Masjid Agung Semarang, sebagai masjid tertua di kota Semarang- ibukota Jawa Tengah, memiliki sejarah yang panjang dan erat kaitannya dengan sejarah berdirinya kota Semarang. Masjid yang kini telah menjadi cagar budaya dan harus dilindungi menjadi kebanggan warga Semarang karena bangunannya yang khas, mencerminkan jati diri masyarakat pesisir yang lugas tetapi bersahaja. Seperti halnya pada masjid-masjid kuno di pulau Jawa, Masjid Agung Semarang berada di pusat kota (alun-alun) dan berdekatan dengan pusat pemerintahan (kanjengan) dan penjara, serta dekat dengan pusat perdagangan (pasar Johar), merupakan ciri khas dari tata ruang kota pada jaman dahulu.
Pengaruh walisongo pada masa perkembangan Islam di tanah Jawa yang begitu kuat, mempengaruhi ciri arsitektur Masjid Agung Semarang. Ini semua bisa dilihat dari atap Masjid yang berbentuk tajuk tumpang (tingkat) tiga. Arsitektur ini juga mirip dengan Masjid Agung Demak yang dibangun pada masa kesultanan Demak. Atap tingkat tiga merupakan representasi dari makna filosofi Iman, Islam dan Ihsan. Berbeda dengan Masjid Agung Demak, Masjid Agung Semarang dibungkus dengan bahan seng bergelombang, pada waktu itu merupaan bahan yang langka dan secara khusus harus didatangkan dari Belanda.
Masjid Agung Semarang memiliki ciri arsitektur Jawa yang khas, dengan bentuk atapnya menyiratkan bangunan gaya Majapahit. Bagian tajug paling bawah menaungi ruangan ibadah. Tajug kedua lebih kecil, sedangkan tajug tertinggi berbentuk limasan. Semua tajug ditopang dengan balok-balok kayu berstruktur modern. Yang membedakan lagi, bangunan utama Masjid Agung Demak disangga empat soko guru, sedang atap Masjid Agung Semarang ditopang 36 soko (pilar) yang kokoh. Bentuk atap limasan yang diberi hiasan mustaka, sementara pintunya berbentuk rangkaian daun waru, melambangkan arsitektur Persia atau Arab.
Di ruangan masjid, terdapat mihrab yang terlihat runcing dengan langit-langit dari beton, terdapat mimbar imam yang terbuat dari kayu jati dilengkapi ornamen ukir yang indah. Konon pada jaman dahulu mimbar ini dibuat sepasang, salah satunya untuk tempat sholat bupati Semarang. Komplek masjid dibatasi oleh pagar tembok dan pagar besi. Entrance utama berupa gerbang masuk gapura (tepatnya di jl. Alun-alun Barat) dan pada samping (tepatnya di jl. Kauman) terdapat pintu gapuro yang lebih kecil.
Masjid Agung Semarang memiliki peranan penting dalam penyebaran agama Islam di kota Semarang. Bahkan masjid ini juga dianggap sebagai simbol pembauran masyarakat, sebab di sekitar alun-alun dekat masjid kala itu bermukim warga dari berbagai etnis. Di sebelah utara yang berbatasan dengan Kali Semarang dan pelabuhan, merupakan perkampungan warga etnis Arab dan Koja. Di sebelah barat bermukim etnis Melayu dan sebelah selatan bermukim etnis Jawa yang membaur ke timur bersama etnis China. Hingga kini, di sekitar Masjid Agung Semarang menjadi rumah suci pemersatu umat.
Dalam sejarah pergerakan dan perjuangan bangsa Indonesia, Masjid Agung Semarang juga menyimpan cerita yang menarik. Masjid ini menjadi satu-satunya masjid di Indonesia yang mengumumkan kemerdekaan bangsa Indonesia secara terbuka hanya beberapa saat setelah diproklamirkan. Seperti diketahui peristiwa proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta di Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta pada hari Jum’at pukul 10.00 pagi. Lebih kurang satu jam setelah itu, yaitu pada saat sebelum sholat Jum’at, Alm. dr. Agus, salah seorang jamaah aktif di Masjid Agung Semarang melalui mimbar Jum’at dan di hadapan jamaah mengumumkan terjadinya proklamasi RI. Keberanian Alm. dr. Agus harus dibayar mahal, karena setelah peristiwa itu beliau dikejar-kejar tentara Jepang dan melarikan diri ke Jakarta hingga meninggal di sana. Sebagai penghargaan atas peristiwa tersebut pada tahun 1952, Presiden RI pertama Ir. H. Soekarno menyempatkan diri hadir untuk melakukan sholat Jum’at dan berpidato di masjid ini.
|
Masjid Agung Kauman Semarang pada masa penjajahan |
Masa Awal Berdirinya
Hingga saat ini masih belum diperoleh keterangan ataupun data yang akurat yang dapat memastikan kapan masjid Agung Semarang mulai dibangun dan didirikan. Berdasarkan catatan-catatan sejarah dan cerita-cerita tutur yang dapat dijadikan dasar rujukan, masjid ini didirikan pertama kali pada pertengahan abad XVI masehi atau pada masa kesultanan Demak.
Alkisah, seseorang dari kesultanan Demak yang bernama Made Pandan, ia seorang maulana dari Arab yang nama aslinya Maulana Ibnu Abdul Salam mendapat perintah dari Sunan Kalijaga untuk menggantikan kedudukan Syekh Siti Jenar yang ajarannya dianggap menyimpang. Bersama putranya, Made Pandan meninggalkan Demak menuju ke daerah barat di suatu tempat yang kemudian bernama Pulau Tirangan dan membuka hutan dan menyiarkan agama Islam. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan nama daerah itu menjadi Semarang.
Made Pandan mula-mula mengawali tugasnya dengan membangun sebuah masjid yang sekaligus dijadikan sebagai padepokan untuk pusat kegiatan dalam mengajarkan agama Islam. Masjid inilah yang merupakan cikal-bakal Masjid Agung Semarang. Ketika pertama kali didirikan, masjid ini belum menempati tempatnya yang sekarang. Terletak di kawasan Mugas (sekarang termasuk wilayah kecamatan Semarang Selatan). Sebagai pendiri desa dan pemuka agama di daerah setempat, Made Pandan bergelar Ki Ageng Pandan Arang.
Lambat laun pengaruh Ki Ageng Pandan Arang semakin besar dan daerah tersebut juga semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dari kesultanan Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah dapat terpenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan Kadipaten/Kabupaten. Akhirnya Pandan Arang oleh Sultan Pajang melalui konsultasi dengan Sunan Kalijaga, dinobatkan menjadi Bupati Semarang yang pertama. Peristiwa itu bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Rabiul Awal tahun 954 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1547 M. Pada tanggal itu “secara adat dan politis berdirilah kota Semarang”.
Masa Kesultanan Mataram
Setelah dinobatkan menjadi bupati Semarang yang pertama, Ki Ageng Pandan Arang menjadikan masjid yang dibangunnya tidak sekedar untuk tempat ibadah dan tempat mengajarkan agama saja, tetapi juga digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Seiring dengan perkembangan waktu, daerah Mugas dianggap kurang strategis sebagai pusat pemerintahan, sehingga beliau pindah di daerah yang lebih strategis di kota Semarang bagian bawah di Bubakan.
Beliau juga memindahkan Masjid Agung Semarang di daerah tersebut, tetapi lokasinya juga bukan di tempatnya sekarang. Lokasi di mana masjid ini belum dapat dipastikan. Peta kuno Semarang yang tersimpan di Rijks Archief (museum arsip) di Belanda menggambarkan bahwa waktu itu Masjid Agung Semarang terletak di sebelah timur laut dari kabupaten Semarang yaitu di sekitar daerah Pedamaran.
Konon, tidak lama setelah itu Ki Ageng Pandan Arang wafat dan dimakamkan di bukit Pakis Aji. Kedudukannya sebagai bupati sekaligus sebagai pemimpin dan penyebar agama digantikan oleh putranya yang bergelar Ki Ageng Pandan Arang II. Namun, beliau hanya tiga tahun menduduki tahta kabupaten karena atas nasihat Sunan Kalijaga, beliau lebih mengutamakan tugasnya sebagai penyebar agama daripada tugas memimpin pemerintahan.
Ki Ageng Pandan Arang II kemudian melanglang buana ke arah selatan untuk menyebarkan agama Islam di kawasan yang kemudian dinamakan Salatiga, Boyolali dan terus menuju Klaten. Beliau juga mendirikan padepokan (pondok) sebagai pusat penyebaran agama di suatu tempat yang dinamakan Tembayat, sehingga beliau juga terkenal dengan sebutan Sunan Tembayat. Beliau wafat di tempat itu pada tahun 1553 dan dimakamkan di bukit Jabalkat (dari bahasa arab Jabal Qaf).
Sesudah bupati Pandan Arang II mengundurkan diri, kedudukan sebagai bupati dan pemimpin agama di Semarang digantikan oleh adiknya yang bernama Raden Ketib, Pangeran Kanoman atau Ki Ageng Pandan Arang III (1553-1586) sekaligus juga bergelar pangeran Mangkubumi I. Beliau digantikan putranya yang bernama Kyai Khalifah yang bergelar Pangeran Mangkubumi II. Kemudian disusul pengganti berikutnya yaitu Kyai Mas Tumenggung Tambi (1657-1659), selanjutnya Kyai Mas Tumenggung Wongsorejo (1659-1666), Kyai Mas Tumenggung Prawiroprojo (1666-1670), Kyai Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674). Sampai pada masa Bupati ini, kabupaten Semarang masih di bawah Kesultanan Mataram.
|
Suasana sekitar Masjid Agung Semarang masa penjajahan |
Masa Penjajahan
Bangsa penjajah mulai memasuki kota Semarang pada masa pemerintahan bupati ke-10, bernama Kyai Mas Tumenggung Judonegoro, yang bergelar Kyai Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo I (1674-1701). Kemudian beliau digantikan Kyai Tumenggung Mertoyudo yang bergelar Kyai Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo II (1743-1751).
Pada masa pemerintahan Adipati Suro Hadimenggolo II terjadi peristiwa kebakaran besar yang memusnahkan masjid peninggalan Ki Ageng Pandan Arang. Peristiwa bermula akibat terjadinya pemberontakan orang-orang Tionghoa terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang dipicu permasalahan persaingan dagang oleh VOC. Karena lokasi Masjid Agung Semarang berdekatan dengan VOC di Bubakan dan juga tak jauh dari kampung Pecinan maka mengakibatkan Masjid Agung Semarang ikut terbakar habis.
Usaha mendirikan masjid dilakukan oleh Bupati Suro Hadimenggolo II dan lokasinya tidak menempati tempat yang lama, tetapi pindah ke lokasi yang lebih strategis di sebelah barat Bubakan yaitu tempatnya yang sekarang di kawasan Alun-alun Barat Semarang. Tepatnya di ujung Jalan Kauman, di sebelah barat Alun-alun arah depan, sebelah kiri dari pendapa Kabupaten yang lazim disebut “kanjengan”.
Pengganti Suro Hadimenggolo III bernama Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro atau Suro Hadimenggolo III (1751-1773). Pada masa ini terjadi usaha perbaikan besar-besaran terhadap bangunan Masjid Agung Semarang. Hingga menjadi sebuah masjid yang benar-benar megah dan anggun pada waktu itu. Karena peran Bupati Suro Hadimenggolo III dalam pembangunan Masjid, ada yang menjulukinya sebagai “desticher van de ecrste te Semarang” (pendiri masjid besar yang pertama di Semarang).
Perbaikan masjid berlangsung selama dua tahun yaitu mulai tahun 1759 sampai 1760. Beliau wafat kira-kira 13 tahun setelah selesainya pembangunan masjid. Dan sejak tahun 1773 beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Kyai Mas Tumenggung Suro Hadimenggolo IV, selanjutnya digantikan oleh Pangeran Terboyo yang bergelar Kyai Mas Tumenggung Adipati Suro Hadimenggolo V, dan digantikan Raden Tumenggung Surohadiningrat, kemudian digantikan Putro Suhadimenggolo (1841-1855), Mas Ngabehi Reksonegoro (1855-1860), sampai pada masa ini tidak tercatat adanya perubahan atau peristiva yang berarti terhadap Masjid Agung Semarang. Hal ini menunjukkan betapa kokohnya bangunan Masjid semasa pemerintahan Bupati Suro Hadimenggolo III.
Baru kemudian pada masa pemerintahan bupati Raden Mas Suryokusuma (1860-1887), terjadi perbaikan masjid pada tahun 1867. Namun demikian maksud baik Bupati Suryokusumo tidak berjalan lancar karena kurangnya pendanaan. Perbaikan masjid yang sudah termakan usia dilanjutkan oleh bupati yang menggantikannya yakni Bupati Raden Reksodirejo (1887-1891). Namun belum sampai selesai, beliau wafat dan digantikan oleh Bupati Raden Mas Tumenggung Purbaningrat.
Raden Mas Tumenggung Purbaningrat dengan kewibawaan dan kekuasaannya berhasil mengatasi kesulitan dana dan memulai pembangunan kembali masjid ini. Mulai tahun 1883 masjid telah difungsikan kembali dengan konstruksi yang cukup megah dan kuat. Namun hanya dalam tempo dua tahun setelah masjid difungsikan tepatnya pada tanggal 10 April 1885 kembali terjadi musibah kebakaran. Seluruh bangunan berikut barang-barang berharga yang terdapat di dalamnya tidak ada yang dapat diselamatkan, sehingga umat Islam di kota Semarang pada waktu itu benar-benar dalam suasana duka yang amat dalam. Konon, kebakaran terjadi akibat tersambar petir pada malam hari sekitar pukul 20.30 WIB.
Usaha membangun kembali masjid yang terbakar dilaksanakan pada tahun 1889 pada masa pemerintahan Bupati Cokrodipiro, dibantu oleh seorang arsitek Belanda bernama Ir. GA. Gambier dan berhasil diselesaikan dalam tempo yang sangat singkat sehingga sejak bulan April 1890, masjid telah dapat difungsikan kembali hingga sekarang. Peristiwa terbakarnya masjid dan pembangunannya kembali diabadikan pada prasasti empat bahasa (Arab, Jawa, Belanda dan Melayu) yang dipasang menyatu dalam bagian dinding gapura masjid.
Pada masa pemerintahan Raden Mas Soebiyono (1897-1927), yang bergelar Raden Mas Tumenggung Adipati Purboningrat menganugerahkan tiga buah pusaka untuk disimpan di dalam masjid yaitu berupa tombak bernama Kyai Plered, Kyai Puger dan Kyai Mojo, sampai saat ini masih terawat dan tersimpan sebagai pusaka masjid.
Selanjutnya jabatan Bupati Semarang Raden Mas Amin Sujitno (1927-1942) Raden Mas AA Sukarman Mertohadinegoro (1942-1945) dan Raden Soediyono Taruna Kusumo (1945), hanya berlangsung satu bulan karena memasuki masa kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
|
Masjid Agung Semarang masa kini |
Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, bupati Semarang dijabat oleh M. Soemardjito Priyohadisubroto. Kemudian pada masa Pemerintahan RIS yaitu pemerintahan federal diangkat Bupati RM. Condronegoro hingga tahun 1949. Sesudah pengakuan kedaulatan dari Belanda, jabatan bupati diserahterimakan kepada M. Sumardjito. Penggantinya adalah R. Oetojo Koesoemo (1952-1956). Kedudukannya sebagai bupati Semarang bukan lagi mengurusi kota melainkan mengurusi kawasan luar kota Semarang. Hal ini terjadi sebagai akibat berkembangnya Semarang sebagai Kota Praja.
Dampak dari perkembangan Semarang sebagai Kota Praja adalah Masjid Agung Semarang yang sebelumnya menjadi urusan bupati Semarang diserahkan kepada walikota Semarang. Sehingga pada tahun 1950, walikota Semarang RM. Hadi Soebeno Sosrowerdojo (1951-1958), melakukan upaya pembangunan serambi guna menambah kapasitas tempat sholat.
Pada tahun 1962 atas desakan uma Islam, karena adanya aksi-aksi penjarahan oleh PKI/BTI terhadap aset-aset masjid, maka pemerintah Republik Indonesia memberikan status hukum tersendiri terhadap Masjid Agung Semarang, yaitu dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Agama Nomor 92/Tahun 1962, Masjid Agung Semarang bersama-sama dengan Masjid Agung Demak, Kaliwungu dan Kendal dinyatakan sebagai masjid wakaf dan sebagai nadzirnya ditunjuk Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) yang merupakan salah satu lembaga di bawah Departemen Agama.
Semasa pemerintahan Orde Baru, Masjid Agung Semarang telah berulang kali mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Pada tahun 1979-1980 memperoleh dana bantuan Presiden sebesar Rp. 10 juta yang dialokasikan untuk perbaikan atap dan interior masjid. Kemudian bantuan dari Presiden diterima lagi pada tahun197-1988 sebesar Rp. 150 juta yang dialokasikan untuk biaya pemugaran total terhadap serambi Masjid.
Walikota Semarang, Kol. H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH. (1980-1990) secara khusus juga menaruh perhatian terhadap Masjid Agung Semarang. Pada tahun 1982-1983 beliau memprakarsai pembangunan menara (terbuat dari baja) berikut sound system dan sirine (pengganti bom udara) untuk tanda waktu imsak dan berbuka puasa di bulan Ramadhan. Pembiayaannya diperoleh dari kas APBD Kota Semarang.
Sumber: masjidagungsemarang.com