Semakin tinggi derajat seseorang, semakin pula ia dihormati. Tapi Rasulullah punya nilai lebih. Sebagai manusia yang maksum dan pembawa risalah suci, sudah sepantasnya Baginda Nabi Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat pemuliaan yang tinggi dari sahabat-sahabatnya. Namun nyatanya, justru Rasulullah-lah yang terdepan meneladankan sikap itu kepada mereka. Beliau yang enggan dihormati tampil sebagai sosok sangat menghormati orang lain.
Tentang hal ini ada sebuah kisah yang diriwayatkan Imam ath-Thabrani. Suatu kali Rasulullah menggelar sebuah pertemuan dengan para sahabatnya. Yang hadir cukup ramai, sehingga majelis itu terlihat sesak.
Di tengah padatnya peserta forum, Jarir bin Abdullah datang terlambat. Tentu ia tak mendapat jatah tempat duduk. Rasulullah yang mengetahui kondisi Jarir segera menggelar jubahnya lalu menyuruh Jabir duduk di atasnya.
Hati Jarir terenyuh menyaksikan akhlak luar biasa Rasulullah. Alih-alih mau duduk di atas pakaian Nabi, ia malah mengambil pakaian tersebut, mengangkatnya, lalu menciumnya sambil menangis tersedu-sedu. Batin Jarir, bisa-bisanya Rasulullah begitu menghormati dirinya di depan para sahabat yang lain padahal dia telat?
“Saya tak akan duduk di atas pakaianmu (ya Rasulullah). Semoga Allah memuliakanmu sebagaimana engkau memuliakan diriku,” kata Jarir yang haru campur kagum dengan sifat Rasulullah.
Rasulullah adalah sosok yang tak gandrung dengan penghormatan. Beliau lebih sering melayani ketimbang dilayani. Nabi menjahit pakaiannya sendiri yang bolong. Menyelesaikan keperluannya tanpa merepotkan orang lain. Pribadinya yang tawadhu’ juga enggan bila tangannya dicium, meski bukan berarti mengharamkannya. Demikianlah Rasulullah, puncak kemuliaannya tampil sempurna justru dalam kerendahan hatinya.
Sumber : Situs PBNU
ADS HERE !!!