Ada beberapa analisa bersumber dari buku maupun kesaksian perwira militer seperti Brigjend Soegandhi atau Kolonel (KKO) Bambang Wijanarko yang mengatakan Gerakan G.30.S/PKI sepengetahuannya Bung Karno. Dengan kata lain dirinya adalah dalang dari peristiwa penculikan para jenderal. Secara logika hal itu tidak masuk akal jika Bung Karno yang menggerakan pemberontakan ini. Buat apa ? Saat itu kedudukan Bung Karno sangat besar, dimana secara politis dia memegang kekuatan militer dan partai.
Sebagain besar AD ditambah AL, AU dan Polri praktis sangat loyal. Jika ada perwira seperti Soeharto yang dianggap kurang loyal, hanya memegang kesatuan Kostrad yang saat itu belum merupakan pasukan pemukul seperti sekarang. Masih merupakan kesatuan cadangan Angkatan Darat. Mayoritas Batalyon Pasukan seperti Brawijaya, Siliwangi, Diponegoro merupakan Soekarnois. Jadi buat apa dia melakukan kudeta untuk dirinya sendiri. Siapa yang diuntungkan? Lagi pula apa untungnya menghabisi Jenderal Ahmad Yani, yang justru pagi itu sudah ditunggu di istana untuk diberi tahu tentang proses alih jabatan.
Peran seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan berbanding lurus dengan keuntungan yang diperolehnya. Dalam peristiwa 1965 itu Presiden Soekarno adalah pihak yang dirugikan karena selanjutnya ia kehilangan jabatannya, sedangkan Soeharto sangat diuntungkan. Ia yang selama ini kurang diperhitungkan berpeluang meraih puncak kekuasaan karena para seniornya telah terbunuh dalam satu malam. Bagi Bung Karno, jangankan membunuh para jenderal. Membunuh nyamuk atau mengurung burung saja dia tidak tega.
Kesaksian Brigjend Soegandhi bahwa dia telah memperingatkan Soekarno tentang rencana kudeta ini di istana pada tanggal 30 September pagi juga bisa disebut kebohongan. Dalam catatan log book (buku tamu) istana sebagaimana kesaksian Mangil, bahwa pada tanggal 30 September, tidak ada catatan nama Soegandhi datang ke istana. Lagi pula, apa Aidit begitu tolol dengan memberi tahu rencana yang seharusnya sangat rahasia, justru kepada perwira AD. Tidak masuk akal.
|
Presiden Soekarno bersama Kiai-Kiai NU |
Dalam tuduhan Soegandhi, katanya dia melihat kampung-kampung massa komunis sibuk menggali lubang. Laporan Soegandhi itu mengandung kelemahan, Hanya ada 12 korban tewas atau dibunuh oleh komplotan G.30.S/PKI. Yakni 7 perwira dan 5 korban salah sasaran. Bahkan ketika komplotan itu menguasai Jakarta pada Jum’at pagi 1 Oktober. Tidak ada dukungan dari massa komunis yang bergerak. Sehingga bagaimana mungkin mereka sudah dipersiapkan sejak jauh hari dengan membikin lubang di kampung-kampung ?
Lalu dengan teori Bung Karno menugaskan Letkol Untung untuk memimpin gerakan penculikan.
1.) Bagaimana mungkin Bung Karno menugaskan pembersihan jenderal yang tidak loyal kepada Letkol Untung, seorang yang baru pindah dari Semarang ke Jakarta. Baru 5 bulan Bung Karno mengenalnya, tanpa tahu latar belakangnya dan diberi tugas menculik. Tugas rumit dan resiko tinggi. Justru dari catatan yang ada. Soeharto lebih lama mengenal Letkol Untung.
Letkol Untung sendiri tidak tahu Bung Karno tinggal dimana malam itu, sehingga pagi-pagi ketika dia bersama Letkol Heroe Atmojo dan lain-lain datang ke istana mau melapor tentang penculikan jenderal, mereka justru mendapati Bung Karno ternyata tidak berada di istana. Kalau Bung Karno terlibat pasti dia sudah memberi tahu Letkol Untung dimana dia bisa menghadap.
2.) Mengapa Presiden malah ke Bandara Halim yang secara otomoatis mendekati lubang buaya. Apa dia sadar? Jika dia dalang, jelas dia dalang bodoh karena langkah ke Bandara Halim bagaikan menggali lubang kuburnya sendiri. Lebih aman dia tinggal di istana, dan pura-pura tidak tahu sambil menunggu laporan.
Mangil menjelaskan mengenai pemilihan menyingkir ke Bandara Halim, memang keputusan pengawalan karena dalam standar prosedur penyelamatan Kepala Negara, hanya ada 2 pilihan. Satu ke Tanjung Priok, dimana sudah stand by KRI Varuna yang akan membawa Presiden kemana saja, atau ke Bandara Halim dengan pesawat kepresidenan, Jet Star. Mereka tidak tahu justru komplotan Letkol Untung bermarkas di dekat sana. Ini dapat dijelaskan kenapa rombongan Presiden sempat berputar-putar keliling Jakarta dari Wisma Yaso, kediaman Bu Dewi, sambil mencari informasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Kenapa tidak langsung saja menuju Bandara Halim dari Wisma Yaso?
3.) Mengapa dalam pemberontakan ini menggunakan massa komunis yang baru menyelesaikan latihan milter di lubang buaya. Kalau Bung Karno punya rencana, pasti dia menggunakan prajurit terlatih dan profesional. Bukan pemuda amatiran yang belum pernah bertempur dan baru saja selesai mengikuti baris-berbaris.
Apalagi dalam hari itu tanggal 1 Oktober, tidak ada massa komunis yang turun ke jalan. Koran sore, “Kebudayaan Baru” yang terbit sore melaporkan, “Situasi di ibu kota tenang, kehidupan biasa, lalu lintas ramai, kantor-kantor melakukan pekerjaan seperti biasa, demikian pula para pedagang, toko-toko, sekolah dan lain sebagainya. Semua acara tidak mengalami penundaan, termasuk pameran foto di Hotel Des Indes, hanya beberapa puluh meter dari istana. Istri Soekarno, Hartini tetap membuka pameran dengan menggunting pita didampingi Gubernur Jakarta, Dr. Soemarno”.
Dalam hal itu pernyataan Dewan Revolusi yang disiarkan RRI pukul 07.15 hanya menegaskan masalah internal AD. Masyarakat diminta tenang. Bahasa yang dipakai dalam berita Dewan Revolusi di RRI memakai bahasa yang menyerang Soekarno sendiri, khususnya dalam petualangannya dengan perempuan.
Coba simak, “Jenderal-jenderal dan perwira gila kuasa, yang menelantarkan nasib anak buah, bermewah-mewah, berfoya-foya, menghina kaum wanita dan menghamburkan uang negara harus ditendang keluar dari AD dan diberi hukuman setimpal . Juga pernyataan pangkat tertinggi di Indonesia sekarang adalah Letnan Kolonel.”
Pengakuan Bambang Wijanarko yang bukan fakta, memang sengaja diarahkan Teperpu agar mencari-cari kesalahan Bung Karno. Bambang sendiri tidak pernah dikonfrontir dengan Bung Karno, sampai mantan Presiden tersebut wafat tahun 1970. Berbeda dengan ajudan lain seperti Mangil dan Maulwi Saelan yang membayar mahal, kesetiaannya pada Bung Karno sehingga mendekam dalam penjara.
Berbagai upaya memang dilakukan penguasa Orde Baru dengan menjatuhkan nama Presiden Soekarno. Sejarah akhirnya dimiliki oleh pemenang sehingga kesaksian palsu menjadi legitimasi buku putih sejarah versi penguasa Orde Baru. Dengan membaca berbagai referensi dan sumber sejarah, kita akhirnya bisa menyusun rangka puzzle-puzzle menjadi logika kebenaran sejarah yang masuk akal.
Sumber: imanbrotoseno.com