan berpisah darinya seandainya tidak ada janji terhadapnya, yakni tidak akan mengambil kembali sesuatu yang telah dijadikan untuk Allah. Sekalipun demikian, ia tetap menjadikannya untuk orang yang paling dicintainya, yaitu bekas hamba sahayanya.
Wallahu A’lam
Sumber : Tafsir Al-Maraghi
ADS HERE !!!