Sepulang dari
madrasah, Labib (kelas 3 MI Qudsiyah) bertanya, “Iblis itu beriman kepada Allah
tidak?” Jawab ayahnya, “Oh ya, Iblis beriman kepada Allah, bahkan Iblis pernah
berdialog dengan Allah ketika masih di Surga”
Syahdan,
dahulu kala ketika Manusia pertama kali diciptakan oleh Allah, para malaikat
diperintahkan sujud kepadanya, dan semua malaikat pun sujud, kecuali Iblis.
Pembangkangan Iblis tersebut menuai kemarahan Allah, akhirnya Iblis pun
‘dipersilahkan’ untuk menghuni Neraka Jahanam. Namun, lagi-lagi Iblis meminta
kepada Allah untuk menangguhkan eksekusinya, dan agar diijinkan untuk membawa Manusia
bersamanya. Dan Tuhan pun mengabulkannya.
Dari cerita
di atas, tidak cukup alasan untuk mengatakan bahwa Iblis tidak beriman kepada
Allah. Bahkan Iblis telah lebih dahulu ‘kenal’ dan ‘dekat’ dengan Allah
dibanding Manusia. Iblis percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah, beberapa Ulama
menyatakan bahwa ketauhidan yang hakiki adalah ketauhidan yang dimiliki oleh Iblis.
Mereka hanya mau bersujud kepada Allah, dan tidak kepada Makhluk apa pun.
Lalu kenapa Iblis
kemudian mesti menerima ganjaran menjadi penghuni Neraka Jahanam? Apakah hanya
sekedar akibat tidak mau bersujud kepada Manusia? Padahal dalam Perspektif Tauhid,
sikap tersebut justru amatlah tepat, karena bersujud kepada makhluk lain
berarti telah menyekutukan Tuhannya. Atau karena ego Allah yang tersinggung
oleh sikap Tauhid sang Iblis, sehingga untuk menutupi ‘kesalahan’-Nya, maka dengan
kekuasaan-Nya Iblis pun harus menuai derita dengan menghabiskan hidup dan
kehidupannya di Neraka Jahanam.
Bukan karena
ego Allah, bukan pula karena ia mempertahankan sikap Tauhidnya yang membuat
Iblis dibuang ke Neraka Jahanam. Iblis layak menghuni Neraka Jahanam karena tidak
ada ketaatan dalam imannya. Beriman bukanlah sekedar percaya dan yakin, tetapi
juga terwujud dalam perbuatan. Taat, tunduk dan patuh terhadap apa yang
diimaninya, itulah esensi dari beriman. Tiada keimanan tanpa ketaatan.
Iblis hanya
tunduk dan patuh pada hal-hal yang ia mau, tetapi ia senantiasa akan
membangkang untuk hal-hal yang tidak ia suka. Padahal ketaatan, ketundukan dan
kepatuhan harusnya pada hal-hal yang semestinya, bukan pada hal-hal yang
dimaui. Bukan merupakan sebuah ketaatan apabila hanya sekedar dilandaskan pada
apa yang ‘kita’ mau. Sebuah ketaatan dilandaskan pada apa yang semestinya.
Iblis hanya
mau memahami apa yang ia mau, dan menganggap apa yang sudah ia pahami sebagai
kebenaran yang sebenar-benarnya. Padahal kebenaran yang ia pahami itu bukanlah
kebenaran yang sebenar-benarnya, tetapi hanya sekedar kebenaran yang ia mau atau
dengan bahasa lain adalah Pembenaran. Alasan Iblis untuk tidak mau bersujud
pada Manusia adalah karena ia memahami (baca: merasa) bahwa ia ‘lebih tinggi’
daripada Manusia. Ia sama sekali menampik pemahaman bahwa ia ‘mesti’ bersujud
bukan karena ‘kalah’ atau ‘lebih rendah’ daripada Manusia, tetapi karena memang
itu adalah perintah Tuhan.
Iblis
senantiasa mengedepankan kemauan (baca: nafsu) dan menafikan kemestian. Iman Iblis
hanya dibangun atas sekedar percaya dan sama sekali tidak ada ketaatan di
dalamnya. Iblis hanya mau menjalankan kebenaran yang dimauinya, di luar
‘kebenaran’ itu adalah salah. Dengan keimanannya itu bahkan ia melupakan hak
dan kewenangan Tuhan sebagai Pemilik Kebenaran.
Sumber : www.haromain.org
ADS HERE !!!