Oleh: HABIB ALI ZAINAL ABIDIN AL-JUFRI
Ada yang bertanya, mengapa kemanusiaan didahulukan daripada keberagamaan? Baiklah saya jawab. Pertama, banyak yang bingung antara agama (religion, diin) dan keberagamaan (religiosity, tadayyun). Iya, memang betul bahwa agama didahulukan sebelum kemanusiaan, bahkan sebelum apapun, karena ia bersangkutan dengan Allah Ta’ala.
Namun yang kita bicarakan di sini adalah keberagamaan, bukan agama. Keberagamaan ialah bagaimana kita melaksanakan ajaran agama. Dan dalam hal ini, kemanusiaanlah yang didahulukan daripada keberagamaan. Suatu hari, datang seorang Arab dusun kepada Rasulullah saw. Kemudian ia bertanya kepada Rasulullah, “Siapa engkau?” Rasulullah menjawab, “Aku utusan Allah.” Ditanya lagi, “Siapa yang mengutusmu?” Rasulullah menjawab, “Allah”. “Dengan apa Dia mengutusmu?” tanya orang itu lagi. Rasulullah menjawab, “Mengeratkan tali persaudaraan, melindungi kehidupan, mengamankan jalan,” kemudian Rasulullah baru menyebutkan perkara tauhid, “Menghancurkan berhala sehingga hanya Allah-lah yang disembah.”
Lihatlah, bagaimana hadits Rasulullah tersebut. Meskipun tauhid adalah pondasi risalah kerasulan, namun beliau menyebutkan sifat-sifat kemanusiaan terlebih dahulu. Sebab, jika rasa kemanusiaan seseorang itu baik, maka rasa keberagamaan akan memastikan keterhubungannya dengan sekelilingnya berlandaskan pada hubungannya dengan Allah. Sebaliknya, jika rasa kemanusiaannya rusak, maka setiap langkahnya dalam keberagamaan akan bertentangan dengan tujuan agama itu sendiri.
Kelompok Khawarij yang membunuh Sayyiduna Ali bin Abi Thalib adalah orang yang menghabiskan malam sebelum pembunuhan untuk beribadah. Ia berdiri shalat sepanjang malam hingga kakinya bengkak. Orang seperti dia mempraktekkan ritual keberagamaan, namun tidak memiliki pemahaman hakiki tentang wadah bagi keberagamaan itu, yakni kemanusiaan.
Rasulullah saw. juga pernah bersabda, “Sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambung tali peraudaraan, dan shalatlah di kala malam saat orang-orang terlelap, dan engkau akan masuk surga dengan selamat.”
Coba lihat, Rasulullah menyebutkan shalat malam setelah menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan. Beliau menyebutkan perintah menebarkan salam, memberi makanan, menyambung persaudaraan, sebelum menyebutkan ritual peribadatan pribadi. Di hadits yang pertama tadi, kita memahami bahwa Rasulullah menempatkan sifat-sifat kemanusiaan sebagai wadah bagi tauhid atau keyakinan. Di hadits kedua ini, beliau menjadikan sifat-sifat kemanusiaan sebagai wadah bagi peribadatan ritual yang menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah.
Maka tak diragukan bahwa siapapun yang melihat aksi kriminalitas pada masa-masa ini atas nama agama, akan menyadari bahwa masalah yang kita hadapi adalah tentang kemanusiaan. Kita harus berkaca kembali, mengoreksi diri, terutama atas rasa kemanusiaan. Inilah mengapa saya memulai buku yang saya tulis ini (Al-Insaniyyah Qabla at-Tadayyun, Dar al-Faqih Kairo: 2015) dengan kritik terhadap diri saya sendiri. Kemudian kritik terhadap makna keberagamaan saat ini. Lalu tentang masalah-masalah yang dihadapi anak muda, kemudian beberapa konsep penting yang harus kita pahami.
TAMBAHAN DARI SYAIKH USAMAH AL-AZHARI:
Kemanusiaan sebelum keberagamaan adalah hal yang benar, tak diragukan lagi. Saya memahami satu pelajaran tentang kemanusiaan sangat gamblang di dalam Al-Qur’an yang kita semua sering membacanya di dalam shalat. Yakni surah Al-Ma’un, ketika Allah bertanya,
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?”
Kemudian Dia menjelaskan bagaimana pendustaan terhadap agama dilakukan, yaitu;
“Yaitu orang yang menghardik anak yatim.”
Misalnya, menghardik dengan kekerasan atau semisal, padahal rasa kemanusiaan dimanapun pasti bersimpati terhadap anak yatim. Lalu dilanjutkan;
“… dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”
Di ayat ini Allah menyamakan kerasnya hati seseorang dan penolakannya terhadap kebutuhan manusia pada makanan atau minuman dengan pendustaan terhadap agama. Kemudian Allah mengatakan bahwa ketidakmanusiawian ini hanya akan mengantarkan seseorang pada ritual ibadah yang hampa.
“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.”
Apa yang membuatnya lupa, lalai, dan tidak bisa khusyuk di dalam shalatnya? Apa yang membuatnya tidak bisa menghayati keagungan Tuhan Penguasa semesta raya dalam ritual ibadahnya? Yakni akibat hubungannya yang rusak dengan sesama manusia. Ketika ia berhati batu, maka hal ini akan tercermin dalam peribadatannya yang hampa. Ibadah yang ia amalkan tidak mengantarkannya pada tujuan. Ia shalat namun tak menebar rahmat bagi sesamanya.
“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”
Dalam ayat terakhir ini, menurut Sayyiduna Abdullah bin Abbas, makna ‘enggan menolong dengan barang berguna’ ialah termasuk pada benda-benda kecil seperti mangkuk atau lainnya. Jadi, jika seorang tuan rumah menolak memenuhi kebutuhan tetangganya yang membutuhkan, ia harus tahu bahwa Allah menganggap perilakunya itu sebagai pendustaan terhadap agama.
Maka kesimpulannya, kita bisa memahami ada tiga hal di sini. Pertama, agama. Kedua, hubungan kemanusiaan. Lalu ketiga, praktek keberagamaan.
PENUTUP DARI HABIB ALI AL-JUFRI
Bahkan Allah Ta’ala menghubungkan sifat riya’ terhadap perilaku-perilaku ini. Bahwa sifat riya akan muncul dalam ritual ibadah orang yang tidak menghiraukan rasa kemanusiaan. Ritual ibadahnya hanya untuk dipertontonkan, dan cahaya tidak merasuk ke dalam hatinya. Kemudian sikap semacam ini; mengenyampingkan rasa kemanusiaan, ritual ibadah yang dipamerkan, berkembang menjadi perilaku zalim dan pengrusakan sebagaimana kita lihat hari ini.
*Diterjemahkan dan ditranskrip oleh Santrijagad dari wawancara Habib Ali Al-Jufri dan Syaikh Usamah al-Azhari di CBC TV Mesir
Sumber : santrijagad.org