Silsilah Keluarga
KH. Muhammad Arwani Amin lahir pada tanggal 5 September 1905 atau 5 Rajab 1323 H di kampung Madureksan, Kerjasan, kira-kira 100 meter sebelah selatan Masjid Menara. Beliau adalah anak kedua dari pasangan H. Amin Said dan Hj. Wanifah. Dari pasangan H. Amin Said dan Hj. Wanifah lahir 12 anak, masing-masing 6 anak perempuan dan 6 anak laki-laki. Nama-nama anak dari pasangan H. Amin Said dan Hj. Wanifah adalah: 1.) Muzaiah, 2.) KH. Muhammad Arwani Amin, 3.) Farhan, 4.) Solihah, 5.) Abdul Muqsit, 6.) Hafiz, 7.) Muhammad Da‟in, 8.) Ahmad Malih, 9.) I’anah, 10.) Ni’mah, 11.) Muflihah, 12.) Uliya
Silsilah keluarga KH. Muhammad Arwani Amin menunjukan memang beliau lahir dari keluarga yang taat beragama. Kakek beliau dari bapak, KH. Imam Haramain merupakan salah satu tokoh ulama terkemuka di Kudus yang sangat dihormati dan disegani. Sedangkan bila dilihat silsilah keluarga dari ibu, maka ditemukan nama salah seorang tokoh pahlawan besar Indonesia, pahlawan nasional, yaitu Pangeran Diponegoro. Nama Pangeran Diponegoro terdapat dalam silsilah KH. Muhammad Arwani Amin melalui garis ibu. Dengan perincian sebagai berikut:
KH. Muhammad Arwani Amin bin Hj. Wanifah binti Rosimah binti Sawijah binti Habibah binti Mursyid bin Jonggrang bin Pangeran Diponegoro
Jika dilihat dari latar belakang silsilah beliau, maka sangat wajar bila KH. Muhammad Arwani Amin menjadi ulama yang mumpuni ilmunya karena memiliki garis silsilah keluarga yang juga dalam ilmu agamanya.
KH. Muhammad Arwani Amin hidup dalam lingkungan masyarakat santri yang sangat ketat dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama. Sejak masih kecil beliau selalu dididik untuk patuh kepada orang tua dan taat mengamalkan ajaran agama. Didukung oleh lingkungan santri dan didikan yang baik dari orangtuanya membuat KH. Muhammad Arwani Amin tumbuh sebagai pribadi yang punya kepribadian yang baik. Kepribadian beliau yang baik itulah yang membuat beliau selalu dicintai oleh orang-orang disekitarnya.
Pendidikan KH. Muhammad Arwani Amin
Sebagai seorang ulama yang terkenal dengan kedalaman ilmunya tentunya KH. Muhammad Arwani Amin memiliki latar belakang pendidikan. Pada saat KH. Muhammad Arwani Amin masih kecil, Indonesia masih dijajah Belanda. Salah satu kebijakan pemerintah kolonial Belanda adalah membatasi akses pendidikan yang mereka miliki untuk rakyat Indonesia dan hanya memberikannya kepada kalangan warga Belanda dan kalangan priyayi. Hal ini menyebabkan semua putra-putri H. Amin Said tidak ada yang menempuh pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda termasuk KH. Muhammad Arwani Amin.
Sebagai solusi atas permasalahan pendidikan terhadap anak-anaknya, H. Amin Said memasukan anak-anaknya di lembaga pendidikan agama tanpa terkecuali KH. Muhammad Arwani Amin. Dalam menempuh jenjang pendidikannya, KH. Muhammad Arwani Amin dapat dibagi ke dalam beberapa masa belajar. Ada beberapa tahapan belajar yang dilalui KH Muhammad Arwani Amin. Tahapan-tahapan itu adalah sebagai berikut:
Masa Belajar di Kudus
KH. Muhammad Arwani Amin memulai pendidikannya di Madrasah Mu’awanatul Muslimin Kenepan diusia tujuh tahun. Madrasah ini merupakan madrasah pertama di Kudus yang didirikan oleh organisasi Sarekat Islam(SI) pada tahun 1912. Pada masa awal berdirinya, madrasah ini dipimpin oleh KH. Abdullah Sajad (kakek istri KH. Muhammad Arwani Amin) dan salah satu tenaga pengajarnya adalah KH. Imam Haramain (kakek KH. Muhammad Arwani Amin).
Mata pelajaran yang ada di sekolah ini antara lain ilmu nahwu, sharaf, bahasa Arab, tajwid, fiqh, akhlak, dan lain-lain. KH. Muhammad Arwani Amin adalah angkatan pertama dari madrasah ini. Selama belajar di madrasah ini, prestasi KH. Muhammad Arwani Amin cukup menonjol bila dibandingkan dengan teman-teman seangkatannya. Beliau lulus dari madrasah ini pada tahun 1918.
Sekarang madrasah ini masih berdiri kokoh dan masih berjalan yang terletak bersebelahan dengan madrasah Qudsiyyah. Madrasah ini sekarang dilanjutkan tongkat estafet perjuangannya oleh KH. Ulin Nuha (putra KH. Muhammad Arwani Amin). Selain belajar di madrasah KH. Muhammad Arwani Amin juga belajar membaca Al-Qur’an bin nadhor dengan K. Syiraj di kampung Kelurahan. Selain belajar kepada K. Syiroj, KH. Muhammad Arwani Amin juga belajar berbagai kitab-kitab klasik seperti Tafsir Jalalain, Bidayah al-Hidayâh, al-Hikâm dan Shahîh al-Bukhârî kepada KH.R. Asnawi (salah satu Pendiri NU).
Masa Belajar di Jamsaren, Solo
Setamat dari madrasah Mu’awanatul Muslimin, KH. Muhammad Arwani Amin muda melanjutkan jenjang pendidikannya di madrasah Mamba’ul Ulum Solo. Madrasah ini didirikan atas prakarsa Sunan Paku Buwono X pada tahun 1913 yang terletak di sebelah selatan masjid Agung Surakarta. Madrasah ini pada saat itu selalu dihubungkan dengan pondok pesantren Jamsaren yang letaknya berdekatan dengan madrasah tersebut karena sosok KH. Idris (murid KH. Sholeh Darat Semarang) yang pada saat itu ditunjuk sebagai pimpinan madrasah tersebut yang sekaligus juga pengasuh pondok pesantren Jamsaren. Oleh karena itu, setiap santri pondok pesantren Jamsaren pasti juga menuntut ilmu di madrasah Mamba’ul Ulum.
Ketika waktu pagi, para santri belajar di madrasah Mamba’ul Ulum, lalu sore dan malam harinya belajar atau mengaji kitab di pondok. Guru-guru yang mengajar di madrasah Mamba’ul Ulum adalah ulama terkemuka yang ada di Surakarta, diantaranya KH. Idris, K. Abdul Jalil, dan KH. Abu Amar.
Selama di pondok Jamsaren, KH. Muhammad Arwani Amin belajar berbagai disiplin ilmu seperti ilmu nahwu, sharaf, fiqh, ushul fiqh, balaghah, mantîq, ilmu tajwîd dan qiraat, ilmu tafsir, hadîs, tasawûf dan ilmu falaq. Ilmu-ilmu inilah yang menjadi modal KH. Muhammad Arwani Amin untuk mengabdikan dirinya untuk kemajuan syiar Islam.
Kecerdasan dan kemampuan KH. Muhammad Arwani Amin dengan cepat diketahui KH. Idris tidak lama setelah beliau masuk pesantren Jamsaren. Hal tersebut membuat KH. Muhammad Arwani Amin ditunjuk oleh KH. Idris untuk membantu mengajar santri-santri lain di pesantren tersebut.
Selama tujuh tahun lamanya KH. Muhammad Arwani Amin belajar di Solo, selama itu beliau banyak memanfaatkan waktu untuk belajar tidak hanya di madrasah ataupun di pondok pesantren Jamsaren tetapi belajar pada K. Abu Su’ud. Aktifitas yang padat tersebut masih ditambah dengan belajar disiplin ilmu lain yang tidak diajarkan di madrasah maupun pondok pesantren.
Masa Belajar di Tebuireng, Jombang
Sepulang dari pondok Jamsaren, KH. Muhammad Arwani Amin melanjutkan perjalanan mencari ilmunya di pondok pesantren Tebuireng yang saat itu diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari. Pondok pesantren Tebuireng didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1899. Pondok pesantren Tebuireng pada saat KH. Muhammad Arwani Amin masih muda merupakan pondok pesantren yang menjadi salah satu rujukan utama untuk mempelajari Islam secara lebih mendalam dikarenakan sosok KH. Hasyim Asy’ari yang terkenal dengan kedalaman ilmunya dalam berbagai disiplin ilmu keislaman.
Intelektiualitas KH. Hasyim Asy’ari menjadi magnet yang menarik bagi setiap pecinta ilmu yang ingin menimba ilmu kepada beliau, termasuk juga KH. Muhammad Arwani Amin. Sampai-sampai guru beliau, KH. Kholil Bangkalan juga pernah ikut pengajian Shahîh al-Bukhârî kepada KH. Hasyim Asy’ari pada bulan Ramadhan.
KH. Muhammad Arwani Amin belajar di pondok pesantren Tebuireng selama empat tahun. Selama di sana KH. Muhammad Arwani Amin belajar berbagai kitab klasik dan juga mendalami pelajaran yang telah beliau pelajari selama di pondok pesantren Jamsaren. Selain belajar kitab-kitab klasik, KH. Muhammad Arwani Amin juga mulai mendalami kajian Qirâat Sab’ah melalui kitab Sirâh al-Qari karya Abdul Qosim Alî ibn Ustmân ibn Muhammad. Kitab Sirâh al-Qari merupakan kitab syarah (penjelasan) dari kitab Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni karya Abu Muhammad Qâsim ibn Fairah ibn Khalaf ibn Ahmad al-Ra’inî al-Syâthibî, yang dikenal di dunia pesantren dengan kitab al- Syâthibî .
Seperti halnya ketika di pondok Jamsaren, KH. Muhammad Arwani Amin di pondok Tebuireng juga ditunjuk oleh pengasuh pesantren untuk membantu mengajar para santri. Selain ikut membantu kegiatan mengajar di pondok pesantren, KH. Muhammad Arwani Amin juga ikut aktif di kegiatan “Kelompok Musyawarah”, yaitu kelompok para ustadz senior yang sebelum nyantri di pondok Tebuireng telah belajar di pesantren yang lain dan telah memiliki pengalaman mengajar.
Kelompok ini memang diproyeksikan oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai calon kiai penerus perjuangan beliau. Kegiatan terpenting dalam kelompok ini adalah mengikuti diskusi-diskusi yang membahas berbagai masalah yang sedang dialami oleh umat Islam terutama yang berkaitan dengan persoalan keagamaan, sehingga diharapkan alumni kelompok ini bisa memberikan solusi terhadap setiap problematika yang sedang hadapi umat.
Masa Belajar di Krapyak, Yogyakarta
Setelah belajar berbagai disiplin ilmu keislaman di pondok pesantren Tebuireng selama empat tahun ternyata belum memuaskan dahaga KH. Muhammad Arwani Amin akan ilmu. Beliau masih terus melakukan safari mencari ilmu. Dan yang menjadi tujuan selanjutnya dari perjalanan mencari ilmu KH. Muhammad Arwani Amin adalah pondok pesantren Krapyak di Yogyakarta.
Latar belakang KH. Muhammad Arwani Amin nyantri di pondok pesantren Krapyak semula hanya ingin mengantar adiknya yaitu Ahmad Da’in untuk belajar Al-Qur’an bil-ghoib kepada KH. Munawir. Akan tetapi karena pada saat itu adiknya masih kecil dan tidak mungkin ditinggal sendirian, maka KH. Muhammad Arwani Amin menemani adiknya untuk belajar Al-Qur’an bil-ghoib. Ternyata sosok KH. Munawir telah menarik hati KH. Muhammad Arwani Amin muda untuk ikut belajar kepada KH. Munawir.
Pada mulanya KH. Muhammad Arwani Amin berniat langsung belajar Qirâat Sab’ah kepada KH. Munawir, akan tetapi permintaan tersebut ditolak oleh KH. Munawir karena wasiat guru KH. Munawir di Makkah yang mengatakan untuk tidak mengajarkan Qirâat Sab’ah kecuali kepada mereka yang telah hafal Al-Qur’an 30 juz dengan baik dan benar. Waktu itu KH. Muhammad Arwani Amin belum hafal Al-Qur’an 30 juz sehingga beliau menghafalkan Al-Qur’an terlebih dahulu.
KH. Muhammad Arwani Amin mulai menghafal Al-Qur’an pada hari Rabu tanggal 10 Jumadil Ula 1347 H dan memulai setoran hafalannya pada hari Ahad tanggal 21 Jumadil Ula 1347 H. Berkat ketekunannya yang luar biasa KH. Muhammad Arwani Amin mampu mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya hanya dalam waktu dua tahun.
Setelah menyelesaikan hafalannya KH. Muhammad Arwani Amin mulai belajar Qirâat Sab’ah dengan menggunakan kitab al-Syâtibî dibawah bimbingan langsung KH. Munawir. Untuk mengkhatamkan Qirâat Sab’ah KH. Muhammad Arwani Amin membutuhkan waktu 9 tahun.
KH. Muhammad Arwani Amin mengkhatamkannya bersamaan dengan putra KH. Munawir yang bernama KH.R. Abdul Qadir Munawir yang khatam Al-Qur’an bil-ghaib. KH. Muhammad Arwani Amin adalah santri pertama dan satu-satunya murid KH. Munawir yang berhasil mengkhatamkan Qirâat Sab’ah kepada beliau karena tidak lama setelah itu KH. Munawir berpulang ke Rahmatulllah (wafat) pada hari Jum’at tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 1356 H.
Ketika belajar di pondok Krapyak KH. Muhammad Arwani Amin juga mempelajari kitab-kitab klasik Islam dibawah bimbingan KH. Tohir Wijaya di Wonokromo Yogyakarta. Jarak antara Krapyak dan Wonokromo adalah 20 km dan KH. Muhammad Arwani Amin menempuhnya dengan mengendarai sepeda setiap hari.
Menjelang KH. Muhammad Arwani Amin pulang ke Kudus, beliau mendapat wasiat dari KH. Munawir untuk mengajarkan kembali pelajaran yang beliau pelajari di pondok Krapyak yakni mengajar Al-Qur’an bin-nadhor, bil-ghoib, dan Qirâat Sab’ah. Dan setelah melepas kepergian KH. Muhammad Arwani Amin, KH. Munawir berpesan kepada murid-muridnya yang lain, beliau berkata, “Kalau kamu tidak mengaji Qirâat Sab’ah kepadaku, mengajilah kepada Arwani di Kudus”.
Masa Belajar di Undaan, Kudus (1943-1946)
Kecenderungan terhadap kehidupan wara’ (hidup bersih dengan selalu menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang agama dan hal-hal yang bersifat makruh serta banyak mengerjakan ibadah-ibadah baik wajib ataupun sunah) sudah terlihat pada diri KH. Muhammad Arwani Amin sejak kecil. Kecenderungan semakin kuat ketika beliau mondok di berbagai pondok pesantren dikarenakan kehidupan wara’ yang merupakan aplikasi dari ajaran sufi banyak dipraktekkan oleh guru-guru beliau selama di pesantren. Dan kehidupan seperti ini memang menjadi karakteristik yang dimiliki oleh berbagai pondok pesantren yang pernah disinggahi oleh KH. Muhammad Arwani Amin.
Hal diatas menjadi sebab KH. Muhammad Arwani Amin setelah pulang dari pondok asuhan KH. Munawir memutuskan untuk lebih mendalami kehidupan wara’ tersebut dengan memasuki dunia tharîqat yang memang menjadi media para pecinta ajaran tasawûf untuk mendalami ajaran-ajaran tasawûf. Di bawah bimbingan seorang mursyid yaitu K. Sirojuddin, KH. Muhammad Arwani Amin belajar tentang tharîqat.
K. Sirojuddin tinggal di daerah Undaan, Kudus kira-kira 15 km dari kediaman KH. Muhammad Arwani Amin. Namun jarak yang jauh itu tidak menghalangi beliau untuk belajar tharîqat kepada K. Sirojuddin. Setiap hari KH. Muhammad Arwani Amin berjalan kaki menuju ke Undaan untuk belajar tharîqat kepada K. Sirojuddin. Namun ketika KH. Muhammad Arwani Amin sedang bersemangat untuk mendalami ilmu tharîqat kepada K. Sirojuddin, K. Sirojuddin berpulang ke Rahmatullah sehingga menyebabkan pelajaran tharîqat KH. Muhammad Arwani Amin untuk sementara terhenti.
Masa Belajar di Popongan, Solo ( 1947-1957)
Setelah K. Sirojuddin meninggal dunia, KH. Muhammad Arwani Amin melanjutkan belajar kepada KH. Muhammad Mansur, Popongan, Solo. Sebenarnya KH. Muhammad Arwani Amin telah mengenal KH. Mansur ketika di Jamsaren karena KH. Mansur juga merupakan santri pondok Jamsaren.
KH. Muhammad Arwani Amin belajar tharîqat selama sepuluh tahun kepada KH. Mansur di Popongan diselingi pulang kampung rata-rata dua minggu sekali. Seperti halnya guru KH. Muhammad Arwani Amin yang lain, KH. Mansur juga sangat sayang kepada KH. Muhammad Arwani Amin karena kesungguhan KH. Muhammad Arwani Amin untuk belajar tharîqat disamping karena KH. Muhammad Arwani Amin adalah seorang yang hafal Al-Qur’an dan ahli Qirâat Sab’ah. Karena itulah KH. Mansur memberi tugas khusus kepada KH. Muhammad Arwani Amin selama di Popongan untuk membaca Al-Qur’an sekurang-kurangnya tiga juz setiap harinya.
Setelah menempuh waktu selama sepuluh tahun, akhirnya KH. Muhammad Arwani Amin mampu menyelesaikan pelajaran tharîqatnya kepada KH. Mansur pada masa khalwat di bulan Muharram tahun 1377 H atau 1957. Dan ketika KH. Muhammad Arwani Amin merampungkan tharîqatnya, maka KH Mansur menetapkan KH. Muhammad Arwani Amin sebagai mursyîd atau khalîfah menggantikan beliau.
bersambung