Kepribadian KH. Muhammad Arwani Amin
KH. Muhammad Arwani Amin merupakan ulama yang sangat dicintai oleh masyarakat karena sifatnya. Beliau selalu menyambut setiap tamu yang bertandang dengan hangat, jika yang datang seorang petani maka beliau akan bertanya dan berbicara dengan tema pertanian, apabila yang datang pedagang beliau juga menyesuaikan, sehingga semua orang merasa dekat dengan beliau.
Sifat takabbur sangat dijauhi oleh beliau, yang paling nampak bisa dilihat disetiap foto beliau selalu terlihat menundukkan wajah. Seorang santri pernah datang kepada beliau dan bercerita tentang sebuah hadits yang menurutnya KH. Muhammad Arwani Amin belum pernah mendengar, padahal Sang Guru sudah tahu hadits tersebut, namun beliau mendengarkan dengan seksama dan ekspresi beliau seperti orang yang baru pertama mendengar hadits tersebut, santri tersebut pun merasa bahagia. Jika ada orang bertanya tentang suatu hal, maka beliau lebih suka menyarankan agar orang itu bertanya pada orang lain yang lebih dikenal dalam bidang tersebut, meskipun beliau sendiri tahu jawabannya. Contohnya ketika beliau ditanya hal-hal berkaitan ilmu falak/astronomi, beliau akan menyarankan si penanya untuk pergi ke tempat KH. Turaichan Adjhuri yang memang dikenal ahli ilmu falak di Kudus pada waktu itu. Beliau tidak mau memonopoli dan menjadi yang lebih menonjol diantara ulama lainnya.
Kepada diri sendiri KH. Arwani Amin menerapkan disiplin sangat ketat. Dalam melaksanakan sholat wajib beliau selalu tepat waktu dan berjama’ah dalam kondisi apapun, bahkan ketika fisik beliau sudah lemah, beliau tetap memaksakan berjalan sendiri mengambil wudhu ketika mendengar Adzan sehingga tak jarang beliau terpeleset dan jatuh. Ketika belajar Qira’at Sab’ah kepada KH. Munawwir di Krapyak, beliau selalu hadir lebih awal yakni jam 12 malam, padahal pelajaran dimulai pukul 02.00 sampai menjelang Subuh. Beliau memanfaatkan waktu menunggu tersebut untuk sholat dan dzikir.
Kepatuhan beliau kepada guru-gurunya tidak diragukan lagi. Ketika beliau masih mondok di berbagai pesantren, banyak kyainya yang terpikat karena kecerdasan, ketaatan, kesopanan beliau. Sehingga seringkali beliau diminta kyainya membantu mengajar santri-santri lain. Bahkan saat masih nyantri di Pesantren Tebuireng Jombang lalu di Krapyak Yogyakarta, beliau diminta oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Munawir menjadi menantu, namun dengan sangat menyesal tawaran ini tidak terwujud karena wasiat dari kakek KH. Muhammad Arwani Amin (KH. Imam Haramain) supaya beliau menikah dengan orang Kudus saja.
Kepatuhan beliau pernah diuji ketika nyantri kepada KH. Muhammad Mansur Popongan. Pada suatu kesempatan beliau dan seorang temannya bernama Umar Surur dipanggil menghadap KH. Muhammad Mansur, lalu keduanya menghadap dengan pakaian yang bersih dan rapi. Namun setelah menghadap sang kiai, ternyata keduanya diperintahkan untuk membersihkan dan menguras WC. tanpa berpikir panjang KH. Muhammad Arwani Amin langsung melaksanakan perintah tersebut dengan masih berpakaian sebagaimana saat menghadap tadi, sedangkan temannya berganti pakaian dahulu baru kemudian melaksanakan perintah tersebut.
Pada saat nyantri di Popongan, KH. Muhammad Arwani Amin diwajibkan membaca Al-Qur’an sebanyak tiga juz setiap hari oleh guru beliau, KH. Muhammad Mansur. Bahkan bagi orang yang hafal Al-Qur’an kewajiban ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalankan. Namun selama 10 tahun nyantri disana beliau senantiasa menaati perintah gururnya tersebut. Demikian patuh dan hormatnya KH. Muhammad Arwani Amin kepada guru dan kiainya, hingga beliau selalu menjalankan apa yang diperintahkan oleh gurunya.
Beberapa tahun terakhir dalam hidup beliau sangat sedikit makan karena disibukkan dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sampai kemudian beliau dipanggil oleh-Nya. Yang khas dari beliau dan sampai sekarang masih bertahan di PTYQ adalah bila mengaji Al-Qur’an di depan beliau baik bin-nadhar maupun bil-gaib tidak boleh tergesa-gesa, harus tartil dan jelas suaranya. Inilah salah satu contoh kehati-hatian beliau dalam memperlakukan Al-Qur’an yang sangat terasa di PTYQ sepeninggal beliau.
Perjuangan dan Pengabdian KH. Muhammad Arwani Amin
Sejak masa muda hingga akhir hayatnya, KH. Muhammad Arwani Amin tidak pernah aktif dalam kegiatan organisasi sosial politik atau kemasyarakatan. Hal ini disebabkan karena ketika masih muda KH. Muhammad Arwani Amin menghabiskan waktunya hanya untuk mencari ilmu di berbagai pondok pesantren yang ada di tanah Jawa. Dan ketika memasuki usia matang, beliau mengisi waktunya dengan mengabdikan diri dan mengamalkan serta mengajarkan pelajaran yang beliau peroleh ketika masih dalam masa belajar terutama untuk mengajar Al-Qur’an dan tharîqat serta hal-hal yang berhubungan dengan keduanya.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan KH. Muhammad Arwani Amin hanya berkosentrasi hanya untuk mengajar Al-Qur’an dan tharîqat saja:
Pertama, KH. Muhammad Arwani Amin meyakini kebenaran hadis yang berbunyi: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW, “Hai Abu Hurairah, pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain. Tetapkan engkau seperti itu hingga mati. Sesungguhnya jika kamu mati dalam keadaan seperti itu malaikat akan berhaji ke kuburmu sebagaimana orang-orang mukmin pergi haji ke Baitullah.”
Kedua, KH. Muhammad Arwani Amin adalah orang yang taat dan patuh kepada gurunya. Guru beliau KH. Munawir pernah berkata, “Orang yang hafal Al-Qur’an berkewajiban memeliharanya. Karena itu, jangan melakukan hal-hal termasuk menuntut ilmu yang tidak fardhu sekiranya dapat menyebabkan hafalannya hilang”. Kalimat yang terakhir yang berbunyi “melakukan hal-hal termasuk menuntut ilmu yang tidak fardhu” diartikan oleh KH. Muhammad Arwani Amin juga untuk tidak mengadakan aktifitas pada kegiatan sosial politik maupun kemasyarakatan.
Ketiga, KH. Muhammad Arwani Amin memegang teguh amanat yang diberikan oleh kedua gurunya yaitu KH. Munawir dan KH. Mansur. Kedua guru beliau memberi amanat kepada beliau untuk meneruskan perjuangan mereka yaitu mengajar Al-Qur’an dan memimpin tharîqat.
Keempat, KH. Muhammad Arwani Amin menyadari sepenuhnya bahwa masing-masing individu memiliki medan perjuangannya. Dan medan perjuangan KH. Muhammad Arwani Amin adalah mengajar Al-Qur’an dan memimpin tharîqat. Beliau melakukan ini agar terlebih terfokus sehingga mampu menghasilkan sesuatu yang optimal dan maksimal.
Dalam hal pengabdian KH. Muhammad Arwani Amin, peneliti membaginya dalam beberapa bidang. Adapun bidang-bidang tersebut adalah sebagai berikut:
Bidang Pendidikan
Pertama kali KH. Muhammad Arwani Amin mengajar Al-Qur’an kira-kira pada tahun 1942 yang bertempat di masjid Kenepan, setamat beliau dari pondok pesantren Krapyak. Dalam periode ini kebanyakan murid-muridnya berasal dari luar Kudus dan merupakan siswa dari sekolah dan madrasah yang ada di sekitar masjid tersebut seperti madrasah Qudsiyah, Mu’awanatul Muslimin, dan lain-lain.
Para murid KH. Muhammad Arwani Amin kebanyakan belajar Al-Qur’an bin-nadhor tetapi ada juga yang belajar Al-Qur’an bil-ghaib bahkan ada juga yang belajar Qirâat Sab’ah. Murid beliau yang pertama belajar Qirâat Sab’ah adalah KH. Abdullah Salam, selain menjadi orang yang pertama yang khatam Qirâat Sab’ah, KH. Abdullah Salam juga nantinya menjadi badâl (pengganti) KH. Muhammad Arwani Amin dalam mengajar Al-Qur’an.
Pelaksanaan pengajian pada periode ini belum begitu lancar, hal ini dikarenakan KH. Muhammad Arwani Amin masih dalam masa belajar tharîqat kepada K. Sirojuddin di Undaan, Kudus. Dan pengajian pada masa awal ini semakin tersendat ketika KH. Muhammad Arwani Amin melanjutkan belajar tharîqatnya di Popongan. Baru setelah beliau meyelesaikan pelajaran tharîqatnya, pengajaran Al-Qur’an yang beliau lakukan bisa berjalan lancar dan istiqomah.
Pada tahun 1962, KH. Muhammad Arwani Amin pindah dan menempati rumah baru di kampung Kelurahan desa Kajeksan yang menyebabkan tempat pengajaran yang beliau selenggarakan juga berpindah ke tempat tersebut. Tempat itu sekarang menjadi masjid Busyro Lathif. Kesungguhan KH. Muhammad Arwani Amin dalam mengajar Al-Qur’an membuat santri yang belajar kepada beliau semakin hari semakin banyak, bahkan murid beliau sudah berasal dari berbagai daerah di luar Jawa Tengah. Namun pada waktu itu KH. Muhammad Arwani Amin belum memiliki pondok untuk menampung murid-muridnya sehingga menyebabkan banyak murid beliau yang kost di rumah warga di sekitar kediaman KH. Muhammad Arwani Amin.
Melihat keadaan seperti itu membuat KH. Muhammad Arwani Amin punya inisiatif untuk membuat pondok yang nantinya bisa digunakan untuk asrama murid-murid terutama dari luar Kudus yang ingin belajar Al-Qur’an kepada beliau. Namun keadaan beliau saat itu tidak memungkinkan membangun sebuah tempat asrama untuk tempat tinggal santri mengingat ketiadaan dana. Akan tetapi berkat usaha keras KH Muhammad Arwani disertai doa tiada henti akhirnya pondok pesantren yang diharapkan akhirnya terwujud pada tahun 1973.
Asal usul berdirinya pondok pesantren yang dirintis KH. Muhammad Arwani Amin memiliki cerita yang unik. Sekitar tahun 1969 KH. Muhammad Arwani Amin berniat akan melaksanakan ibadah haji bersama ibu Nyai Hj. Naqiyul Khud. Biaya untuk berangkat haji sudah tersedia yang berasal dari uang tabungan beliau yang dikumpulkan sedikit demi sedikit. Menjelang keberangkatan ke tanah suci Makkah tanpa diduga-duga oleh beliau ada seorang dermawan yang bernama H. Ma’ruf, pemilik perusahaan rokok “Jambu Bol” memberikan hadiah kepada beliau senilai ongkos haji untuk dua orang.
Dengan demikian, maka uang tabungan yang semula direncanakan untuk membayar ongkos haji tidak jadi terpakai dikarenakan beliau menggunakan uang pemberian H. Ma’ruf untuk menunaikan ibadah haji. Sedangkan uang tabungan beliau dijadikan modal untuk membeli rumah dan tanah yang ada di sekitar kediaman beliau milik Pak Basri yang memang saat itu sedang membutuhkan uang. Transaksi ini terjadi pada tahun 1970, tidak lama setelah beliau pulang dari tanah suci.
Pada mulanya pondok pesantren yang didirikan KH. Muhammad Arwani Amin hanya beberapa kamar saja. Akan tetapi pada perkembangannya daya tampung pondok sudah tidak mencukupi dikarenakan setiap tahun jumlah santri yang datang lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah santri yang pulang (boyong). Dengan semakin banyaknya jumlah santri yang masih aktif belajar di pondok serta dukungan dari para alumni dan masyarakat sekitar pondok, maka terkumpul dana yang cukup untuk membangun pondok yang mampu menampung santri yang lebih banyak dari sebelumnya. Dengan kerja keras semua pihak, akhirnya pada tahun 1973 atau bertepatan dengan 1393 H berdirilah sebuah pondok tahfîdh yang cukup memadai untuk menampung banyak santri. Pondok tersebut diresmikan sendiri oleh beliau, KH. Muhammad Arwani Amin.
Adapun nama pondok tersebut adalah Pondok Huffadh Yanbu’ul Qur’an. Nama tersebut diambil KH. Muhammad Arwani Amin dari Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 90 yang berbunyi:
وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الأرْضِ يَنْبُوعًا
“Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk Kami”.
Kata يَنْبُوعًا secara bahasa artinya mata air, dari arti kata tersebut KH. Muhammad Arwani Amin berharap pondok yang beliau dirikan akan menjadi sumber hidupnya Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an laksana mata air yang menjadi sumber kehidupan manusia. Dan harapan beliau sekarang terwujud dikarenakan Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an menjadi sumber kehidupan Al-Qur’an di daerah Kudus bahkan Indonesia. Santri yang belajar di Pondok Tahfidz Yanbu’ul Qur’an sekarang berasal dari seluruh pelosok Indonesia dari Sumatra hingga kawasan Indonesia Timur.
|
KH.M. Arwani Amin |
Bidang Pengajaran Tharîqat
Tharîqat adalah ajaran dan amalan-amalan kesempurnaan moral dengan landasan ajaran Al-Qur’an dan hadits serta menjalankan praktek-praktek kehidupan yang mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan cara-cara hidup yang sifatnya mencintai dunia, serta menjalankan ibadah wajib dan menambah ibadah sunah sebanyak-banyaknya.
KH. Muhammad Arwani Amin pertama kali masuk dan mendalami tharîqat kepada K. Sirojudin di Undaan, Kudus. Adapun tharîqat yang dipelajari oleh KH. Muhammad Arwani Amin adalah Tharîqat Naqsabandiyah Kholidiyah. Namun setelah K. Sirojudin meninggal membuat perjalanan tharîqot KH. Muhammad Arwani Amin sempat terhenti. Kemudian beliau melanjutkan pelajaran tharîqatnya kepada KH. Mansur di Popongan selama sepuluh tahun hingga akhirnya dinyatakan lulus oleh KH. Mansur dan diangkat sebagai mursyîd atau khalîfah menggantikan beliau.
KH. Muhammad Arwani Amin kemudian atas ijin gurunya menyebarkan ajaran tharîqat di Kudus dan beliau memilih masjid Kwanaran sebagai pusat basis tharîqatnya. Atas kegigihan dan kesungguhan KH. Muhammad Arwani Amin dalam mengajarkan tharîqat, beliau pernah dipercaya sebagai Rais Jam’iyah Tharîqat Mu’tabarah Nahdiyyîn.
Setelah perjalanan panjang menuntut ilmu ke berbagai tempat dan berjuang menjaga wahyu Allah seumur hidupnya, pada tanggal 25 Rabi’ul Akhir tahun 1415 H/1 Oktober 1994 M., beliau dipanggil kembali kehadirat Sang Khaliq dalam usia 92 tahun menurut perhitungan hijriyah. Masyarakat dan santri berbondong-bondong datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Sang Penjaga Wahyu dari Kudus, sehingga lautan manusia menjadi pemandangan disekitar PTYQ sampai Menara Kudus. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kericuhan maka jenazah beliau dimakamkan di belakang ndalem beliau di komplek PTYQ Kudus.
Karya Tulis KH. Muhammad Arwani Amin
Selain kitab Faidh al-Barakât yang menjadi tema utama penelitian ini, KH. Muhammad Arwani Amin juga memiliki karya tulis yang lain dibidang tharîqat. Karya tersebut ditulis beliau berdasarkan keterangan-keterangan yang beliau peroleh ketika belajar tharîqat kepada KH. Mansur Popongan yaitu berupa tuntunan-tuntunan praktis bagi para santri Tharîqat Naqsabandiyâh Kholidiyâh. Kemudian beliau menyuruh salah satu murid tharîqatnya untuk melengkapi naskah tersebut yaitu K. Hambali Sumardi. Akhirnya naskah tersebut dicetak dan diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Dalam sampul depan kitab tersebut tertulis nama K. Hambali Sumardi sebagai penulis kitab tersebut, akan tetapi dalam kata pengantarnya K. Hambali sendiri mengatakan bahwa kitab tersebut disusun oleh KH. Muhammad Arwani Amin.
Wallahu A’lam
Sumber: stainkudus.ac.id